Salah satu makam wali Allah di Nusantara yang disebur Maghribi. Foto: istimewa. |
Oleh Dr. Ahmad Tajuddin Arafat
Dutaislam.or.id - Apa yang termaktub dalam pernyataan judul di atas bukanlah kesimpulan final dari apa yang hendak penulis sampaikan. Itu hanya semacam asumsi atau uneg-uneg sementara yang tanpa sengaja muncul datang tak diundang ketika penulis sedang menikmati berbagai catatan tentang historiografi Islam di tlatah Nusantara.
Dikatakan oleh beragam sumber bahwa jejak Islam di Nusantara sudah terdeteksi ada pada sekitar abad ke-7 Masehi yang dibawa masuk oleh para saudagar Arab saat itu. Meski demikian, perkembangan Islam di Nusantara, terkhusus di tlatah Jawa, baru terlihat semarak dan meriah pada masa Walisongo, sekitar abad ke-15 Masehi.
Dan, di antara abad ke-7 Masehi hingga masa Walisongo ada ruang waktu yang diisi oleh para wali-wali yang datang dari berbagai penjuru untuk membumikan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin di Bumi Nuswantoro ini. Makam-makam mereka tersebar di berbagai tempat baik yang diketahui namanya karena tertulis jelas pada nisan makam, -seperti Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan Syaikh Syamsuddin al-Wasil di Kediri,- ataupun yang dikenang dalam memori cerita tutur yang berkembang di masyarakat, seperti Syaikh Subakir, Syaikh Jumadil Kubro, dan Syaikh Maulana Maghribi. Wali yang tersebut terakhir inilah yang menjadi tokoh utama dari tulisan ini.
Baca: KH Agus Sunyoto: Syeikh Maulana Maghribi Bukan Bagian Walisongo
Agus Sunyoto menyatakan bahwa Syaikh Maulana Maghribi adalah wali generasi pra Walisongo yang berdakwah di Nusantara sekitar abad ke-14 Masehi. Hal senada juga disampaikan oleh Habib Luthfi bin Yahya yang menyatakan bahwa sebelum generasi Walisongo yang popular diawali pada masa Sunan Ampel, telah ada beberapa wali yang menyiarkan Islam di tanah Jawa.
Selanjutnya, makam-makam beliau-beliau ini, di kemudian hari, dinamakan Al-Maghrobi. Sehingga terlihat memiliki makam yang sangat banyak di berbagai tempat. Padahal hal tersebut dikarenakan banyaknya rombongan yang datang saat itu dan tidak semuanya dapat dikenali nama-namanya.
Mengenai banyaknya makam-makam yang dinisbatkan kepada Syaikh Maulana Maghribi, kita bisa temukan di antaranya; di Makam Keramat Wonobodro Batang, Parangtritis Bantul, Cirebon, Gresik, Komplek Makam Raden Fatah Demak. Banyaknya makam tersebut jelas bukanlah makam dari satu orang, melainkan dari berbagai wali yang berdakwah saat itu. Dan ini bukanlah apa yang hendak ditegaskan dalam tulisan ini.
Berlanjut pada apa yang menjadi judul pernyataan di atas, apakah benar Syaikh Maulana Maghribi adalah bagian dari para wali penyiar Islam yang datang dari kawasan Maroko dan sekitarnya?
Pertanyaan ini muncul karena setidaknya ada 2 (dua) dalil yang menunjukkan bahwa penisbatan nama “Maghrib” pada nama-nama wali tersebut bukan menunjuk pada satu wilayah peradaban Islam yang dibangun oleh Dinasti Umayyah II di wilayah Andalusia dan sekitar ujung Barat Benua Afrika saat kawasan Masyriq telah dikuasai Dinasti Abbasiyah.
Kedua dalil tersebut adalah; pertama, adanya beragam teori tentang awalmula kedatangan Islam di tanah Nusantara yang tidak menyebut satupun kawasan Maghrib (red. Maroko) sebagai basis berpijaknya Islam di Nusantara (asy-syarqil ba’id). Namun, kita dengan mudah melihat situs, artefak, dan ritus kultural yang banyak bersumber dari kawasan India (Gujarat), Persia, Champa, dan Arab.
Ibnu Batutah al-Maghribi (1304-1369) dalam catatannya memang menuliskan adanya para saudagar Arab Muslim yang datang ke Sumatra, namun tidak dijelaskan secara pasti apakah itu datang dari kawasan Arab Masyriq atau Arab Maghrib.
Baca: Mengapa Makam Maulana Maghrobi Ada Banyak? Ini Jawaban Habib Luthfi
Selain itu, sebagian masyarakat muslim Jawa tradisional juga memberi sebutan Syaikh Maghribi kepada Maulana Malik Ibrahim Sunan Gresik, namun hal itu dibantah mentah-mentah oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo-nya.
Dalil kedua, jika memang ada jejak islamisasi Nusantara melalui jalur Maghrib (red. Maroko), maka sudah barang tentu ada pula jejak atau setidaknya bukti baik berupa artefak atau tradisi yang tertanam di masyarakat. Misalnya, sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat kawasan Arab Maghrib adalah pengikut setia mazhab Maliki dalam fikihnya. Namun, sejauh pengamatan penulis, belum ditemukan informasi terkait adanya suatu komunitas masyarakat muslim Nusantara yang bermazhab Maliki dalam perilaku keagamaannya.
Sebaliknya, kita dengan mudah menemukan ragam perilaku masyarakat muslim Nusantara yang berbau syi’ah (Persia-an), Gujaratan, dan tradisi-tradisi cina (Champa-an). Bahkan ditemukan pula dalam inskripsi Setana Gedong Makam Syaikh Syamsudin al-Wasil yang secara tersurat jelas dalam tulisan berbahasa Arab bahwa Syaikh Syamsuddin al-Wasil adalah ulama bermazhab Syafi’i dan datang dari wilayah Irak (Persia-an).
Kemudian apa yang bisa kita bangun dari dua dalil tersebut?
Secara sederhana kita bisa membuat asumsi atau hipotesa bahwa jejak kawasan Maghrib atau yang lebih kita kenal dengan kawasan Maroko dan sekitarnya tidak memiliki akar sejarah yang kuat sebagai bagian dari pembawa panji-panji keislaman ke Nusantara, terkhusus di bumi Jawa. Tidak adanya situs dan ritus kultural yang merepresentasikan tradisi keislaman ala wilayah Maghrib yang bermazhab Maliki serta bantahan penisbatan Sunan Gresik dengan sebutan Syaikh Maghribi, alias berasal dari Maroko, sudah bisa membentuk asumsi ini.
Jika demikian hasilnya, bagaimana kita menafsirkan nisbat Maghribi yang tersemat pada nama-nama berbagai makam yang tersebar di Nusantara ini?
Jawabannya adalah bahwa penisbatan kata Maghrib pada nama-nama wali tersebut bukanlah bermakna mereka datang dari kawasan peradaban Islam yang dibangun oleh Kekhalifahan Umayyah di Andulusia. Akan tetapi, itu hanya sekedar penisbatan terhadap arah atau jalur di mana secara geografis tokoh-tokoh dan wali-wali penyiar Islam tersebut datang dari kawasan barat Nusantara, yang jika dibahasa-arabkan bisa disebut dengan Maghrib. Dan, kawasan yang terletak di sisi barat Nusantara adalah bisa saja dari Champa, India-Gujarat, Persia, dan Arab.
Jadi penisbatan itu tidak mesti menunjuk pada suatu daerah/kawasan/wilayah tapi bisa saja menunjuk pada arah/jalur saja. Seperti halnya penisbatan al-Jawi (orang-orang Jawa) kepada siapapun santri-santri yang berasal dari Nusantara yang bermukim dan belajar mengajar di Haromain (Mekkah-Madinah) pada akhir abad ke-16 dan seterusnya.
Prof. Azyumardi Azra juga menyatakan wilayah Islam Nusantara dalam literatur prakolonial disebut "negeri bawah angin" (lands below the wind). Lebih spesifik dalam literatur Arab sejak akhir abad ke-16, kawasan Islam Nusantara disebut "bilad al-Jawi", negeri "Muslim Jawi"—yaitu Asia Tenggara. Umat Muslimin Nusantara biasa disebut sebagai "ashab al-Jawiyyin" atau "jama’ah al-Jawiyyin".
Lalu, apakah mereka semua dari tanah Jawa? Sudah pasti jawabannya adalah tidak.
Nisbat al-Jawi adalah mereka yang datang dari wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei, Patani (Thailand selatan), dan Mindanau (Filipina selatan). Sebagai contoh, lihat saja Syaikh Abdurrauf Singkel (1615-1693) yang juga dikenal dengan sebutan Syaikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri. Padahal beliau adalah ulama yang berasal dari tanah rencong Aceh Darussalam.
Semoga bermanfaat, wa Allah A'lam bi al-Shawab. [dutaislam.or.id/ab]
Dr. Ahmad Tajuddin Arafat,
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang