Ilustrasi Mewaspadai Gerakan Jihadis di Indonesia. Foto: istimewa. |
Oleh Ayik Heriansyah
Dutaislam.or.id - Di luar dugaan, penaklukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) di Tal Afar, Irak, berakhir singkat. Hanya dalam waktu delapan hari pasukan Irak dan milisi Syiah Hashid al-Shaabi mengakhiri pendudukan IS di kota itu.
Berbeda dengan Tal Afar, perang melawan NIIS di Mosul berlangsung lebih dari delapan bulan dengan korban manusia dan infrastruktur yang demikian besar. Ini menunjukkan moril dan teknis militer NIIS sedang anjlok.
Lepasnya Tal Afar, rute penting NIIS yang menghubungkan Irak dengan Suriah, dan Mosul, ibu kota de facto NIIS di Irak, serta makin terdesaknya NIIS di Raqqa, ibu kota de facto NIIS di Suriah, merefleksikan melemahnya kontrol kelompok ekstrimis itu atas kota-kota di Irak dan Suriah. Saat ini eksistensi NIIS di Irak tinggal di Propinsi Anbar, wilayah gurun yang berbatasan dengan Suriah.
Merosotnya NIIS di Irak dan Suriah sejak Agustus tahun lalu, mendorong mereka mengintensifkan serangan teror di berbagai belahan dunia dan upaya mencari pijakan baru di luar Irak dan Suriah, termasuk di Asia Tenggara. Ini sesuai dengan seruan pemimpin NIIS, Abu Bakar Al-Baghdadi, agar kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan NIIS untuk beroperasi secara mandiri.
Untuk Asia Tenggara, Al-Baghdadi menunjuk Mindanao, Filipina Selatan, sebagai basis NIIS. Serangan kelompok Maute dan Abu Sayyaf – kelompok yang telah menyatakan sumpah setia pada NIIS – ke kota Marawi, Filipina Selatan, pada Mei silam merupakan respons terhadap seruan Al-Baghdadi tersebut.
Kota Marawi berhasil dikuasai kelompok Maute dan Abu Sayyaf selama beberapa bulan. Hal ini ikut mengangkat moril simpatisan NIIS di Asia Tenggara. Mereka makin percaya diri bahwa kekuatan militer salah satu negara Asia Tenggara sekutu AS ini dapat dikalahkan. Sekiaranya perang berlangsung head to head, sangat mungkin kelompok-kelompok ekstrimis itu dapat mengatasi militer Filipina.
Baca: Infiltrasi Islam Garis Keras ke Muhammadiyah
Kelompok revolusioner memang selalu lebih unggul daripada militer konvensional. Apapun, sel tidur NIIS di Indonesia dan Malaysia mendapat angin segar untuk bangkit. Hal ini otomatis menaikkan tensi isu terorisme di Asia Tenggara.
Bagi NIIS, Kota Mindanao jadi tempat hijrah sekaligus basis untuk melancarkan serangan kepada Manila. Hal ini dikhawatirkan akan mengobarkan semangat simpatisan NIIS di Indonesia, Malaysia, Singapura, bahkan juga kelompok pejuang Patani di Thailand Selatan dan Rohingya di Myanmar. Dua negara yang disebut terakhir menyimpan bara akibat penindasan penguasa sejak lama.
Kelompok NIIS di Indonesia, khususnya Poso, sementara ini dapat ditundukkan TNI-Polri. Namun, masih ada anggotanya yang bersembunyi di hutan Poso atau migrasi ke daerah lain. Sudah jadi rahasia umum bahwa simpatisan NIIS menyebar ke seluruh nusantara dalam bentuk sel tidur dan siap melakukan aksi bila keadaan kondusif. Propaganda NIIS melalui internet pun berhasil menciptakan Lone Wolf yang siap beraksi. Beberapa teroris yang berhasil diringkus Densus 88 Anti-Teror membuktikan hal ini.
Nampaknya, NIIS menjadi pemain tunggal aksi terorisme di Indonesia pasca Jamaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Paling tidak, jaringan Al-Qaeda di Indonesia sebagai kelompok jihad global selain NIIS belum kelihatan aksinya. Lain halnya di Timur Tengah, al-Qaeda jadi pesaing NIIS di medan tempur, seperti yang terlihat di Suriah, Yaman, dan Afghanistan.
Asia Tenggara adalah kawasan periperal dunia Islam. Ditinjau dari perspekstif mesianik, geopolitik, dan geostrategi jihad global, Asia Tenggara bukan tempat ideal untuk dijadikan basis. Ajaran-ajaran mesianik tentang kejayaan umat Islam yang diyakini ekstrimis internasional menunjuk pada Suriah, Irak, dan Jazirah Arab sebagai medan pertarungan yang pada akhirnya akan dimenangkan umat Islam.
Negara-negara di Asia Tenggara tidak disinggung secara khusus dalam ajaran-ajaran mesianik. Di samping itu, mayoritas umat Islam di kawasan ini menganut paham Sunni bermadzhab Asy’ariyah Syafi’iyah, bersifat moderat dan kompromistis. Karenannya, Asia Tenggara tidak memiliki sejarah panjang terorisme. Kontras dengan IS yang bermadzhab Wahabiyah Hambaliyah, yang kaku, tidak toleran, dan sulit beradaptasi dengan perubahan dunia.
Terorisme di Asia Tenggara, khususnya Poso dan Mindanao, punya latar belakang sejarah jihad yang berbeda dengan NIIS. NIIS muncul sebagai respon terhadap invasi Amerika ke Irak (2003) dan naiknya kelompok Syiah Irak ke tampuk kekuasaan pasca kejatuhan rezim Saddam Husein. Sedangkan jihad di Poso lahir dari insiden kerusuhan antara pemuda Muslim dan milisi Kristen pada 1998-2001.
Baca: NU Jangan Sampai Dimanfaatkan Wahabi dan Syiah
Kerusuhan Poso berhasil diselesaikan secara damai lewat perjanjian Malino I, tapi kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Santoso terus melanjutkan aksinya di Poso. Sedangkan terorisme di Mindanao bagian dari sejarah jihad kaum Muslim di Filipina melawan diskriminasi pemerintahan pusat. Ide jihad global belum dikenal. Jadi, jihad di Mindanao lebih dulu ada dibandingkan terorisme yang dikembangkan Al-Qaeda dan NIIS.
Pada kenyataannya deklarasi integrasi kelompok Maute, Abu Sayyaf, dan MIT dengan NIIS tidak membawa pengaruh yang signifikan selain ikatan solidaritas sesama jihadis. Ikatan yang bersifat emosi sesaat. Deklarasi integrasi dengan NIIS bagi ekstrimis Poso, Maute, dan Abu Sayyaf menaikkan status jihad mereka dari lokal menjadi global. Dengan begitu, legitimasi mereka makin kuat. Bagi NIIS sendiri, deklarasi MIT, Maute, dan Abu Sayyaf menambah bobot keuniversalan khilafah mereka sekaligus jadi bahan propaganda untuk menarik simpati umat Islam sekaligus merekrut anggota baru.
Pola hubungan teroris Asia Tenggara dengan NIIS lebih mendekati aliansi daripada integrasi. Pola ini juga yang dibangun antara jihadis Irak dengan Al-Qaeda sebelum mereka berpisah karena jihadis Irak mendeklarasikan khilafah.
Dengan masuknya NIIS ke Asia Tenggara, mengubah medan jihad lokal menjadi gerakan jihad global. Padahal panggung utama jihad yang sesungguhnyaa ada di Timur Tengah. Dari zaman dulu sampai sekarang kawasan Arab terus bergolak. Boleh dikatakan, konflik di sana seakan tiada jeda. Kenyataan ini dapat dimengerti karena dari wilayah Arablah asal tiga agama besar dunia (Islam, Kristen dan Yahudi) dan di sana terdapat energi yang berlimpah dan yang menggerakan peradaban dunia. Siapa yang menguasai Arab berarti menguasai dunia.
Khusus agama Islam, siapa yang menguasai dua kota suci, Makkah dan Madinah, dianggap sebagai pemimpin dunia Islam. Makkah dan Madinah jadi simbol pemersatu dan kepemimpinan tertinggi dunia Islam. Semua penguasa di negeri Islam dan setiap kelompok politik Islam berusaha untuk bisa menguasai kedua kota suci tersebut.
Tak heran, dalam beberapa pidatonya, Al-Baghdadi menyerukan kepada pengikutnya untuk menyerang Arab Saudi, yang dituding antek Amerika, penghalang utama IS dalam menguasai Jazirah Arab. Sebelum adanya NIIS, jihadis internasional telah menargetkan Jazirah Arab sebagai jalan untuk menguasai Makkah dan Madinah.
Inspirator jihad Irak, Abu Mus’ab Az-Zarqawi, ketika masih berjibaku melawan tentara Amerika di Irak telah memiliki visi menguasai Jazirah Arab dengan strategi dua lengan, yaitu menduduki Suriah sebagai gerbang utara dan Yaman sebagai gerbang selatan menuju Jazirah Arab.
Terkait posisi Asia Tenggara dalam jihad global patut dipertanyakan urgensi dan relevansinya. Karena dari doktrin mesianik tentang kemenangan umat Islam, visi jihad global, strategi dua lengan, sampai realitas geopolitik dan geostrategi, serta sejarah jihad yang berbeda, menunjukkan tidak ada chemistry antara NIIS dengan gerakan jihad lokal di Asia Tenggara.
Baca: Mantan HTI: Watak HTI Keras Kepala, Tak Tenggang Rasa, Kurang Adab dan Mirip PKI
Selama ini keberhasilan NIIS karena sigap menduduki daerah kosong tak bertuan. Daerah yang mengalami vacuum politik akibat konflik berkepanjangan. NIIS belum pernah mencatat kemenangan di daerah yang stabil di mana pemerintahannya berjalan normal. Susah bagi NIIS untuk bisa eksis di Asia Tenggara dalam waktu lama sebab kawasan ini pemerintahannya relatif kuat. Tidak ada daerah yang mengalami vacuum politik kecuali bagian selatan Filipina.
Yang dikhawatirkan banyak pihak, seruan hijrah ke Mindanao hanya akan membawa krisis politik baru di Asia Tenggara. Kawasan ini akan jadi tempat pelarian dan persembunyian jihadis NIIS regional maupun internasional.
Migrasi diaspora jihadis NIIS dari Irak dan Suriah dapat memberi inspirasi serta menguatkan terorisme dan perlawanan kaum Muslim di Indonesia, Filipina, Thailand, dan Myanmar, terhadap musuh-musuh mereka. Ini akan menambah prahara di kawasan Asia Tenggara. [dutaislam.or.id/ab]
Ayik Heriansyah, Ketua Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat