Terima: KHR Azaim Ibrahimy mewakili keluarga besar KHR Asad Syamsul Arifin saat menerima penganugerahan pahlawan. (foto: cyberdakwah.com) |
Oleh Syamsul A Hasan
Dutaislam.or.id - Saat rakyat Indonesia masih hangat-hangatnya membahas demonstrasi 4 November kemarin, kabar menggembirakan datang dari Istana. Presiden RI menganugerahkan gelar kepada KHR. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) sebagai pahlawan nasional.
Kiai As’ad dianggap layak menerima gelar pahlawan nasional untuk menghargai dan menghormati atas jasa-jasa Kiai As’ad yang luar biasa yang semasa hidupnya memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik serta perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pengurus Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi’iyah (IKSASS) menyambut penganugerahan tersebut dengan melakukan doa bersama. Pengurus IKSASS menghimbau kepada seluruh alumni, wali santri dan simpatisan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo agar menggelar doa bersama. Doa bersama tersebut dalam bentuk istighatsah dan tahlil di masing-masing daerah supaya gelar kepahlawanan Kiai As’ad membawa barakah dan semangat perjuangan.
Menurut hemat saya, paling tidak, ada tiga fase peran Kiai As’ad untuk bangsa Indonesia. Pertama, fase pra kemerdekaan. Pada masa ini, Kiai As’ad menanamkan cinta tanah air dan semangat jihad melalui pesantren dan barisan kerakyatan.
Kiai As’ad menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui pesantren bersama sang abah, Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1914. Kiai As’ad juga menanamkan semangat berdakwah dan perjuangan melalui barisan “Pelopor”, sekitar tahun 1920-an.
Pelopor ini mayoritas berasal dari kalangan b4j!ngan yang berhasil ditundukkan Kiai As’ad. Pelopor ini berarti barisan terdepan dalam memimpin di jalan Allah (dakwah) dan pemimpin bersama-sama masyarakat dalam meraih kemaslahatan. Pada fase ini, Kiai As’ad juga bersama ulama NU membentuk Sabilillah dan Hizbullah. Bahkan Kiai As’ad menjadi pemimpin Sabilillah di Jawa Bagian Timur.
Kedua, fase mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini Kiai As’ad menempatkan Pesantren Sukorejo sebagai pusat perjuangan. Pada tahun 1945, Kiai As’ad menjadikan Pesantren Sukorejo sebagai tempat berlatih baris-berbaris dan perjuangan. Kiai As’ad bergerak memimpin pelucutan tentara Jepang di Garahan Jember (sekitar September-Oktober 1945). Kiai As’ad dan pasukannya ikut berjuang melawan Sekutu pada Nopember 1945 di Surabaya. Kiai As’ad bergerilya di Karesidenan Besuki.
Ketiga, fase pasca kemerdekaan. Pada masa ini, Kiai As’ad berperan dalam politik praktis, politik kebangsaan dan kenegaraan serta politik kerakyatan. Dalam politik praktis, Kiai As’ad sebagai anggota konstituante (1957-1959).
Dalam politik kebangsaan berperan sebagai tokoh di balik layar. Misalnya menjadi penasehat pribadi wakil perdana menteri KH. Idham Chalid (1956-1957). Dan jasanya yang terbesar, beliau tokoh sepuh kharismatik yang berhasil menyakinkan ulama NU untuk menerima asas tunggal Pancasila pada Munas 1983 dan Muktamar NU 1984 di Pesantren Sukorejo.
Sudah tersebar
Pada era informasi yang canggih ini, setiap orang dapat memberi informasi, tak sekadar menerima informasi begitu cepat. Setiap orang dapat menjadi “wartawan”. Sayang, informasi tersebut kerap juga menyesatkan, terutama di media sosial.
Tadi malam, saya ikut rapat untuk menyambut kedatangan keluarga Pondok Pesantren Sukorejo setelah menerima penganugerahan gelar Pahlawan Kiai As’ad. Pemimpin rapat wanti-wanti agar informasi tersebut jangan dulu disebarluaskan sebelum Presiden RI memberi penganugrahan siang itu.
Tapi salah seorang peserta rapat menimpali, bahwa berita tersebut sudah tersebar luas di media sosial. Saya cek, ternyata benar; sudah beredar! Dan yang mencengangkan saya, terdapat pula foto keputusan presiden tentang penganugrahan gelar pahlawan! Hebat! Saya kalah.
Tanggal 7 kemarin, saya membaca di beberapa media online, yang ditulis beberapa jam sebelumnya, tentang gelar pahlawan tahun ini. Media memberitakan, tahun ini pemerintah menganugrahkan satu gelar pahlawan dan ketetapan tersebut sudah ditetapkan presiden tanggal 4 November. Tapi menteri sosial merahasiakan siapa yang mendapat gelar tersebut.
Saya penasaran. Apakah Kiai As’ad? Saya mencoba menghubungi beberapa orang tim pengusul gelar pahlawan dan orang yang saya yakini punya kontak dengan menteri sosial. Pesan saya via WA, tidak langsung dibalas. Mungkin karena saya telah ikut membantu tim dalam menyiapkan data tentang Kiai As’ad, akhirnya mereka tidak tega dan membalas, okey.
Mereka wanti-wanti agar tidak dipublikasikan dulu. Karena itu, ketika berita tentang penganugerahan gelar pahlawan Kiai As’ad beredar luas di media sosial, saya tercengang. Apalagi sumbernya bukan dari tim, dan lebih mencengangkan lagi dilampiri dengan surat keputusan presiden.
Ini menandakan bahwa Kiai As’ad bukan milik saya, bahkan bukan lagi sekadar milik kita tapi milik seluruh bangsa Indonesia. Kiai As’ad bukan lagi sekadar pahlawanku, pahlawan kalian, tapi sekarang menjadi pahlawan nasional! Dan yang penting, semoga kita mampu meneladani perjuangan Kiai As’ad, sebagaimana harapan keluarga Kiai As’ad ketika tim mau mengusulkan gelar pahlawan. [dutaislam.or.id/ ab]
Source: cyberdakwah.com
Dutaislam.or.id - Saat rakyat Indonesia masih hangat-hangatnya membahas demonstrasi 4 November kemarin, kabar menggembirakan datang dari Istana. Presiden RI menganugerahkan gelar kepada KHR. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) sebagai pahlawan nasional.
Kiai As’ad dianggap layak menerima gelar pahlawan nasional untuk menghargai dan menghormati atas jasa-jasa Kiai As’ad yang luar biasa yang semasa hidupnya memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik serta perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pengurus Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi’iyah (IKSASS) menyambut penganugerahan tersebut dengan melakukan doa bersama. Pengurus IKSASS menghimbau kepada seluruh alumni, wali santri dan simpatisan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo agar menggelar doa bersama. Doa bersama tersebut dalam bentuk istighatsah dan tahlil di masing-masing daerah supaya gelar kepahlawanan Kiai As’ad membawa barakah dan semangat perjuangan.
Menurut hemat saya, paling tidak, ada tiga fase peran Kiai As’ad untuk bangsa Indonesia. Pertama, fase pra kemerdekaan. Pada masa ini, Kiai As’ad menanamkan cinta tanah air dan semangat jihad melalui pesantren dan barisan kerakyatan.
Kiai As’ad menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui pesantren bersama sang abah, Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1914. Kiai As’ad juga menanamkan semangat berdakwah dan perjuangan melalui barisan “Pelopor”, sekitar tahun 1920-an.
Pelopor ini mayoritas berasal dari kalangan b4j!ngan yang berhasil ditundukkan Kiai As’ad. Pelopor ini berarti barisan terdepan dalam memimpin di jalan Allah (dakwah) dan pemimpin bersama-sama masyarakat dalam meraih kemaslahatan. Pada fase ini, Kiai As’ad juga bersama ulama NU membentuk Sabilillah dan Hizbullah. Bahkan Kiai As’ad menjadi pemimpin Sabilillah di Jawa Bagian Timur.
Kedua, fase mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini Kiai As’ad menempatkan Pesantren Sukorejo sebagai pusat perjuangan. Pada tahun 1945, Kiai As’ad menjadikan Pesantren Sukorejo sebagai tempat berlatih baris-berbaris dan perjuangan. Kiai As’ad bergerak memimpin pelucutan tentara Jepang di Garahan Jember (sekitar September-Oktober 1945). Kiai As’ad dan pasukannya ikut berjuang melawan Sekutu pada Nopember 1945 di Surabaya. Kiai As’ad bergerilya di Karesidenan Besuki.
Ketiga, fase pasca kemerdekaan. Pada masa ini, Kiai As’ad berperan dalam politik praktis, politik kebangsaan dan kenegaraan serta politik kerakyatan. Dalam politik praktis, Kiai As’ad sebagai anggota konstituante (1957-1959).
Dalam politik kebangsaan berperan sebagai tokoh di balik layar. Misalnya menjadi penasehat pribadi wakil perdana menteri KH. Idham Chalid (1956-1957). Dan jasanya yang terbesar, beliau tokoh sepuh kharismatik yang berhasil menyakinkan ulama NU untuk menerima asas tunggal Pancasila pada Munas 1983 dan Muktamar NU 1984 di Pesantren Sukorejo.
Salah satu buku biografi KHR As'ad Syamsul Arifin |
Sudah tersebar
Pada era informasi yang canggih ini, setiap orang dapat memberi informasi, tak sekadar menerima informasi begitu cepat. Setiap orang dapat menjadi “wartawan”. Sayang, informasi tersebut kerap juga menyesatkan, terutama di media sosial.
Tadi malam, saya ikut rapat untuk menyambut kedatangan keluarga Pondok Pesantren Sukorejo setelah menerima penganugerahan gelar Pahlawan Kiai As’ad. Pemimpin rapat wanti-wanti agar informasi tersebut jangan dulu disebarluaskan sebelum Presiden RI memberi penganugrahan siang itu.
Tapi salah seorang peserta rapat menimpali, bahwa berita tersebut sudah tersebar luas di media sosial. Saya cek, ternyata benar; sudah beredar! Dan yang mencengangkan saya, terdapat pula foto keputusan presiden tentang penganugrahan gelar pahlawan! Hebat! Saya kalah.
Tanggal 7 kemarin, saya membaca di beberapa media online, yang ditulis beberapa jam sebelumnya, tentang gelar pahlawan tahun ini. Media memberitakan, tahun ini pemerintah menganugrahkan satu gelar pahlawan dan ketetapan tersebut sudah ditetapkan presiden tanggal 4 November. Tapi menteri sosial merahasiakan siapa yang mendapat gelar tersebut.
Saya penasaran. Apakah Kiai As’ad? Saya mencoba menghubungi beberapa orang tim pengusul gelar pahlawan dan orang yang saya yakini punya kontak dengan menteri sosial. Pesan saya via WA, tidak langsung dibalas. Mungkin karena saya telah ikut membantu tim dalam menyiapkan data tentang Kiai As’ad, akhirnya mereka tidak tega dan membalas, okey.
Mereka wanti-wanti agar tidak dipublikasikan dulu. Karena itu, ketika berita tentang penganugerahan gelar pahlawan Kiai As’ad beredar luas di media sosial, saya tercengang. Apalagi sumbernya bukan dari tim, dan lebih mencengangkan lagi dilampiri dengan surat keputusan presiden.
Plakat Penganugerahan Gelar Pahlawan dari Presiden RI |
Syamsul A Hasan, sukorejo.com
Source: cyberdakwah.com
Surat Keputusan Presiden |
Surat Keputusan Presiden RI |