Buku Bijak dalam Berbeda |
Dutaislam.or.id - Dalam kehidupan masyarakat beragama kita sering dihadapkan dengan perbedaan pendapat terkait suatu hukum. Terkadang kita berjumpa dengan masyarakat yang kaku akan budaya dan syariatnya sehingga enggan mentolerir sikap kalangan yang berbeda dengannya.
Padahal perbedaan bukanlah hal baru dalam masyarakat Islam. Jauh sebelum masa ini ulama-ulama terdahulu telah berada di ruang dan waktu dengan pendapat yang berbeda-beda. Tetapi kenapa pada masa kini perbedaan justru menjadi pemicu perpecahan?
Jawaban sederhana namun mengena ada pada buku kecil karya Ahmad Zarkasih yang berjudul “Bijak dalam Berbeda”. Ia menuturkan dengan lugas dan santai sebab-sebab perpecahan di masyarakat akibat perbedaan pendapat.
Beberapa di antaranya adalah kehendak untuk memaksakan pendapat. Orang yang tinggal di suatu lingkungan dengan menggunakan salah satu pendapat fiqh ulama dalam landasan beribadah, terkadang juga akan memaksakan ditempat lain. Padahal di tempat lain sudah menggunakan landasan fiqh dari ulama yang berbeda. Sikap memaksakan kehendan pendapat ini bisa saja menimbulkan gesekan (hlm. 8).
Sebenarnya perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang salah dan keliru, akan tetapi jika perbedaan itu ditonjolkan dalam masyarakat yang sudah paten dengan pendapat sendiri ditambah dengan dasar “pendapatku adalah yang benar” tentu menjadi berbahaya.
=====
Judul Buku : Bijak dalam Berbeda
Penulis : Ahhmad Zarkasih, Lc.
Penerbit : Rumah Fiqh Publishing
Tahun Terbit : 2018
Tebal : 28 Halaman
Link Download: Buku Bijak dalam Berbeda pdf
=====
Kebanyakan dari kita lupa bahwa ulama fiqh sangat menghargai perbedaan dan menghindari gesekan dan perpecahan. Ulama fiqh sangat menjunjung tinggi persatuan meskipun dalam bingkai perbedaan.
Dalam buku ini, ia mengingatkan kembali kepada kita bahwa ada kaidah fiqh yang menggambarkan keinginan ulama fiqh untuk mewujudkan perdamaian. Seperti yang tercermin dalam kaidah fiqh: “Keluar dari perbedaan adalah yang lebih utama dan lebih baik.”
Hal ini dijelaskan oleh Imam Taajudin al-Subki dalam kitab al-Asybah al Nazoir. Ketika mmbahas ini dalam kitabnya, beliau seperti menasihati baha perbedaan dalam masalah fiqh itu adalah ssuatu yang tiidak bisa dihindari. Maka kitalah yang harusnya cerdas dalam menyikapi (hlm. 10).
Selain itu dalam buku ini, Ahmad Zarkasih memberikan contoh sikap ulama atas perbedaan yang ada. Salah satu contoh dalam buku setebal 28 halaman ini adalah sikap Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Imam Syafi’I sang pelopor Qunut shubuhpun pernah meninggalkan Qunut ketika sedang mengimami sholat para pengikut Imam Abu Hanifah (hlm. 15)
Beberapa nasihat para ulama untuk menunaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar jika berhadapan dengan perbedaan pendapat juga disampaikan di akhir tulisan. Seperti peendapat yang disampaikan Ibnu Al-‘Araby (543 H) bahwa: “Sesungguhnya, seorang berilmu itu belum matang keilmuannya jika tidak meninggalkan fanatisme madzhab” (Ibn al ‘Araby dalam al ‘awashim min al-qowashim hlm. 17).
Rangkaian kata-kata yng menyegarkan dalam buku ini akan membawa kita menyelam indahnya perbedaan dan lebih menjadikan kia mawas diri. Jika anda berkenan untuk mempelajarinya, silahkan download buku PDF berjudul “Bijak dalam Berbeda” pada link yang sudah tersedia. [dutaislam.or.id/dera/gg]