Dutaislam.or.id - Masyarakat
muslim Cirebon terkenal sebagai warga yang secara kultural bisa hidup damai karena
banyak melakukan akulturasi budaya dengan lainnya. Buktinya, hingga sekarang,
yang ziarah ke makam Sunan Gunung Jati Cirebon bukan hanya muslim saja. Orang
Cina, Konghuchu, Budha juga damai melakukan ritual ziarah ke sana. Jelas, Sunan
Gunung Jati adalah simbol pluralisme, cerminan kultur Cirebon.
Hingga muncullah nama Yahya Arif Zainal, yang disiarkan oleh
murid-murid atas pintanya, dipanggil Buya. Sebutan yang tidak lazim bagi seusianya.
Kalangan muda NU Cirebon keberatan dengan kehadiran Yahya sejak tahun 2006. Bukan
cara dakwahnya yang disoal, namun isi dakwahnya mengusik ketenangan warga, nahdliyyin
khususnya.
Dia datang ke Cirebon tidak punya apa-apa. Hingga kemudian
ia bertemu dengan salah satu pengurus PBNU yang kaya asal Cirebon. Ia bukan
santri, namun melihat Yahya adalah santri yang dianggapnya santun, pintar, ia
tertarik membantu.
Orang kaya inilah yang mengajak Yahya berkunjung ke
masjid-masjid, komunitas pesantren dan lainnya hingga ia dikenalkan dengan seoarang
relasi yang jadi pejabat di Pertamina Cirebon. Dari CSR Pertamina itulah Yahya
membangun kekuatan. Sayangnya, Yahya menggunting jaringan langsung ke
Pertamina, melupakan orang yang berjasa mengenalkannya hingga kerap menghardik
NU di hadapan umum, tempat pengurus PBNU itu berkhidmah.
Di mata ulama Cirebon, ia dianggap telah merusak tatanan
tradisi kiai-kiai Cirebon. Selama ini, kiai-kiai Cirebon sepakat tidak pernah
mengadakan pengajian di hari Ahad. Tradisi tersebut sudah berjalan puluhan
tahun karena setiap Ahad ada pengajian di Jagastaru, Cirebon yang diasuh Habib
Muhammad bin Syech bin Yahya (alm).
Guru Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan ini dianggap sesepuh,
berkarakter toleran serta ditokohkan oleh para kiai di Cirebon. Kehadiran Ayib
Muh, -panggilan Habib Muhammad bin Yahya-, sangat meneduhkan masyarakat lokal
Cirebon.
Kiai-kiai pesantren di Cirebon, baik dari daerah Buntet,
Gedongan, Ciwaringin, Ngempek, setiap hari Ahad selalu ngaji, datang langsung majelis ke Ayib Muh. Namun,
tiba-tiba Yahya membuat pengajian tandingan di waktu dan hari yang sama.
Atas itu, para kiai muda mengingatkan dan mendatangi Yahya
agar tidak mengadakan pengajian di hari tersebut. “Kita sama-sama dakwah, di
sana ngaji, kita juga ngaji, kok ngaji saja harus diatur,” jawab Yahya congkak.
Tidak mau diingatkan, lama-lama banyak yang merasa kurang
nyaman karena merekrut jama’ahya Ayib Muh. Cara yang dilakukan adalah membayari
mobil-mobil rombongan ngaji dari jama’ah yang ada di desa-desa. Itu yang membuat
marah kiai-kiai Cirebon pada awalnya.
Etika Yahya inilah yang dianggap para kiai-kiai di kampung
tidak sesuai dengan kultur masyarakat muslim Cirebon yang dikenal menghargai
dan menjunjung tinggi orang tua serta alim seperti Ayib Muh.
Yahya juga pernah dirangkul untuk masuk jadi pengurus NU struktural. Dijawab olehnya bahwa ia tidak butuh NU. “Saya muslim, silakan yang
NU ya NU, saya ya saya, tapi saya Aswaja, sunni namun tidak berorganisasi,”
jawabnya.
Bukan hanya oleh pengurus NU ia didatangi dan dirangkul. Menantu
Ayib Muh bernama Habib Miqdad Baharun dan Quraish Baharun pun datang ikut
menawari masuk jamiyyah NU, namun Yahya tetap menolak. Dalam tradisi santri, hal
itu dianggap su’ul adab (tidak
berkahlaq), apalagi dia seperti menantang.
Yahya kian gemar menghina NU sejak isu syiah dimunculkan kembali,
utamanya disasarkan kepada Kiai Said, ketua PBNU sekarang.
Kejadian itu dimulai sejak keluarga besar NU (KBNU) yang terdiri
atas unsur-unsur organisasi semacam IPNU, PMII, Ansor, Fatayat, Muslimat dan
lainnya mengadakan peringatan 10 Muharram pada 2008. Di situlah Yahya mulai
menyerang Kiai Said karena menghadiri acara yang disebut bermisi syiah tersebut.
Panitia sempat berpindah tempat dari rencana awal di Masjid
Agung At-Taqwa Cirebon karena ditolak oleh kelompok Yahya. Mereka menyebut agenda
acara itu bagian dari gerakan syiah. Karena tidak ingin terjadi konflik, lokasi
kegiatan dipindah ke dalam Keraton.
Pasca kejadian itu, Yahya mulai berani menyerang dengan
melontarkan tuduhan tak berdasar kepada publik bahwa NU itu organisasi Syiah. Pada
titik ini, anak-anak muda NU di KBNU mulai sangat keberatan dengan kehadiran
Yahya. Ia dengan mudah menyerang Kiai Said yang saat ini jadi simbol NU.
Yang kemudian membuat kemarahan anak muda NU itu bertambah adalah
munculnya NU Garis Lurus, dimana ada nama Yahya bersedia diangkat sebagai Dewan
Syuriah NUGL dengan Luthfi Bashori sebagai Imam Besar nya. Ditawari masuk NU
menantang, tapi justru masuk ke barisan sakit hati semacam NUGL.
Celakanya lagi, saat NU sedang membangun dan
mensosialisasikan pola ukhuwwah basyariyah dan ukhuwwah islamiyah lewat gerakan
Islam Nusantara, Yahya semakin ringan menghina NU dengan menyebut bahwa Islam
Nusantara itu seperti babi yang dikemas dalam bentuk kambing. Seorang alim,
tapi bicaranya seperti anjing.
Gerakan Yahya ini cukup sistemik. Melalui kendaraan Al-Bahjah,
Yahya tidak hanya melakukan gerakan di Cirebon saja, tapi di daerah lain. Ia
tidak memusuhi NU secara frontal tapi gerakannya merusak tatanan dan tradisi
muslimin di Indonesia. Khususnya NU dan adab santri. Dukungannya atas isu
syiah-sunni saja sudah bisa dibaca arah gerakannya ada kaitan dengan Arab.
Sangat mudah jika menyebut Yahya punya jaringan Arab
sekaligus misinya mengingat ia lulusan Universitas al-Ahqaf, Yaman Selatan,
yang dikenal sebagai titik tumbuhnya Islam non wahabi garis keras dan radikal.
Atas ulahnya itu, Yahya pernah dipanggil 30-an kiai, namun
tidak pernah direspon. Tercatat, agenda pemanggilan untuk klarifikasi pernah
direncanakan dua kali oleh para kiai. Sebelumnya, sudah puluhan kiai
mendatangi. Hasilnya nihil.
Walau belum pernah menegur secara langsung, anak-anak muda
NU di sana sudah puluhan kali mengundang Yahya dalam acara, namun tidak penah
satu kali pun hadir. Gemesnya, dia justru sangat bangga diundang kelompok NUGL.
Walau tidak pernah melakukan kekerasan fisik, tapi Gusti Allah ora sare.
Semoga setelah kecelakaan, dia sadar atas dosa-dosanya
kepada kiai-kiai Cirebon yang cinta Ayib Muh. Penghinaan kepada NU dan Kiai
Said juga diharapkan tidak dilanjutkan
dalam acaranya yang disebut “ngaji” itu, serta tidak mudah melontarkan
caci-maki karena benci.
Sepintar apapun santri, jika tidak tidak menggunakan adab
sebagai baju, ia tidak lebih seperti dzubab
(lalat). Ya Jabbar ya Qahhar!
Menghina NU dan Kiai, fantadziris saa’ah.
[dutaislam.or.id/luqman]
Sumber: Transkip rekaman keterangan Anak Muda NU Cirebon.