Oleh Ainur Rofiq asSafanjany
Dutaislam.or.id - Judul diatas tentu terkesan aneh, masak orang berqurban kok bisa dholim. Begini, dulu sekitar 40 tahun yang lalu, sebelum marak bermunculannya panitia-panitia Qurban, ketika itu siapa pun yang berqurban maka dia harus mengurus sendiri qurbannya, mulai dari beli hewan, merawatnya sebelum penyembelihan, proses penyembelihan yang melelahkan, sampai membagikannya kepada yang berhak menerima.
Sungguh ketika itu Qurban merupakan rangkaian ibadah yang membutuhkan kerja keras yang sangat melelahkan, dan disitulah makna Qurban itu begitu terasa, sehingga kata Qurban ْقُرْبَان yang aslinya bermakna dekat/mendekat dalam bahasa arabnya, tapi dalam bahasa kita berubah pengertian menjadi upaya berat atau kerja keras yang sulit dan melelahkan. Kemudian muncullah kalimat-kalimat seperti; 'sukses butuh pengorbanan' atau 'kita harus berkurban demi orang banyak'.
Atau ketika itu jika orang yang berqurban tidak sanggup, maka Qurban diserahkan kepada seorang kiai atau guru ngaji yang punya santri, tentunya disertai pemberian uang sebagai rasa terimakasih. Atau cara yang lain adalah orang yang berqurban itu menyuruh beberapa orang untuk mengurusi qurbannya hingga selesai dibagikan, seraya membayar tenaga mereka dengan uang.
Lalu sekarang ini, bermunculannya panitia-panitia Qurban itu sebenarnya adalah hal baru yang tidak wajib ada, tetapi itu sangat baik dan membantu sekali terhadap kita yang hendak berqurban, disamping menjadi syiar agama.
Maka pantaskah kiranya, jika kita yang beribadah Qurban, kita yang mengharap pahala Qurban, nama kita yang disebut saat penyembelihan Qurban, lalu ada orang lain yang tidak ikut Qurban, tetapi mereka dengan suka rela ikhlas membantu ibadah kita, dari awal hingga akhir, yang itu sungguh sangat melelahkan.
Selanjutnya kita hanya menyerahkan hewan Qurban saja kepada mereka, tanpa uang ongkos, tanpa uang lelah atau tanpa uang terimakasih. Bahkan semua biaya konsumsi, akomodasi dan distribusi, kita biarkan saja mereka yang menanggungnya, mereka yang memikulnya.
Tidak jarang mereka itu urunan (patungan), padahal bisa jadi mereka itu perekonomiannya di bawah kita sebagai orang yang berqurban. Terbayang kah dalam benak kita, ada orang kaya yang berqurban tapi ibadahnya itu dibiayai oleh orang miskin? Astaghfirullohal adhim.
Maka jangan salahkan, jika mereka terpikir menjual kulit, kepala dan kaki hewan Qurban kita, meski itu dilarang Rasulullah. Dalam hadits yang lain, beliau menyatakan lebih tegas lagi, bahwa yang menjual kulit Qurban berarti tidak dianggap Qurban.
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ
Artinya: "Barang siapa menjual kulit hewan qurbannya maka tidak ada qurban baginya"
Karena itulah, solusi atas semua ini: 1). Cukupilah kebutuhan mereka panitia-panitia Qurban itu yang telah membantu ibadah kita. 2). Tanyakan juga kepada mereka berapa kira-kira biaya yang mereka keluarkan untuk mengurusi Qurban kita.
3). Berikan tambahan uang sebagai hadiah terimakasih kita kepada mereka, meskipun mereka tidak meminta dan mengharapkannya. 4). Setelah tercukupi maka Panitia jangan lagi terpikir menjual kulit, kepala dan kaki hewan Qurban, sebab itu bukan hak mereka. Mereka hanya menjadi wakil dalam menyembelih dan menyalurkan Qurban, sebagaimana yang tertera dalam spanduk-spanduk itu. Bukan wakil menjual, karena pemilik Qurban saja dilarang menjualnya. Bagaimana mungkin sah, seseorang mewakilkan sesuatu yang dirinya sendiri saja tidak sah melaksanakannya.
5). Berikan saja kulit dan lain-lain yang biasa dijual itu kepada panti asuhan atau orang fakir miskin. Biarkan saja mereka yang menjualnya. Atau jika mereka itu minta tolong mewakilkan kepada panitia untuk menjualkannya, maka itu baru boleh dan sah. Sebab dari tiga kelompok yang bisa menerima Qurban yakni yang berqurban (sunnah untuk mengambil keberkahan), orang kaya (boleh sebagai hadiah) dan fakir miskin (wajib mendapatkannya).
Maka mereka yang fakir miskin (termasuk anak yatim) itulah yang sah menjual dari Qurban yang mereka terima, karena apa yang mereka terima itu otomatis menjadi hak milik mereka, mau dimakan, diberikan kepada orang lain atau dijual, semuanya adalah sah. Menjadi sah pula mereka itu mewakilkannya.
Sedangkan pemilik Qurban dan orang kaya itu, mereka itu bukan memilikinya, karena sudah diqurbankan jika ia yang punya hewan, atau karena mereka itu termasuk kaya yang hanya boleh memanfaatkannya saja, yaitu dengan memakannya atau memberikan lagi kepada yang lain. Mereka berdua tidaklah berhak menjualnya, karena apa yang mereka terima itu tidak menjadi milik bagi mereka berdua.
6). Adapun hielah/rekayasa hukum, dengan cara kulit - kepala dan kaki itu diberikan kepada salah satu panitia yang fakir atau yang miskin, lalu ia menjualnya, kemudian uangnya diberikan kepada kepanitiaan guna menutupi kekurangan biaya. Meskipun cara ini adalah sah secara fiqih, tapi tetap saja itu tidak mengurangi kedhaliman kita kepada mereka yang telah membantu kita.
25 Agustus 2016, Sidoarjo, Jatim