Iklan

Iklan

,

Iklan

Menguatkan Nasionalisme Kaum Sarungan Nusantara

9 Jul 2021, 06:08 WIB Ter-Updated 2024-08-18T19:46:35Z
Download Ngaji Gus Baha
nasionalisme kaum sarungan pesantren
Nasionalisme Kaum Sarungan Nusantara. Foto: istimewa.


Oleh Desi Anggo Ramadhani


Dutaislam.or.id - Nasionalisme dan Islam pada dasarnya merupakan dua hal yang bertentangan. Pernyataan itu didukung dengan alasan-alasan: pertama, watak dasar Islam adalah universal, sedangkan watak dasar nasionalisme adalah partikular. 


Oleh karena itu, Islam bertujuan untuk memberikan kepada manusia sistem kemasyarakatan yang adil dan luhur menuju terwujudnya "negara dunia" (world state), sedangkan nasionalisme membagi–bagi manusia atas dasar kebangsaannya menuju terwujudnya "negara-bangsa" (nation-state). 


Kedua, semangat nasionalisme terlalu berlebihan dalam menunjukkan keunggulan rasa kebangsaannya, padahal tidak ada yang lebih unggul daripada Islam sebagaimana sabda Nabi: "Islam adalah tinggi dan tidak bisa diungguli oleh ajaran apapun". 


Baca: Sejarah Konstribusi Pesantren dan Kiai Untuk NKRI


Ketiga, di dalam nasionalisme memiliki kecenderungan untuk memecah-belah, dis-integrasi dan potensi ekstrimisme yang destruktif. Hal itu bisa dilihat dari adanya organisasi PBB yang bertugas untuk menjaga keamanan Negara dan menanggulangi dampak negatif adanya nasionalisme. (Abdus Salam, 2003).


Apa makna Nasionalisme itu? Nasionalisme secara etimologis berasal dari terma natio yang berasal dari bahasa Latin, yakni natio, yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio ini berasal dari kata nascie yang berarti dilahirkan. 


Nasionalisme sendiri mengandung makna "suatu sikap mental di mana loyalitas tertinggi dari individu adalah untuk negara bangsa atau sikap politik dan sosial dari kelompok – kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dari tujuan, dan dengan demikian merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsanya". 


Nasionalisme Indonesia adalah hasil ciptaan masyarakat Indonesia yang majemuk, bukan ciptaan pemerintah Indonesia. Mereka memegang teguh cita-cita kesatuan dalam pluralisme. (Ali Maschan Moesa, 2007). 


Bagaimana menyatukan islam dengan nasionalisme? Wilayah agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. 


Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan (divine sovereignity) karena kedaulatan itu memang berasal dari dan berada di tangan Tuhan (Ali Maschan Moesa, 2007). 


Hubungan agama dan negara bersifat simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, negara membutuhkan agama sebagai dasar kekuatan moral sehingga ia dapat menjadi mekanisme kontrol. Sementara di sisi lain agama memerlukan negara sebagai sarana untuk pengembangan agama itu sendiri (Sayuti J, 1994). 


Nasionalisme akan kokoh jika dibangun dengan menghargai nilai-nilai pluralisme, menghargai perbedaaan merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Masyarakat umum dan warga negara harus mempunyai sikap untuk tetap menjaga keutuhan negara. Bagaimana bila santri yang mengambil peran tersebut? 


Makna inti kata santri adalah pelajar sekolah Islam. Di Jawa siapa pun yang memeluk bentuk Islam yang berpusat pada syari'ah dan atau bahkan memiliki pengetahuan mendalam mengenai bahasa Arab dianggap sebagai santri. (Woodward, 1989). Santri merupakan produk atau lulusan dari pesantren. 


Pesantren adalah institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa anggota keluarganya. 


Pesantren menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan kiai sebab ia merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran, tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. 


Pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), sebab lembaga yang serupa pesantren ini sudah ada di nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha. (Ali Maschan Moesa, 2007).


Pesantren sebagai sebuah sistem mempunyai empat unsur penting yang terkait. Pertama, adalah kiai sebagai pengasuh, pemilik, dan pengendali pesantren. Unsur yang kedua adalah santri, yaitu murid yang belajar pengetahuan keislaman kepada kiai. 


Unsur ketiga adalah pondok, yaitu sebuah sistem asrama, termasuk di dalamnya masjid yang disediakan oleh kiai untuk mengakomodasi para santri. Unsur yang keempat adalah kitab yang berisi bermacam-macam mata pelajaran yang diajarkan oleh kiai kepada santri dan masyarakat. (Ali Maschan Moesa, 2007).


Pandangan kiai tentang nasionalisme bisa kita lihat dari KH. Yasri Marzuki. Nasionalisme Indonesia mendapatkan pijakannya dari semangat perjuangan para kiai sejak zaman penjajahan Belanda. Dia memahami bahwa "fatwa jihad" yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 adalah wujud nyata dari nasionalisme bangsa Indonesia. 


Adapun tentang hubungan agama dan negara, KH. Yasri Marzuki sependapat dengan KH. Ahmad Siddiq yang menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak bisa disatukan sebab keduanya memang memiliki perbedaan-perbedaan. 


Agama menempatkan politik dan negara sebagai alat untuk memperjuangkan misi agama, sedangkan hakikat Negara adalah wadah bagi berprosesnya sesuatu kekuasaan.(Ali Maschan Moesa, 2007).


Disini peran kiai sangat penting dalam sebuah pesantren. Mereka bertanggung jawab meletakkan sistem, peraturan yang ada di pesantren, sekaligus menentukan maju atau tidaknya pesantren. 


Hakikat kiai adalah sebuah institusi, dan menurut Duverger, memiliki pengaruh yang kuat terhadap fenomena sosial-kemasyarakatan dan sosial politik yang berada di luarnya. Apakah kiai juga bisa membangun semangat nasionalisme di antara santri?


Tentu bisa, mereka para santri sangat takzhim dan patuh pada kiai. Lantas apa hubungan kiai dengan nasionalisme? Apakah kiai juga berpolitik? Sejarah membuktikan bahwa kiai sudah berpolitik sejak sebelum kemerdekaan. 


Hal ini dibuktikan dengan para kiai NU yang memimpin dan melawan penjajah. Terkait dengan hal ini, Bruinessen juga menyatakan bahwa menurut penyelidikan yang lebih seksama, tidak sedikit pemimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda adalah para kiai dan haji. 


Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa pada 1903, Kiai Kasan Mukmin dari Sidoarjo memaklumkan diri sebagai “penyelamat” (Mahdi) dan memberitahu para pengikutnya bahwa ia mendapat tugas untuk mendirikan sebuah kerajaan baru di Jawa. Ia mengajari pengikutnya ilmu kedigjayaan dan meminta mereka untuk berjihad melawan pemerintah Belanda. (Ali Maschan Moesa, 2007).


Kenapa mengambil contoh kiai NU? 


Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi sosial kegamaan tidak bisa dilepaskan dari realitas yang mempengaruhinya ketika itu, yaitu dua realitas ke-Indonesiaan dan ke-Islaman. 


NU mempunyai peran yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk bisa merebut kemerdekaan di tangan penjajah. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa pada 1953 NU mendesak MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) untuk bersama GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) meningkatkan tuntutan "Indonesia Berparlemen" kepada pemerintah Hindia –Belanda dan Pemerintah Belanda di Den Haag. Akan tetapi, pada waktu itu tuntutan tersbut ditolak oleh Belanda. (Ali Maschan Moesa, 2007).


Menurut Zuhri (1997:169), pada sekitar bulan April – Mei 1942, terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan seluruh dunia pesantren. KH. Hasyim Asy’ari, pemimpin pesantren Tebuireng Jombang dan pemimpin tertinggi (Rais Akbar NU) ditangkap oleh Jepang. 


Dia dimasukkan ke dalam penjara Jombang, lalu dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya di penjara Koblen, Surabaya. Beberapa kiai dan santri meminta Jepang agar mereka juga dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda khidmat kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berumur 70 tahun. 


Baca: Melacak Tradisi Nasionalisme Asia Tenggara, Membangun Madrasah dan Defensifitas Salafiyah


Hal yang menyebabkan KH. Hasyim Asy'ari dipenjarakan adalah karena dia menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere, yaitu membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja Jepang.(Ali Maschan Moesa, 2007).


Di kalangan pesantren sudah biasa adanya tradisi musyawarah (syawir) dan diskusi (halaqah) yang melibatkan para kiai dan santri senior dimana hasil diskusi disosialisasikan kepada masyarakat. 


Di dalam intern pesantren sendiri para santri senior secara rutin mengadakan forum diskusi, baik untuk membahas persoalan yang berkembang di masyarakat. Secara tidak langsung kehidupan di pesantren sudah memikirkan tugas nya di masyarakat. Sikap yang dimiliki para santri tersebut mencerminkan dirinya mempunyai rasa nasionalisme. 


Nasionalisme yang dibahas sekarang bukan lagi perang melawan penjajah tetapi bagaimana kita menunjukkan kepada negara apa yang mampu kita berikan kepada Negara dan mengharumkan nama Indonesia. 


Tugas itu tidak hanya diperuntukkan untuk kaum intelektual dan masyarakat kritis saja. Santri pun berhak untuk mengambil posisi untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap utuh dan menunjukkan kelas Indonesia ke kancah dunia.


Santri harus memiliki jiwa pemimpin, mampu berdiskusi di muka umum dan tegas dalam mengambil tindakan. Nasionalisme sekarang ini adalah bagaimana cara membawa Indonesia ke kehidupan yang lebih baik. Mampu menciptakan Indonesia yang aman, damai, tenteram dan menjadi negara yang dirahmati oleh Allah Swt. 


Santri di sini diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin bangsa yang memiliki moral baik dan keimanan yang tinggi atau menjadikan santri santri sebagai generasi berakhlaqul karimah yang mau dipimpin oleh para pemimpin alim. 


Para santri sudah dibekali pendidikan karakter, cara berdiskusi di depan umum, memecahkan masalah kelompok dan hidup bermasyarakat di pesantren. Tentu saja kiai mengambil peran penting terwujudnya sikap santri yang diinginkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa ini.


Sebagaimana hasil penelitian Dhofir (1982), sistem pembelajaran di pesantren pada umumnya menggunakan cara tradisional, yaitu bandongan atau sorogan. Bandongan atau sorogan adalah jenis pengajaran keagamaan yang dilakukan oleh kiai dan santri senior kepada santrinya. 


Sistem sorogan ini memang bertujuan untuk memberikan latihan khusus kepada santri dan membantu mereka mengembangkan dan mendalami pengetahuan atau keahlian tertentu. Dalam proses pembelajaran santri di pesantren dapat kita lihat bahwa mereka sudah dibekali cara menghadapi permasalahan yang sulit, mengembangkan pengetahuan dan keahlian tertentu. 


Apabila sikap santri seperti ini dikembangkan ke dalam kehidupan nasionalisme, Indonesia akan terasa semakin aman, damai dan sejahtera. Kiai dan santri adalah sebuah ikatan yang tidak bisa dipisahkan. Apa yang diperintahkan kiai santri pasti akan mengikuti dan melakukannya. 


Oleh karena itu, kiai juga harus menyelipkan semangat semangat nasionalisme dan jiwa jiwa pemimpin di dalam diri santri. Kesejahteraan akan kita rasakan bersama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. [dutaislam.or.id/ab]


Desi Anggo Ramadhani, Mahasiswi IAIN Surakarta


Keterangan: 

Naskah ini pernah dikirimkan penulis ke Panitia Hari Santri 2017, dengan editan seperlunya dari redaksi. 


Iklan