Foto Kiai Abdul Wahab Penataban yang telah mengalami editing dari versi aslinya. |
Oleh Ayunk Notonegoro
Dutaislam.or.id - Hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman, dipahami betul oleh para kiai pesantren saat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Apapun akan mereka lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Meski harus mengkorbankan nyawa sekalipun.
Titik tolak perjuangan para kiai -tentu, beserta santri-santrinya- berangkat dari fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh PBNU. Pada 21-22 Oktober, NU mengumpulkan semua kiai dan konsul NU se-Jawa Madura untuk memusyawarahkan tentang sikap yang akan diambil terkait masuknya kembali pasukan Belanda dan sekutu ke Indonesia.
Dari pertemuan tersebut, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa fardlu ain bagi umat Islam untuk memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
Sontak saja, Resolusi Jihad tersebut segera disambut angkat senjata oleh segenap warga nahdliyin, baik kiai, santri maupun simpatisannya. Tak terkecuali di Banyuwangi. Menyambut seruan tersebut, para kiai kembali mengorganisir para laskar, baik yang tergabung dalam pasukan Hisbullah, Sabilillah, maupun laskar-laskar lokal lainnya.
Di Banyuwangi Kota, muncul beberapa nama kiai yang terlibat dalam mengorganisir massa untuk menghadapi gempuran NICA, baik di pertempuran 10 November di Surabaya maupun pertempuran-pertempuran lain di Banyuwangi. Nama Kiai Saleh Lateng terdengar nyaring dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Selain melakukan tirakat (riyadlah) demi mewujudkan kemerdekaan bangsa, Kiai Saleh menjadi tempat jujukan para santri dan pejuang lainnya untuk meminta nasehat dan doa. Kiai Saleh juga mengirimkan para santrinya untuk ikut perang di Surabaya. Bahkan, pada peperangan yang kelak dikenal sebagai hari pahlawan tersebut, beliau tampak ikut bertempur di medan laga.
Kiai Syamsuri Singonegaran dan Kiai Abdul Wahab Penataban juga merupakan punggawa pasukan Sabilillah Banyuwangi. Kedua orang tersebut merupakan sahabat karib dan seperjuangan Kiai Saleh. Masjid Riyadus Sholihin Singonegaran yang didirikan oleh Kiai Syamsuri kerap menjadi jujukan para laskar Hisbullah. Konon, ada beberapa anggota laskar yang terluka dan dibawa ke sana, lalu akhirnya meninggal dan dimakamkan tak jauh dari sana.
Sedangkan Kiai Wahab sendiri memiliki kemampuan kanuragan yang luar biasa. Bom-bom yang berjatuhan dari pesawat tempur Belanda, tak satu pun yang meledak. Mungkin hal ini terdengar mustahil, namun hal ini nyata adanya. Surat kabar "Kedaulatan Rakjat" tertanggal 26-11-1945, mengkonfirmasi hal tersebut, ini teks beritanya:
"Kesaktian kijai2 di medan pertempoeran, ternyata boekan hanja berita lagi, tapi kita saksikan sendiri. Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak dsbnja lagi."
Selain nama-nama di atas, juga muncul seorang kiai muda asal Tukangkayu, Kiai Harun. Pendiri PP Darunnajah yang juga menjadi ketua cabang NU Banyuwangi ini menjadi semacam kordinator penggerak santri dan laskar ke medan tempur.
Pesantrennya yang tak jauh dari stasiun Banyuwangi Lama (Pasar Karangrejo) menjadi meeting point sebelum berangkat ke Surabaya. Konon, ketika dua rombongan dari Banyuwangi, ada yang turun di stasiun Gedangan, Surabaya lalu langsung terlibat pertempuran. Ada pula yang menuju ke Parakan terlebih dahulu untuk memohon barakah bambu runcing ke Kiai Subkhi.
Geser ke Selatan, ada nama Kiai Abdullah Faqih di Cemoro, Songgon. Sebagai salah satu kiai sepuh, Kiai Faqih juga menjadi bagian dari pasukan Sabilillah yang bagian mendoakan dan berperang dengan mendayagunakan kekuatan spritualnya.
Kisah yang beredar turun temurun, Kiai Faqih memimpin beberapa peperangan di Banyuwangi, baik perang Bedewang maupun perang Laban, hanya dengan memendam dirinya di sebuah bukit di desa Parangharjo, Songgon.
Tak hanya Kiai Faqih, putra-putra dan para santrinya pun ikut serta dalam pertempuran. Dengan nama Laskar Santri Cemoro di bawah pimpinan Gus Sholeh dan Gus Idris, segenap jiwa raga mereka persembahkan untuk ibu pertiwi Indonesia. Bahkan, Gus Idris syahid di tengah medan tempur.
Di Srono adapula kiai kharismatik yang menggerakkan masyarakat dan santrinya untuk berjuang. Kiai Dimyati Syafi'i namanya. Rois Syuriah NU Blambangan ini tanpa ragu memfatwakan warga nahdliyin untuk ikut berjihad sebagaimana instruksi dari PBNU kala itu. Tak ayal, ketika perjuangan beliau terendus Belanda, seketika langsung dibumi-hanguskan pesantrennya, PP. Nahdlatut Thullab, Kepundungan, Srono.
Tak jauh dari Srono, di Muncar muncul dua kiai pejuang asal satu desa yang sama, Sumberberas. Yaitu duet Kiai Askandar (Mambaul Ulum) dan Kiai Abdul Manan (Minhajut Thullab). Waktu pengepungan Belanda ke pesantren, Kiai Abdul Manan berhasil lolos dengan bersembunyi di rumah salah satu warga.
Beranjak ke daerah Pesanggaran juga muncul nama Kiai Muhammad dan Kiai Musaddad yang memimpin Front Kayangan Alaspurwo dan Sukomade. Di pasukan yang senantiasa bergerilya inilah, Kiai Mukhtar Syafaat (PP. Darussalam, Blokagung) muda ikut bergabung.
Di sisi Barat Banyuwangi, muncul nama Kiai Junaidi Genteng. Pengasuh PP. Bustanul Makmur ini kerap kali mengajak para santrinya untuk bergerilya. Atas perjuangannya inilah, kerap pula pasukan Belanda melakukan razia.
Tak jauh dari situ, ada pula kiai sepuh yang juga menjadi jujukan para santri dan pejuang untuk memohon doa dan karomah. Kiai Abbas Hasan Sempu namanya. Mortir-mortir Belanda yang dijatuhkan di pesantrennya -PP. Al-Azhar- tak ada yang meledak. Meleset dan melempem semua.
Di Kalibaru, juga muncul kiai muda yang tergabung dalam laskar Hisbullah, Kiai Abdul Latif Syuja. Tak hanya di daerah Banyuwangi, Kiai Abdul Latif bergerak pula hingga ke wilayah Keresidenan Basuki lainnya. Saat itu, di bawah komando KHR. As'ad Syamsul Arifin, Situbondo.
Selain nama-nama di atas, juga masih banyak kiai-kiai lain yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di ujung timur pulau Jawa. Mereka berjuang tanpa pamrih. Semata-mata untuk mengharap ridlo Allah dalam menegakkan agama dan sejahteranya tanah air. Hanya dengan pekik "Allahu Akbar" dan "Indonesia Merdeka" mereka berjuang hingga titik darah penghabisan.
Sebagai generasi penerus, hanya doa dan segenap usaha mengisi kemerdekaan ini yang bisa kami persembahkan untuk para pejuang. Teruntuk semua pejuang, Alfatihah! [dutaislam.or.id/ab]
___________________
Sumber data:
1. Abdul Manan Syah, "Biografi Kiai Saleh Lateng"
2. Ahmad Mansur Suryanegara, "Api Sejarah 2"
3. Zainul Milal Bizawie, "Masterpiece Islam Nusantara" dan "Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad"
1. Abdul Manan Syah, "Biografi Kiai Saleh Lateng"
2. Ahmad Mansur Suryanegara, "Api Sejarah 2"
3. Zainul Milal Bizawie, "Masterpiece Islam Nusantara" dan "Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad"
4. Wawancara dengan beberapa keluarga dari nama-nama tokoh yang disebut.
Source: KBAswaja