Iklan

Iklan

,

Iklan

Berkah Ludah Kiai (Mengenang Hari-Hari Sebagai Santri)

22 Okt 2020, 19:12 WIB Ter-Updated 2024-08-18T20:00:33Z
Download Ngaji Gus Baha

 

cerita santri di pondok pesantren
Ilustrasi berkah ludah kiai. Foto: istimewa.

Oleh Mahmud Suyuti


Dutaislam.or.id - Setiap 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional (Hasan). Hari bersejarah bagi jutaan santri dan alumni pesantren mengenang masa-masa mondok, ngaji kitab kuning di hadapan kiai dan semilyaran bahkan trilyunan pengalaman penuh kisah suka maupun duka, yang tentu tidak bisa terlupakan bagi kami selama nyantri di pondok.


Kami duduk melingkar di depan kiai, rapat-rapatan antara lutut santri dengsn yang lain mepet membentuk bundaran, diistilahkan dengan halaqah, pengajian kitab yang disebut mangaji tudang atau tudang massulekka (Bugis), angngaji mempo (Makassar), atau lazimnya disebut bandongan dan sorogan atau wetonan.


Kiai kami membaca kitab dan menerangkannya. Kami sebagai santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan atau kami (satu persatu) maju menghadap ke kiai membawa kitab untuk kami baca dan kiai membetulkan jika terjadi salah baca dan kesalahan menerjamah.


Baca: Membantah Klaim Serampangan PKS Soal Hari Santri 22 Oktober


Kami menenteng kitab gundul itu tiap saat dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak melanggar aturan pondok. Tidak ikut pengajian kitab termasuk pelanggaran berat bg santri. Setiap pelanggaran ada sanksinya.


Kami disanksi untuk bersihkan wc/toilet dan closetnya yang baunya cukup menusuk dan masak, ngepel asrama, jalan kodok, jalan jongkok, push-up, disetrap, dipukul rotan oleh sang kiai, bahkan diludahi oleh kiai.


Mulut kami disuruh buka lebar-lebar menengadah ke langit sambil membuka mulut dan sang kiai kerek… kerek… kerek, lalu meludahi kami. Terasa air ludah bercampur air liur sang kiai merasuk masuk ke tenggorokan kami.


Sanksi atau hukuman fisik yang tadinya terasa sadis dan pedis, kini saat waktu diludahi antara mulut kiai ke mulut kami justru terasa terasi sedap bagai susu mengalir. Dan hal itu kami anggap berkah dari sang kiai.


Kiai-kiai memberikan itu semua bukan karena marah pada kami, apalagi benci dn emosi itu tidak, tetapi semata-mata karena kiai menginginkan kami sukses, memiliki motivasi yang tinggi meraih berkah dari sang kiai, guru-gutu kami, mursyid kami tercinta. [dutaislam.or.id/ab]


Mahmud Suyuti, Ketua PW MATAN Sulawesi Selatan


Iklan