fanatik itu tidak baik. Foto: istimewa |
Dutaislam.or.id - Kata 'ajab (عَجَب) adalah bentuk mashdar dari kata kerja 'ajiba - ya'jabu yang tersusun dari huruf-huruf 'ain, jim, dan ba' yang mepunyai dua arti denotatif.
Pertama, menunjukkan arti besar atau memandang besar. Makna ini kemudian berkembang sesuai dengan konteksnya (makna konotatif), menjadi: takabur karena merasa besar atau paling besar; kagum atau heran karena mengandung sesuatu yang besar. Sesuatu yang mengherankan adalah karena, kata Al-Ashfahani, cantik karena memiliki sesuatu yang besar dan mengagumkan.
Kedua berarti bagian dari binatang, yaitu pangkal ekor. Dari makna kedua ini kemudian berkembang sehingga digunakan untuk menunjukkan bagian belakang segala sesuatu.
Kata 'ajab (عَجَب) dan pecahannya di dalam Al-Qur'an terulang 27 kali dan 'ajab sendiri hanya terulang lima kali, yaitu terdapat pada (QS. Yunus: 2); (Ar-Ra'd: 5); (Al-Kahf: 9, 63); dan (Al- Jinn: 1). Bentuk lain yang digunakan adalah kata kerja yang terulang 19 kali, 12 kali di dalam bentuk madhi seperti pada (QS. Al-Baqarah: 221 dan 7 kali) di dalam bentuk mudhari', seperti pada QS. At-Taubah: 55 dan 85; kata sifat 3 kali 'ajib ( yang mengherankan) dua kali (QS. Hud: 72) dan (QS. Qaf: 2), atau 'ujab ( yang mengherankan) yaitu pada (QS. Shad: 5). Semua kata tersebut mengandung arti denotatif yang pertama yaitu menunjukkan sesuatu yang besar pada sesuatu yang jarang terjadi dan tidak diketahui sebabnya.
Di dalam (QS. Yunus: 2) misalnya kata 'ajab digunakan untuk orang kafir yang merasa heran dengan adanya seseorang dari golongan mereka yang diberi wahyu oleh Allah. Mereka disadarkan bahwa hal yang semacam itu telah terjadi sebelumnya pada umat terdahulu. Demikian halnya di dalam (QS. Al-Jinn: l), yaitu bahwa para jin heran terhadap Al-Qur'an karena mereka tidak pernah mengetahui sebelumnya, tidak tahu apa sebabnya ada, dan mengandung sesuatu yang besar.
Di dalam (QS. Ar-Ra'd: 5), dan (Al-Kahf: 9), digunakan pada orang kafir yang heran terhadap adanya rasul yang diangkat dari golongan manusia bisa seperti mereka. Ayat tersebut merupakan sindiran terhadap keheranan itu karena mereka telah mengetahui sebelumnya, bahwa telah ada sebelum mereka nabi dan rasul yang diutus kepada umat terdahulu dari golongan manusia biasa. Keheranan mereka itu justru yang mengherankan karena sudah tahu hal yang sebenarnya mengapa dipertanyakan lagi.
Di dalam (QS. Al-Baqarah: 204), kata 'ajab atau pecahannya digunakan di dalam arti sesuatu yang memesonakan atau mencengangkan karena di dalamnya ada sesuatu yang besar. Yaitu, bahwa di antara manusia ada yang memesonakan kata-katanya seakan ia membawa kebaikan padahal mereka pembangkang dan selalu membuat kerusakan di muka bumi. Arti yang sama juga terdapat di dalam (QS. At- Taubah: 25), yaitu kaum Muslim hampir mengalami kekalahan pada perang Hunain karena terlalu terpesona dengan jumlah mereka yang banyak. Begitu juga di dalam (QS. At-Taubah: 55), yaitu larangan terpesona terhadap harta dan anak yang dimiliki, seperti yang dilakukan orang-orang kafir karena hal itu yang akan menyebabkan mereka diazab kelak,
Sedangkan (QS. Al-Hadid: 20) menyatakan bahwa kehidupan dunia ini diumpamakan dengan tanaman yang indah, yang membuat para petani terpesona akan keindahannya; di dalam (QS. Al-Baqarah: 221), dilarang menikahi orang musyrik (laki-laki dan perempuan), meskipun mereka itu sangat memesonakan dan di dalam (QS. Al-Ahzab: 52), yaitu larangan kepada Nabi menikah lagi meskipun terhadap wanita yang memesonakan beliau. Larangan tersebut berlaku setelah adanya wanita yang menghibahkan dirinya untuk dinikahi tanpa mahar. Nikah semacam itu hanya berlaku khusus bagi Nabi saw. dan tidak berlaku bagi umat Islam.
Pecahan 'ajab lainnya yang digunakan adalah 'ajib (عَجيب) dan 'ujab (عجاب), keduanya berarti yang mengagumkan atau mengherankan. Menurut Al-Khalil, kedua kata tersebut mempunyai perbedaan makna, di mana 'ujab mengandung arti melebihi kualitas arti 'ajib. Sesuatu mengherankan menurut Ibnu Manzhur adalah, "mengingkari/tidak mengenali sesuatu karena jarang terjadi". Menurut Al-Ashfahani, karena terjadi dan tidak diketahui sebabnya. Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur dan Al-Ashfahani tetap sejalan dengan yang pertama karena sesuatu yang jarang terjadi dan tidak diketahui sebabnya mengandung sesuatu yang besar.
Kata 'ajib terdapat (QS. Hud: 72) dan (QS. Qaf: 2). Di dalam (QS. Hud: 72), digunakan berkaitan dengan istri Nabi Ibrahim yang seakan-akan tidak percaya atau mengingkari kalau ia akan mendapatkan putra karena dia dan suaminya sudah renta lagi mandul. Hal itu, menurutnya, sesuatu yang sangat mengherankan. Kemudian malaikat yang membawa berita itu menjawab, 'Apakah kamu mengingkari (merasa heran) terhadap ketetapan Allah?," demikian Al-Ashfahani. Di dalam (QS. Qaf: 2), kata 'ajib digunakan berkaitan dengan sikap orang kafir terhadap Nabi saw. Mereka mengingkarinya karena dianggapnya sebagai sesuatu yang sangat aneh dan mengherankan. Keanehan Nabi saw, menurut mereka. Karena beliau adalah manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan menyampaikan Al-Qur'an yang isinya juga mengherankan.
Adapun kata 'ujab (QS. Shad: 5) digunakan di dalam konteks keingkaran orang kafir terhadap keesaan Allah swt. Bagi mereka, menyembah Allah sebagai Tuhan satu-satunya adalah sesuatu yang aneh dan mengherankan karena sebelumnya, telah menyembah banyak Tuhan. [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 13-14-15, ditulis oleh Zubair Ahmad