![]() |
Contoh cover buku ke-NU-an dan ke-Aswaja-an yang diterbitkan oleh LP. Ma'arif NU Jateng. Foto: dok.penulis. |
Oleh M Abdullah Badri
Dutaislam.or.id - Musim Hari Santri 2019, kebetulan saya diberi mandat membuat teks soal Olimpiade Aswaja untuk tingkat MTs/SMP dan MA/SMA/SMK se Kabupaten Jepara. Harapannya, kalau saya yang membuat, soal tidak akan bocor karena saya bukan seorang guru di sekolah formal.
Ada 300 soal yang harus saya rampungkan sebelum hari H pelaksanaan Olimpiade Aswaja, 20 Oktober 2019, di Kecamatan Kembang, Jepara. Panitia mengirim 4 buku pedoman untuk kelas VII hingga XI (kecuali kelas IX dan XII), terbitan LP. Ma'arif Jawa Tengah. Ada yang dicetak tahun 2015, 2016 dan 2017. Tertera keterangan, semua buku sudah sesuai kurikulum 2013.
Zaman saya sekolah, buku ke-NU-an seperti itu diterbitkan secara mandiri oleh pihak madrasah. Tidak seperti sekarang, yang sudah tersusun rapi dari tingkatan atas hingga ke bawah. Keempat Buku Keaswajan dan ke-NU-an itu tebal-tebal (200an halaman semua), dilengkapi rangkuman, kesimpulan, serta contoh pertanyaan ujian. Tidak seperti buku ke-NU-an saat saya masih duduk madrasah. Saat itu, bukunya masih fotocopian, dan ditulis oleh guru saya sendiri. Tidak tersedia di toko buku tentunya, apalagi ber-ISBN, jelas tidak.
Buku Aswaja dan ke-NU-an sekarang temanya ndakik-ndakik tapi hambar. Penyusun seperti sarjana UIN baru lulus kemarin. Bayangkan, anak seumuran SMP sudah diajak bicara teologi Mu'tazilah, sejarah Walisongo, konsep kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dan Komite Hijaz, di buku buatannya.
Selain ndakik-ndakik, keempat buku yang saya jadikan pedoman menulis teks soal Olimpiade Aswaja pun temanya diulang-ulang tanpa henti. Hampir tidak ada buku yang luput membahas kelahiran NU dan sejarah IPNU-IPPNU. Semua penulis pun tidak luput membincang teologi Mu'tazilah, Murji'ah, Najariyah, dst. Baik di tingkatan MTs maupun MA.
Anda cukup membaca satu judulnya saja, insyaAllah yang lain isinya sama. Tidak perlu membaca buku lainnya lagi. Begitu kesimpulan saya.
Masalahnya, ini kan buku ajar. Bukan hanya buku bacaan. Mbok ya dipikirkan lah tingkat intelektualitas peserta didik yang dijadikan target konten buku tersebut. Masak dari MI, MTs hingga MA, buku-buku Aswaja NU berputar-putar membahas dalil Tahlilan, Maulid, Isra'-Mi'raj, Syuronan, Nisfu Sya'ban, Wiridan usai shalat, Qunut, Witir, Tarawih, Tawassul, Tabarruk, dll.
Baca: Download Buku Islam Gratis dan Terbaru di Duta Islam
Anehnya, materi semacam itu dicampur aduk tidak fokus dalam satu buku, lalu diulang lagi pada buku-buku tematik di jenjang berikutnya. Saya sampai bosan membacanya full selama tiga hari. "Ini buku mau diarahkan kemana sih, kok muter-muter kayak penjual sayur seberang jalan sonoh," batin saya.
Inti utama buku, semuanya lah, ingin menahbiskan bahwa sebagai warga NU, kita harus tahu bahwa NU itu bukan wahabi, yang disebut-sebut selalu membid'ahkan amaliyah warga NU. Sayangnya, tentang bid'ah saja tak satupun muncul dalam pembahasan buku, yang lebih rinci dan mudah dimengerti oleh pembaca. Mana bisa dijadikan alat mendoktrin anak didik sekolah dan madrasah berbasis NU, kalau caranya begini.
Adik saya yang mengajar Keaswajaan di MI pun juga menyatakan keprihatinannya. Dalam sepekan, pihak madrasah hanya menyisipkan 35 menit saja tentang materi keaswajaan. Dan itupun jamnya ditaruh di jam akan istirahat atau akan pulang. Bagaimana anak didiknya menjadi Nahdliyyin. Ironis.
Di madrasah milik Muhammadiyah, materi ke-Muhammadiyah-an diberi porsi sangat banyak. Anehnya, anehnya nih, di lingkungan madrasah naungan LP. Ma'arif, materi aswaja hanya "ditempil" saja kepada siswa, saat hendak istirahat. Nau'dzubillah.
Pak Lik saya juga prihatin. Sebagai guru ke-NU-an di MI, dia mengaku bingung dengan materinya. Katanya, anak kelas X Ibtidaiyah sudah dijejal paham-paham yang bersebarangan dengan NU, seperti Ahmadiyah, Mu'tazilah, Wihdatul Wujud, dll. Lak yo mumet ngoten niku? Niatnya sih bagus; ingin membentengi dari paham menyimpang. Tapi caranya itu loh. Ya awooh.
Makanya, saya tegaskan untuk kembali menyebut bahwa penulis-penulis buku Aswaja di lingkungan LP. Ma'arif NU itu seperti seolah adalah sarjana Ushuluddin baru pulang ke kampung bawa ijazah-nya. Atau, ibaratnya, dia baru kenal NU dan teologi dalam Islam, lalu menulis. Sak entuke ditulis. Tanpa pikir siapa yang akan membacanya. Mbok yo mikir mbarang.
Mengapa materi Aswaja di MI tidak fokus praktik amaliyah saja? Anak-anak usia MI jangan dijejali dalil Maulid, Nyadran, dan thethek bengek lainnya. Belum usianya. Ajak saja mereka untuk mempraktikkan Berjanjenan, Ratiban, Manaqiban, langsung ziarah, atau, kasih mereka materi kisah-kisah teladan para wali Allah di tanah Jawa, -bukan sejarahnya.
Baru setelah menginjak jenjang pendidikan MTs, mereka mulai diajak mempelajari dalil-dalil amaliyah Aswaja dan mengenal struktur organisasi NU, sejarah berdirinya, tokoh-tokoh sentralnya, dll. Saya memiliki daftar (list) ratusan praktik amaliyah Aswaja, yang bila dibahas mulai kelas 1 sampai 3 tingkat MTs, saya jamin tidak akan habis. Apalagi hanya 30 menit saja dalam sepekan. Ora kiro entek.
Usia MTs jangan dijejali materi teologi. Apalagi perbandingan madzhab dan perbandingan teologi dalam Islam. Itu adalah pembahasan ndakik-ndakik milik sarjana dan intelektual muslim di kampus. Cukuplah ditanamkan ke mereka (anak MTs) tentang ajaran-ajaran Aswaja yang sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Di tingkatan MA/SMA/SMK, barulah mereka disesaki dengan teori-teori Tauhid dan perbandingan pemikiran yang menyimpang dari Aswaja. Pelajaran ini jangan ditaruh di MTs dan MI, mumet. Bisa stres. Saat usia MTs, saya sendiri pernah stres berbulan-bulan ketika Kiai Hamzah, guru Aqidatul Awam saya menyatakan bahwa Allah tidak butuh tempat, dan wujud-Nya tidak didahului oleh sifat tiada ('adam). Mumet tenan mikir esksistensi Gusti Allah kecuali hanya mengenal sifat-sifat-Nya.
Mulai pada tingkatan MA inilah, paham wahabi, khilafah, gerakan tarbiyah, komunisme dan lainnya, yang menyimpang dari ajaran Aswaja, baik secara fikrah, amaliyah maupun siyasiyah, diberikan ruang lebih dalam untuk dibahas secara rinci.
Jadi, saya mengusulkan agar buku Keaswajaan dan ke-NU-an fokus saja membahas, misalnya;
- Di MI, tanamkan praktik amaliyah aswaja,
- Di MTs, teguhkan dengan keyakinan, dengan mempelajari dalil-dalil teks dan logika kecerdasan kultur lokalnya,
- Di MA, mereka makin teguh ber-Aswaja dengan teori perbandingan teologi, madzhab serta dinamikanya dalam politik kerajaan, kolonial, kebangsaan dan global.
Jangan dicampur-aduk. Saya sendiri mumet membuat teks soal. Hasil kerjaan teks soal di Olimpiade Hari Santri 2019 yang saya buat, kontennya sama. Tidak jelas mana yang untuk siswa MTs dan mana yang untuk siswa MA. Akibat buku pedoman yang "yak nah beh". [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Esai ini selesai ditulis pada Senin dini hari, 15 Oktober 2019 (pukul 01:06 WIB)
M. Abdullah Badri, Wakil Ketua LTN NU Jepara