Dutaislam.or.id - Iqra, membaca, bukan sebuah tulisan. Tapi sebuah analisa keadaan tentang bagaimana reaksinya, bagaimana rasanya dan bagaimana dampaknya. Iqra adalah sebuah kesadaran olah diri.
Contoh kecil, kemarin, kami sekeluarga jalan-jalan di alun-alun Batu. Di lokasi, tampak sekumpulan mahasiswa, kayaknya habis PKL. Setelah mereka minum air kemasan bareng-bareng, dengan santainya mereka pergi sambil menggeletakkan sampah-sampah itu.
Padahal di depan matanya terihat tulisan besar dan jelas, "Dilarang Buang Sampah Sembarangan". Itu pun masih ada looping peringatan suara lewat corong speaker.
Istri mulai jengkel melihat kelakuan mahasiswa ini. Saya hanya komentar pendek "udahlah, biarin, habis ini kan ada yang membereskan."
Selang beberapa saat, si Ragil langsung ngomong "Bun, sampahnya tak beresin ya..."
Tanpa banyak bicara, tanpa memprotes siapa yang berbuat, Si Ragil langsung mengambil botol-botol itu dan memasukkan ke dalam tong sampah.
Secara persepsi dunia modern, pastinya grade mahasiswa dengan anak kelas dua SD sangatlah jauh. Baik kecepatan membacanya, referensinya, logikanya, fisiknya maupun jangkauan pengalamannya.
Tapi fakta berbicara lain, bahwa sebuah kesadaran mampu melewati segala literatur dan waktu. Benar adanya istilah Islam yang ada di Jawa "tulis tanpo papan" bahwa itu adalah ilmu awal yang harus dimiliki. Tentang bagaimana membaca ABCD kehidupan melalui perenungan diri, melalui titik ter"silent" dalam diri. Sebuah titik obyektif, titik fitrah diri yang suci.
Dan titik fitrah ini malah banyak dimiliki bayi atau usia dini. Bukan orang tua yang banyak pengalaman. Kecuali orang tua yang selalu menyucikan diri.
Di Quran sendiri banyak disebut keberuntungan orang yang mensucikan diri. Titik pusat keberuntungannya adalah surga.
Kita artikan yang riil dulu bahwa surga adalah paradaban langit yang kecepatannya seribu kali bumi. Dalam kontes ini, artinya bahwa orang yang belajar 15 tahun (SD sampai S1) atau 5000-an hari, kesadaran hidupnya akan bisa diungguli dengan manusia yang belajar kesadaran langit secara total selama 5 hari.
Rasulullah sendiri menempuh awal pengajaran melalui tahannuts, mencari titik tersilent dalam diri di gua Hira' tazkiyatun nafs tingkat tinggi. Kemudian terbukalah hijab Nur, terbukanya gerbang wilayah Jibril yang membuat beliau mampu membaca segala keadaan jaman, mulai awal penciptaan sampai ending kehancuran. Dan itu samasekali bukan berbentuk huruf-huruf.
Makanya pada awal perintah baca, Rasulullah sempat mendebat "apane sing diwoco, Bril..! Gak onok tulisane kok dikongkon moco...sing ngongkon iki gak keliru tah?"
Sehingga saking cepat sekali lompatan pengetahuannya, beliau pun dianggap gila oleh kaumnya. Anggapan gila bukan saja sebatas cemooh. Tetapi anggapan kekaguman dimana pengucap tak mampu lagi mengikuti kecepatannya.
Misal kalimat "Gila bener nih orang, kemarin cuma pengembala kambing. Sekarang kok bisa paham apa aja, bisa jadi komandan perang yang handal, bisa memanajemen hubungan sosial jahiliyah yang semrawut, bisa menata ekonomi, bisa jadi dokter handal," dan seterusnya.
Saking cepatnya peradaban ini, akhirnya konsepnya disebut iman. Beriman adalah manusia yang percaya bahwa di dalam apa yang diajarkan, ada pengetahuan tertinggi yang tak mampu dijangkaunya kecuali dibimbing oleh seorang penuntun.
Sebab kalau dijelaskan secara logika modern pun, seperti dijelaskan Quran, bila ditulis jadi literatur, seluruh pohon dijadikan pena, seluruh samudera jadi tinta, tetap tak akan cukup membabar, menjelentrehkan dan mendedahkan hidup, Al Hayyu. Karena membaca tanpa dibarengi peradaban Nur takkan bertemu makna. [dutaislam.or.id/ab]