Oleh Sumanto Al Qurtubi
Dutaislam.or.id - Dengan ini saya anjurkan kepada para bapak dan ibu kaum muslim/ muslimah di Indonesia tidak perlu repot-repot menyekolahkan anak-anaknya ke negara-negara Arab kalau tujuannya hanya sekedar untuk mempelajari Islam, belajar Bahasa Arab atau mengaji kitab-kitab keislaman.
Sekali lagi, kalau tujuannya hanya untuk belajar masalah ini (kalau punya tujuan lain ya lain lagi persoalannya), di Indonesia saja sudah cukup. Pondok-pondok pesantren, khususnya milik Nahdlatul Ulama (NU) sudah melimpah-ruah di kota maupun desa. Indonesia kini juga sudah surplus kiai, baik tua maupun muda, yang sangat mumpuni dalam masalah ini.
Lagi pula, untuk apa menyekolahkan anak jauh-jauh ke Arab untuk "belajar Islam" kalau pada akhirnya kelak ketika selesai sekolah malah menjadi "malin kundang" yang, atas nama "kemurnian Islam" dan "tegaknya tauhid", berani melawan orang tua, mengafirsesatkan mereka, membidahkan amalan-amalan keagamaan mereka dan seterusnya. Nanti Anda sendiri yang akan kerepotan loh: mau dibiarkan kurang ajar, mau digampar itu anak sendiri. Repot kan?
Bukan hanya melawan orang tua saja loh. Para ulama dan kiai yang kebetulan berbeda pemikiran juga dikapir-kapirkan oleh "anak kemarin sore" yang baru sunat ini. Tidak sebatas itu. Sebagian mereka bahkan tega untuk mengpitnah dan mengungkapkan kata-kata kotor dengan beliau-beliau. Padahal beliau-beliau itu masya Allah ulama yang sangat rendah hati, alim dan saleh dalam segala hal. Kok tega ya mereka melakukan itu?
Terus? Sudah jauh-jauh sekolah dan "menuntut ilmu keislaman", pulang-pulang malah menjadi "provokator kebencian" yang anti-pati terhadap tetangga, non-muslim dan bahkan terhadap sesama muslim itu sendiri yang hanya secara kebetulan berbeda mazhab, pandangan, pemikiran, dan praktek keagamaan dengan mereka. Repot kan? Hidup di dunia yang warna-warni kok "kaku-regeng" kayak tiang listrik, tidak mau toleran dengan keragaman. Emang bumi ini milik engkong mereka apa?
Sudah cukup? Belum. Mereka juga mengharamkan bendera merah-putih, memusyrikkan penghormatan terhadapnya, mengthogutkan Pancasila dan Konstitusi, "menerakakan" para pejuang dan pahlawan bangsa. Wis embuh lah. Banyak pokoknya yang aneh-aneh dan "unyu-unyu" dari tingkah-polah mereka. Tapi sebagian loh, tidak semua alumni Timur Tengah yang belajar Islam bersikap seperti ini. Entar ada yang ngamuk-ngamuk lagi.
Nah, kalau mondok di pesantren-pesantren NU, nanti akan lain ceritanya. Anak-anak nanti diajari untuk mencitai ulama, mencintai bangsa, negara dan Tanah Air, menghormati orang tua, toleran terhadap sesama manusia, ramah terhadap tetangga, mencitai tradisi dan budaya bangsa. Pokoknya banyak deh yang baek-baek.
Dan sudah barang tentu, para santri akan mendapatkan pelajaran-pelajaran keislaman yang "yahud" (tanpa "i"), keislaman yang ramah dan respek dengan kemajemukan pemikiran, keragaman mazhab, dan perbedaan pendapat. Yuk, kita semarakkan gerakan cinta Pokemon (Pokoke Mondok). [dutaislam.or.id/ab]