Orang yang pura-pura masuk islam. Foto:istimewa |
Dutaislam.or.id - Kata adha'a adalah kata kerja bentuk lampau yang mendapat tambahan huruf alif (أَ) pada kata kerja dasarnya; dha'a (َظَاع), yang tersusun dari huruf-huruf dhad, waw, dan hamzah, berarti 'bersinar' atau 'bercahaya'. Dari bentuk dasar itu terbentuk antara lain dhaw' - dhu' - dhiya' - dhiwa' (cahaya sinar); tadhawwa'a (berada di tempat yang gelap untuk melihat yang ada di tempat terang); istadha'a (mencari cahaya). Menurut Az-Zajjaj, dha'a (َظَاع) dan adha'a (ََأَظَاعَ) mempunyai arti sama, yaitu 'bersinar' (bentuk intransitif).
Adha'a dan pecahannya di dalam Al-Qur'an terulang enam kali dan adha'a sendiri terulang tiga kali, dua kali di dalam bentuk lampau (QS. Al-Baqarah: 17 dan 20) dan sekali di dalam bentuk sekarang (QS. An-Nur: 35). Kata lainnya yang berbentuk mashdar terdapat pada (QS. Yunus: 5), (QS. Al-Anbiya': 48), dan (QS. Al-Qashash: 71).
Kata adha'a di dalam (QS. Al-Baqarah: 17 dan 20) berarti 'menyinari' (transitif), tetapi menurut Az-Zajjaz dan Al-Farra', berarti 'bersinar' (intransitif).
Kata di dalam dua ayat tersebut digunakan berkaitan dengan orang munafik. Pada Ayat 17, Allah mengumpamakan orang munafik sebagai orang yang menyalakan api di dalam kegelapan, lalu Allah memadamkan cahaya api itu sehingga mereka tetap di dalam kegelapan. Artinya, mereka telah mendapatkan cahaya, yaitu dengan pura-pura masuk Islam, tetapi karena mereka tidak beriman maka Islam itu tidak ada manfaatnya bagi mereka sehingga tetap di dalam kesesatan (kegelapan).
Mereka diperumpamakan, sebagaimana di dalam Ayat 20, sebagai orang yang berjalan di dalam gelap gulita yang disertai hujan lebat, guruh, dan kilat, lalu mereka melangkah ketika kilat menyinari jalan yang mereka lalui. Artinya, menurut Ibnu Abbas, jika Al-Qur'an menguntungkan, mereka mengikutinya tetapi jika tidak, mereka berpaling dari padanya dan kembali kepada kesesatan dan kemunafikan.
Adapun kata yudhi'u (bentuk mudhari' dari adha'a) yang terdapat di dalam (QS. An-Nur: 35), diartikan dengan 'menyinari' atau 'menyalahi'. Di dalam ayat itu, yudhi'u digunakan berkaitan dengan pencerminan ayat-ayat Allah sebagai nur llahi pada langit dan bumi, yaitu diumpamakan sebagai pelita dan Nabi Muhammad saw. diumpamakan sebagai minyaknya yang hampir menyinari karena begitu jelasnya dirinya sebagai Nabi/Rasul dengan kebenaran yang dibawanya.
Kata lain yang seakar dengan adha'a yang digunakan Al-Qur'an adalah dhiya' yang berarti 'cahaya, penerang'. Kata tersebut terulang tiga kali, masing-masing digunakan berkaitan dengan matahari yang bersinar sebagai bukti kekuasaan Allah (QS. Yunus: 5); Nabi Musa dan Harun as., yaitu keduanya telah diberi Al-Furqan (Kitab Taurat) sebagai dhiya' (penerangan) serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Anbiya': 48).
Dhiya' di dalam ayat tersebut dimaksudkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup (serta sinar terang yang datang setelah berlalunya malam) kepada manusia hingga kiamat sebagai bukti kebenaran Allah (QS. Al-Qashash: 71).
Dari pemaparan ayat-ayat di atas, tampaknya kata adha'a dan pecahannya digunakan untuk hal yang konkret yang menggunakan makna denotatif (QS. Yunus: 5) dan (QS. Al-Qashash: 71) dan hal yang abstrak dengan makna konotatif, yaitu sebagai petunjuk (QS. Al-Anbiya: 48). Di samping itu, juga digunakan dengan makna denotatif, tetapi di dalam ungkapan metaforis sehingga maknanya sepadan dengan Al-Qur'an atau petunjuk (QS.Al-Baqarah: 17 dan 20) serta (QS. An-Nur: 35). [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 52, ditulis Zubair Ahmad