Habib Abu Bakar As Segaf |
Oleh Habib Alwi Ali Al-Habsyi
Dutaislam.or.id - Inilah nasihat dan kalam seorang Imam Al-Qutb (yang tunggal) dan merupakan kiblat para wali di zamannya. Sebagai perantara tali temali bagi para pembesar yang disucikan Allah jiwanya, beliaulah seorang yang terkumpul dalam dirinya antara Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin sekaligus.
Penyegar rohani umat ini adalah Al-Habib Al-Imam Abubakar bin Muhammad bin Umar Assegaf. CN sengaja tidak mengangkat siroh perjalanan hidup beliau, karena memang pernah dimuat pada majalah ini di edisi 14 Dzulhijjah 1424 H/Februari 2004 M. Inilah petikannya dari kitab-kitab penting yang menulis tentang Al-Qutb tersebut:
Biasanya orang-orang yang dikagumi itu namanya terukir dalam hati para pengagumnya. Dan kemudian, di antara pengagum itu tentu berhasrat kuat untuk mendokumentasi kenangan sang tokoh tersebut. Adakalanya kenangan itu dalam bentuk peringatan hari lahir atau hari wafatnya (haul) — dengan merujuk sejarah hidup sang tokoh, dan ada pula yang mersespons berupa pembacaan doa-doa atau menyimak nasihat-nasihat para ulamanya.
Sungguh banyak mutiara-mutiara hikmah para Salufunassholeh (para pendahulu yang baik-baik itu) penuh dengan pengetahuan yang disajikan dengan pendekatan yang mudah dicerna oleh nalar manusia — sekaligus menyentuh perasaan pendengar dan pembaca nasihat-nasihatnya. Ucapan-ucapan mereka sangat penuh dengan hikmah; sebagai hasil dari pendalaman mereka terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Dalam memberi nasihat terkesan selalu padat dengan ilmu, hikmah dan ungkapan-ungkapan yang dalam. Jika mau mendengarkannya dengan telinga hati, kita pasti akan merasakan kenikmatan cinta semata-mata karena Allah SWT, dan mahabbah (kecintaan) kepada kakek beliau (Habib Abubakar Assegaf), yakni Rasulullah SAW.
Sebuah kumpulan nasihat beliau yang ditulis oleh Al-Habib Salim bin Muhammad bin Aqil dalam suatu majelis di kota Surabaya (Jum’at 7 Rajab 1368 Hijri) beliau berkata tentang hati sebagai sumber pandangan Allah:
“Ketahuilah bahwa Allah SWT akan memberikan kepada hamba-Nya segala apa yang dipanjatkan sesuai dengan niatnya. Menurut saya, Allah niscaya akan mendatangkan segala nikmat-Nya di muka dunia, dengan cara terlebih dahulu Dia titipkan di dalam hati hamba-Nya yang berhati bersih. Untuk itu kemudian dibagi-bagikan kepada hambaNya yang lain. Amal seorang hamba tidak akan naik dan diterima oleh Allah SWT kecuali dari hati yang bersih. Ketahuilah wahai saudaraku, seorang hamba belum dikatakan sebagai hamba Allah yang sejati jika belum membersihkan hatinya!”
Dalam kesempatan lain pada Jum’at berikutnya dalam rumah kediaman Habib di Gresik, ada suatu majlis yang dihadiri banyak orang dari dalam dan luar kota. Beliau memberikan taushiyah(pesan-pesan): “Ketahuilah wahai saudara-saudaraku hati yang ada di dalam ini (sambil menunjuk ke dada beliau) seperti rumah, jika dihuni oleh orang yang pandai merawatnya dengan baik, maka akan tampak nyaman dan hidup, namun jika tidak dihuni atau dihuni oleh orang yang tidak dapat merawatnya maka rumah itu akan rusak dan tak terawat. Dzikir dan ketaatan kepada Allah SWT merupakan penghuni hati, sedangkan kelalaian dan maksiat adalah perusak hati!”.
Di kesempatan lain pula, nasihat beliau yang ditulis oleh Al-Habib Muhammad bin Hud Assegaf , dalam sebuah majelis di Surabaya yang dihadiri oleh para tokoh ulama diantaranya Habib Abdul Qodir bin Hadi Assegaf yang membacakan nasihat dan kalam Habib ‘Ali bin Muhammad Al-Habsyi tentang “Rahasia di dalam majilis-majlis yang mulia”.
Kemudian Habib Abubakar menegaskan: “Wahai saudara-saudaraku, dengarkanlah, apa yang dikatakan Habib Ali! Beliau meminta kepada kita untuk selalu meluangkan waktu menghadiri majlis-majlis semacam ini! Ketahuilah bahwa menghadiri suatu majlis yang mulia akan dapat menghantarkan kita pada suatu derajat yang tidak dapat dicapai oleh banyaknya amal kebajikan yang lain”.
Kemudian beliau menambahkan: “Simaklah apa yang dikatakan guruku tadi! Di zaman ini, hanya sedikit orang yang menunjukkan adab luhur dalam majlis. Jika ada seseorang yang datang, mereka berdiri dan bersalaman atau menghentikan bacaan, padahal orang itu datang ke majlis tersebut tidak lain untuk mendengarkan. Oleh karenanya, banyak aku jumpai orang di zaman ini jika datang seseorang, mereka berkata, “silahkan kemari” dan yang lain mengatakan juga “silahkan kemari” sedang orang yang duduk di samping mengipasinya.
Gerakan-gerakan dan kegaduhan yang mereka timbulkan menghapus keberkahan majlis itu sendiri. Keberkahan majlis bisa diharapakan, apabila yang hadir beradab dan duduk ditempat yang mudah mereka capai. Jadi keberkahan majlis itu pada intinya adalah adab, sedangkan adab dan pengagungan itu letaknya di hati. Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku, aku anjurkan kepada kalian, hadirilah majlis-majlis khoir (baik), Ajaklah anak-anak kalian ke sana dan biasakan mereka untuk mendatanginya agar mereka menjadi anak-anak yang terdidik baik, lewat majlis-majlis yang baik pula !”.
Pada kesempatan lain beliau menasihatkan tentang tarbiyah pendidikan kepada anak-anak: “Saat-saat ini aku jarang melihat santri-santri atau siswa-siswa madrasah yang menghargai ilmu. Banyak aku lihat mereka membawa mushaf atau kitab-kitab ilmu yang lain dengan cara tidak menghormatinya, menenteng atau membawa di belakang punggungnya. Lebih dari itu mereka mendatangi tempat-tempat pendidikan yang tidak mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mencintai ilmu tapi mencintai nilai semata-mata. Mereka diajarkan pemikiran para filosof dan budaya pemikiran-pemikaran orang Yahudi dan Nasrani.
Apa yang akan terjadi pada generasi remaja masa kini? Ini tentu adalah tanggung-jawab bersama. Al-Habib ‘Ali pernah merasakan kekecewaan yang sama seperti yang aku rasa. Padahal di zaman beliau aku melihat kota Sewun dan Tarim sangat makmur, bahkan negeri Hadramaut dipenuhi dengan para penuntut ilmu yang beradab, berakhlaq, menghargai ilmu dan orang ‘alim. Bagaimana jika beliau mendapati anak-anak kita di sini yang tidak menghargai ilmu dan para ulama? Niscaya beliau akan menangis dengan air mata darah. Beliau menambahkan bahwa aku akan meletakkan pada penuntut ilmu di atas kepalaku dan jika aku bertemu murid yang membawa bukunya dengan rasa adab, ingin rasanya aku mencium kedua matanya”.
Kemudian Al-Habib Abubakar melanjutkan nasihatnya: “Aku teringat pada suatu kalam seorang saleh yang mengatakan ‘Tidak ada yang menyebabkan manusia rugi, kecuali keengganan mereka mengkaji buku-buku sejarah kehidupan kaum sholihin dan berkiblat pada buku-buku modern dengan pola pikir moderat”.
Wahai saudara-saudaraku, Ikutilah jalan orang-orang tua kita yang sholihin, sebab mereka adalah orang-orang suci yang beramal ikhlas. Ketahuilah, salaf kita tidak menyukai ilmu kecuali yang dapat membuahkan amal sholeh. Aku teringat pada suatu untaian mutiara nasihat Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atas yang mengatakan: “Ilmu adalah alat meskipun ilmu itu baik (hasan), tapi hanyalah alat bukan tujuan, oleh karenanya, ilmu harus diiringi adab, akhlaq dan niat-niat yang sholeh. Ilmu demikianlah yang dapat mengantarkan seseorang kepada maqam-maqam yang tinggi”.
Begitu agung biografi insan mulia itu, namun tulisan ini menimbulkan tanda tanya besar. Akankah kita sebagai pengagum Al-Habib Abubakar Assegaf ini hanya mengenangnya (sebagai bagian dari episode sejarah) saja tanpa mau berusaha untuk meneladani? Jika “ya” adalah jawabannya, maka kita adalah umat yang hakikatnya berjalan tanpa arah! [dutaislam.or.id/ab]