Iklan

Iklan

,

Iklan

Syariat Mahar Menurut Imam Madzhab Empat (PDF Download)

24 Jul 2020, 01:46 WIB Ter-Updated 2024-08-08T18:48:56Z
Download Ngaji Gus Baha
Cover Ebook Syariat Mahar. Foto: dutaislam.or.id.

Oleh Anita Fitri

Dutaislam.or.id - Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar  kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak, dan pemberian itu harus diberikan secara ikhlas.

Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik secara kontan maupun dengan cara tempo. Selain itu, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam  akad pernikahan.

Istilah shodaqah nihlah dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi istilah mahar lebih dikenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

Masyarakat Indonesia biasanya memiliki adat pemberian mahar berupa seperangkat alat shalat meski tidak selalu begitu bentuk mahar yang wajib seharusnya. Namanya juga adat. Lalu, apa yang disebut mahar?

Pengertian dan Hukum Mahar 
Dalam bahasa Arab, mahar disebut sebagai Ash-Shidqu (الصدق) yang berarti nama benda padat. Sedangkan menurut istilah syara’, mahar ialah harta yang wajib diberikan oleh seorang pria karena satu akad nikah, hubungan seks samar (syubhat) atau mati.

Disunnahkan menyebutkan maskawin pada akad nikah, walaupun yang menikah itu seorang hamba sahaya, dengan wanita amat (budak). Maskawin dinyatakan sah dengan memberikan sesuatu, apapun bentuknya (seadanya). Tapi ukurannya paling sedikit 10 dirham, dan paling banyak 500 dirham asli.

Imam Syafi’i mengatakan, mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya, maka boleh diterima dan tidak bisa disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya itu atas alasan malu atau takut, maka menerimanya tidak dihalalkan.

Karena mahar adalah syarat sahnya nikah, Imam Malik bahkan menyebutnya sebagai rukun dalam nikah. Hukum memberikannya pun wajib. Allah berfirman, yang artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS. An-Nisa:4).

Dari Amir bin Rabi’ah, yang artinya:

Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah berkata kepada perempuan tersebut, relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah meluruskannya”. (HR Ahmad bin Mazah dan dishahihkan oleh Turmudzi. Sabdanya lagi, “kawinlah  engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR Bukhari).

Syarat dan Kadar Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Harta atau benda yang berharga.
  2. Dianggap Tidak sah memberikan mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, walaupun sedikit tetapi bernilai mahar, tetap sah.
  3. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya.
  4. Tidak sah apabila memberikan mahar berupa khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
  5. Barangnya bukan barang ghasab, yakni mengambil barang milik orang lain tanpa meminta izin kepada pemiliknya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasaban tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
  6. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
  7. Tidak sah memberikan mahar dengan barang yang tidak jelas kondisinya. Atau tidak disebutkan jenisnya. 

Kadar atau Jumlah Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum, dan begitu pula jumlah maksimum -dari maskawin atau mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberikan mahar atau maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya.

Sebaliknya, orang yang kurang mampu atau miskin ada yang hampir tidak mampu untuk memberikan mahar atau maskawin. Oleh karena itu pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan, disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya.

Mukhtar Kamal menyebutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar mahar atau maskawin karena besar jumlahnya, menjadi penghalang bagi berlangsungnya pernikahan”, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw, yang artinya:

Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang seorang wanita kepada Rasulullah. Wanita tersebut berkata, ‘ya Rasulullah aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu’. Dan wanita tersebut berdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki. Ia berkata ‘Ya Rasulullah, kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya’. Maka Rasulullah menjawab, ‘Adakah engkau jadikan mahar untuknya?’ Laki-laki itu berkata ‘aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini’. Nabi berkata, “jika engkau berikan sarungmu itu sebagai mahar atau maskawin tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu yang lain’. Laki-laki itu menjawab, ‘saya tidak mendapatkan apa-apa’. Nabi berkata, ‘carilah, walaupun sebuah cincin besi’. Kemudian laki-laki itu mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apapun. Maka Rasulullah Saw bersabda, ‘adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?’ Laki-laki tersebut berkata, ‘ada surat ini, dan surat ini’, sesampainya pada surat yang telah disebutkannya, Nabi berkata, ‘engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan mahar atau maskawin ayat Al-Qur’an yang telah engkau hafal'". (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Anas r.a., bahwa Abu Thalhah pernah meminang Ummu Sulaim, dan berkata, “Demi Allah orang seperti anda tidak patut ditolak lamarannya, tetapi Anda orang kafir, sedangkan saya orang Islam. Saya tidak halal dengan Anda, jika Anda mau masuk Islam, itu jadi mahar atau maskawinnya. Dan saya tidak meminta kepada Anda sesuatu yang lain”. Maka jadilah keislaman sebagai mahar atau maskawinnya.

Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha’ Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar atau maskawin itu tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain, dapatlah dijadikan mahar atau maskawin.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut madzhab Imam Malik. Sebagian fuqaha’ yang lain berpendapat bahwa mahar atau maskawin itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar atau maskawin paling sedikit adalah seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.

Imam Abu Hanifah berpendapat, mahar atau maskawin paling sedikit adalah sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini, menurut ibnu Rusydi terjadi karena dua hal, yaitu: pertama, ketidakjelasan akad nikah sebagai salah satu jenis pertukaran. Pasalnya, yang dijadikan standar adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti jualbeli, dan kedua, kedudukan mahar adalah ibadah, yang sudah ada ketentuan.

Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu dari laki-laki, maka ia seolah dapat memiliki jasa istrinya, untuk selamanya. Di sinilah perkawinan itu mirip dengan pertukaran dalam jualbeli.

Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar atau maskawin, maka hal itu mirip dengan ibadah. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah pernyataan bahwa pernikahan itu ibadah, dan ibadah itu sudah ada ketentuannya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi, “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar atau maskawin itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Jika memang ada batasan terendahnya tentu beliau menjelaskannya.

Macam-Macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fiqih sepakat bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah,  atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.

2. Mahar Mitsil
Yaitu mahar yang tidak disebut kadarnya, pada saat sebelum/ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat.

Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi/budhe, anak perempuan bibi/budhe). Apabila tidak ada, maka mitsli itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Ulama fiqih sepakat bahwa mahar musamma harus diberikan secara penuh, apabila:

  • Telah bercampur (bers3ngama), sebagaimana Allah menjelaskan dalam Q.S An -Nisa: 20, yang artinya: “Dan apabila kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata”.
  • Salah satu dari suami atau istri, meninggal dunia. Demikian pendapat ijma’. Mahar Musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan nikahnya rusak oleh sebab-sebab tertentu.

Akan tetapi kalau istri dicerai sebelum bercampur, maka mahar hanya wajib dibayar setengahnya, sebagaimana Firman Allah SWT dalam  Q.S Al -Baqarah: 237, yang artinya:

Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campur), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan kamu janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan

Rasulullah pun telah mengatakan kepada seseorang yang ingin menikah “berikanlah maharnya, sekalipun berbentuk cincin dari besi” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal)

Ulama’ ushul fiqih menyatakan, mahar wajib untuk diberikan kepada istri, tetapi mahar itu tidak termasuk dalam rukun nikah atau syarat dari suatu akad nikah. Artinya, bila ada sebuah pernikahan berlangsung tanpa mahar, ulama’ ushul fiqih tetap menyatakan sahnya pernikahan tersebut.

Mahar mitsli juga dapat terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut:

  1. Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika akad nikah berlangsung. Kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
  2. Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah, maka pernikahan yang dalam akadnya tidak disebutkan atau tidak ditetapkan maharnya itu, disebut sebagai nikah tafwid.

Menurut jumhur ulama, nikah tafwid dibolehkan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 236, Allah berfirman, yang artinya:

Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum didukhul, dan sebelum ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya.

Jumhur ulama mengatakan, mahar tetap wajib diberikan kepada istrinya, yang jumlah dan bentuknya diserahkan pada perundingan bersama antara calon mempelai wanita dan pria.

Mengenai ukuran besar dan kecilnya atau sedikit banyaknya mahar yang diterima oleh wanita, hukum Islam tidak menetapkan secara tegas, karena adanya perbedaan si kaya dan si miskin, lapang dan sempitnya rezeki.

Pemberian mahar didasarkan kepada nilai dan manfaat. Oleh karenanya, hukum rumah tangga Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing individu, sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku, dengan syarat; mahar yang diberikan tidak berbentuk sesuatu yang mengandung mudarat atau yang berasal dari usaha haram.

Hukum Kredit Mahar
Dalam Fiqih Islam, mahar atau maskawin dipandang sebagai hak yang wajib diberikan suami kepada istri. Hanya saja suami tidak harus segera menyerahkan mahar atau maskawin istrinya pada saat akad nikah.

Mahar boleh diserahkan tunai seluruhnya, diutangkan seluruhnya, dibayar sebagian atau diutang sebagian (kredit) -baik dalam tempo yang dekat atau lama, baik penangguhan itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari dua masa, yaitu pada masa meninggal atau pada masa talak, atau dikredit bulanan atau bahkan bisa dikredit secara tahunan,- semuanya tergantung pada kesepakan kedua belah pihak.

Jika mahar disebutkan secara mutlak, dan kedua belah pihak tidak ada kesepakatan tunai, kredit atau utang, maka keputusan kembali kepada urf (tradisi) di negeri atau daerah tersebut. Rasulullah Saw bersabda, yang artinya:

Dari Ibnu Abbas: Nabi melarang Ali mendukhul Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu Ali menjawab, ‘saya tidak punya apa-apa’. Maka sabdanya, ‘di mana baju besi huthamiyyahmu?’ Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah”. (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah r.a. Ia berkata: “Rasulullah memerintahkan saya memasukkan wanita ke dalam tanggungan suaminya sebelum ia membayar sesuatu (mahar atau maskawinnya)”.

Dalam hadits tersebut ada dalil tentang bolehnya mencampuri wanita sebelum ia diberikan maharnya sedikitpun. Menurut Ibnu Abbas, hadits ini menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih itu berpendapat, mahar tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhannya. Segolongan lain mengatakan maskawin itu ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar pembayaran sebagian mahar atau maskawin itu dibayar dimuka manakala ingin mendukhul istri.

Diantara fuqaha’ yang membolehkan penundaan mahar diangsur, ada yang mensyaratkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Demikian pendapat Imam Malik.

Mahar Rusak. Ini Faktornya
Mahar yang rusak bisa terjadi karena sifat-sifat barang  tersebut, seperti; tidak diketahui atau sulit diserahkan atau mahar rusak karena dzatnya sendiri memang rusak.

Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat; nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli.

Beda lagi dengan Imam Malik, yang dalam hal ini memiliki dua riwayat pendapat. Pertama, nikah jadi rusak dan nikahnya harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.

Mengenai penggabungan mahar atau maskawin dengan jualbeli, ulama fiqih berbeda pendapat, misalnya:

  1. Jika pengantin perempuan memberikan  hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberi seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar atau maskawin, tanpa menyebutkan mana sebagai harga dan mana yang sebagai mahar.
  2. Menurut Imam Malik dan Ibnu Qasim, hal itu dilarang. Abu Abdullah menyatakan, apabila dari jualbeli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu diperbolehkan.

Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih. Misalnya, dalam kasus seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu), bagaimana hukumnya? Terjadi tiga perbedaan pendapat.

Imam Abu hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Beda dengan Imam Syafi’i yang menyatakan rusaknya nikah dan istrinya memperoleh mahar mitsli.

Menurut Imam Malik, apabila syarat sudah disebutkan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan. Tapi bila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, pemberiannya menjadi milik ayah.

Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama’ fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama’ mengatakan akad nikah tetap terjadi. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam hal; apakah harus diganti dengan harganya atau dengan barang yang sebanding, atau mahar mitsli?

Imam syafi’i terkadang menetapkan harganya, dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik satu pendapat, dengan menetapkan harus meminta harganya. Meski begitu ada pendapat lain supaya meminta barang yang sebanding. Abu Hanifah berkata; jika dikatakan diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Suhnun menyebut nikahnya batal.

Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian terjadi sebelum persetu8uhan datang dari pihak istri. Misalnya istri keluar dari Islam, atau memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya.

Bagi istri seperti ini, hak pasangan gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya. Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum didukhul, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam kasus ini, gugurnya mahar terjadi karena perempuan sendirilah yang menggugurkannya. Mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.

Hikmah Disyariatkannya Mahar
Hikmah disyariatkannya mahar atau maskawin, antara lain:

  1. Menunjukkan kemuliaan kaum wanita.

    Hal ini menandakan bahwa merekalah yang dicari, bukan mencari, dan yang mencarinya ialah laki-laki, bukan dia yang berusaha mencari laki-laki. Laki-lakilah yang mencari, berusaha, dan mengeluarkan hartanya untuk mendapatkan wanita.

    Berbeda dengan bangsa-bangsa atau umat yang membebani kaum wanita untuk memberikan hartanya atau harta keluarganya untuk laki-laki, sehingga si laki-laki mau mengawininya, sebagaimana berlaku di India dan lainnya, sehingga orang-orang muslim di India dan Pakistan juga tenggelam dalam kejahiliyahan ini hingga sekarang.

    Dengan membebani kesulitan kepada pihak wanita dan keluarganya, sehingga sebagian keluarga harus menjual apa yang dimilikinya unruk mengawinkan putri-putrinya.

    Celakanya, hingga bapak-bapak dari wanita yang fakir dan janda-janda miskin juga dituntut begitu untuk mengawinkan anaknya.

  2. Untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya.

    Pemberian harta sebagai nihlah dari padanya, yakni sebagai pemberian, hadiah, dan hibah. Bukan sebagai pembayaran harga sang wanita, sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 4, yang artinya:

    Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.
  3. Sebagai lambang kesungguhan.

    Pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan kaum laki-laki begitu saja, dengan mengatakan kepada si wanita “saya nikahi engkau,” sehingga menjadikannya terikat, kemudian tidak lama setelah itu sang wanita dilepaskan begitu saja, dan dia mencari lagi wanita lain dengan diperlakukan sama seperti yang pertama.

    Pemberian harta ini menunjukkan bahwa laki-laki sungguh-sungguh dalam mencenderungi wanita, bersungguh-sungguh dalam berhubungan dengannya.
  4. Islam meletakkan tanggungjawab keluarga di tangan laki-laki (suami).

    Karena kemampuan fitrahnya dalam mengandalikan emosi (perasaan) lebih besar dibandingkan kaum wanita, laki-laki dianggap lebih mampu mengatur kehidupan bersama.

    Oleh karena itu, wajar jika lelaki membayar karena memperoleh hak itu. Di sisi lain, dia akan lebih bertanggung jawab serta tidak semena-mena menghancurkan rumah tangga hanya gara-gara perkara sepele. [dutaislam.or.id/ab]

[Download Ebook Mahar PDF]

Anita Fitri, mahasiswi UIN Walisongo Semarang.
Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A


Daftar Pustaka:
  1. Abdillah, Asy-Syaikh Syamsyuddin Abu. 2010. Terjemah Fathul Qarib. Surabaya. Mutiara Ilmu
  2. Al-Fauzan, Saleh.  2010. Fiqh Sehari-hari. Depok. Gema lnsani
  3. Hasanah, Nur. 2015. Halalkanlah Diriku Wahai Imamku. Jakarta. Vicosta Publishing
  4. Rabbani, Afra Mutmainah. 2015. Istri yang Dirindukan Surga. Jakarta. Kunci Iman
  5. Qardhawi, Yusuf. 1995. Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah. Depok. Gema Insani

Iklan