Iklan

Iklan

,

Iklan

Biografi KH. Moh. Mahfoudh Husaini, Penulis Kitab Mandhumah An-Nuqayah

Duta Islam #02
21 Agu 2024, 04:51 WIB Ter-Updated 2024-08-20T21:51:37Z
Download Ngaji Gus Baha
biografi kh mahfudz husain madura
KH. Mahfoudh Husaini. Foto: istimewa.


Oleh M Faizi


Dutaislam.or.id - KH. Moh. Mahfoudh Husaini lahir dan besar di Sabajarin, sebuah kampung di desa Guluk-Guluk, wilayah dataran tertinggi di Madura, Kabupaten Sumenep. Ia dilahirkan pada hari Selasa, 16 Jumadil Akhir 1345 H, atau 22 Desember 1926 M. Ayahnya, K. Husain, adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani, sedangkan ibunya, Nyai Aisyah, adalah putri bungsu Kiai Syarqawi, pendiri Pondok Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep.


Sejak usia 7 tahun, KH. Mahfoudh mulai belajar mengaji al-Qur’an dari ibunya. Pada usia 12 tahun, ia melanjutkan pendidikannya dengan nyantri kepada Kiai Abdullah Sajjad Syarqawi di dusun Latee, yang terletak dekat kampung Sabajarin. Selama periode 1934 hingga 1941, beliau memperdalam ilmu agama di Annuqayah sambil mempelajari kitab-kitab secara sorogan dari ayahnya. Beliau mempelajari fikih, nahwu, dan sharraf melalui kitab-kitab dasar.


Pada tahun 1936, ketika masih berusia 9 tahun, KH. Mahfoudh sempat tinggal di Pondok Pesantren Banyu Anyar, Pamekasan, selama empat bulan. Meskipun tidak menjadi santri resmi, ia tetap belajar mengaji al-Qur’an kepada Kiai Abdul Majid selama dua bulan terakhir.


Pada tahun 1941, KH. Mahfoudh pindah dari dusun Latee ke dusun Lubangsa, yang juga bagian dari Pondok Pesantren Annuqayah dan berada di bawah asuhan K.H.M. Ilyas Syarqawi. Di sana, beliau masuk Madrasah Salafiyah kelas 1, yang setara dengan kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah saat ini. Madrasah ini didirikan oleh Kiai Khazin Ilyas pada tahun 1933 dengan sistem pendidikan ala pesantren Tebuireng, Jombang.


Kiprah dalam Dunia Pendidikan Pesantren

Pada akhir tahun 1943, setelah menyelesaikan kelas 3 salafiyah, KH. Mahfoudh diberi tugas membina Madrasah Ibtidaiyah oleh Kiai Khazin, yang saat itu bergabung dengan laskar Hizbullah untuk memperjuangkan kemerdekaan. Kiai Mahfoudh tetap mengaji kitab kepada Kiai Ilyas Syarqawi sambil belajar pengetahuan umum secara otodidak, termasuk bahasa Inggris.


Pada tahun 1947, KH. Mahfoudh memimpin dusun Latee selama setahun setelah wafatnya K. Abdullah Sajjad, yang ditembak tentara Belanda di Guluk-Guluk. Pada tahun 1951, ia menikah dengan Nyai Arifah, putri K. Abdullah Sajjad, yang membina santri di Latee.


Tahun 1950 disebut oleh KH. Mahfoudh sebagai tahun "penyerahan kedaulatan," di mana Kiai Ashiem Ilyas berangkat menuntut ilmu ke Tebuireng dan Jakarta untuk mendapatkan pendidikan jurnalistik. Sejak tahun 1951, KH. Mahfoudh menggantikan peran Kiai Ashiem dalam mengembangkan madrasah. Ia melakukan reformasi dengan melebur kelas 1, 2, 3, dan 4, dan menggabungkannya dengan Madrasah Tsanawiyah. Sistem kelas ini terus berlangsung selama hampir sepuluh tahun, dengan beberapa perubahan, termasuk penambahan satu kelas lagi untuk Tsanawiyah.


Pada tahun 1959, setelah wafatnya Kiai Ilyas Syarqawi, KH. Mahfoudh memimpin Madrasah Ibtidaiyah, sementara Madrasah Tsanawiyah dipimpin oleh Kiai Amir Ilyas. Kiai Amir kemudian mengubah Madrasah Tsanawiyah menjadi "Madrasah Mu’allimin" dengan jenjang studi 4 tahun, yang merupakan cikal bakal sistem pendidikan Tsanawiyah-Aliyah saat ini.


Pada tahun 1965, masa studi Mu’allimin diubah menjadi 6 tahun, mirip dengan gabungan Tsanawiyah dan Aliyah. Sistem ini berlangsung normal hingga tahun 1979, ketika peraturan pemerintah menyatakan bahwa ijazah Mu’allimin tidak diakui. Sebagai hasilnya, Mu’allimin dibagi menjadi Madrasah Tsanawiyah Annuqayah dan Madrasah Aliyah Annuqayah.


KH. Mahfoudh tetap berkonsentrasi membina Madrasah Ibtidaiyah, yang pada tahun 1981 ditunjuk sebagai salah satu madrasah percontohan di Madura oleh Departemen Agama Pusat atas bantuan UNICEF. Untuk memenuhi kebutuhan madrasah putri yang terpisah secara administratif dari madrasah putra, KH. Mahfoudh mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah Putri di Sabajarin.


Pada awal 1980-an, Madrasah Ibtidaiyah mengikuti Ujian Negara untuk pertama kalinya, dengan 8 siswi lulus. Pada tahun 1982, KH. Mahfoudh mendirikan Madrasah Tsanawiyah Putri dengan 13 orang siswi, meskipun jumlah siswi menurun menjadi 8 orang pada tahun 1984. Namun, beliau memahami bahwa penurunan ini disebabkan oleh kebiasaan wali murid yang segera menikahkan putri mereka setelah lulus kelas 6 Ibtidaiyah.


Pada tahun 1984, bersama dengan dewan pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, KH. Mahfoudh turut serta dalam mendirikan perguruan tinggi yang kini dikenal sebagai STIKA (Sekolah Tinggi Keislaman Annuqayah). Pada awalnya, sekolah tinggi ini dipimpin oleh Kiai Ashiem Ilyas.


Karir Politik dan Pengalaman Organisasi

Setelah berdirinya negara Indonesia dengan Pancasila sebagai asasnya, Wakil Presiden Hatta mengumumkan pembentukan partai-partai politik. Salah satu partai yang muncul adalah Masyumi, di mana Kiai Mahfoudh menemukan wadah untuk mengekspresikan pandangan politiknya. Kiai Mahfoudh terlibat aktif di partai ini, menjadi Ketua Anak Cabang (Ancab) di Kecamatan Guluk-Guluk. Pada periode antara tahun 1945 hingga 1950, beliau juga aktif dalam kepengurusan Sabilillah.


Pada tahun 1950, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRDS) dibentuk, dan Kiai Mahfoudh menjadi salah satu anggotanya, menjadikannya anggota termuda pada usia 24 tahun. Saat itu, DPRDS terdiri dari perwakilan Masyumi, serta satu anggota dari PSI, PKI, dan dua dari PNI. Pada Pemilu 1955, beliau kembali terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hingga tahun 1959. Namun, setelah presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk membubarkan Masyumi sejalan dengan terbentuknya poros Nasakom, Kiai Mahfoudh memutuskan untuk tidak aktif lagi dalam politik. Ia merasa tidak nyaman bergabung dengan partai mana pun setelahnya.


Setelah meninggalkan dunia politik, Kiai Mahfoudh bergabung dengan ‘Jam’iyah al-Washliyah’ sebagai pimpinan daerah Kabupaten Sumenep. Organisasi ini menarik minatnya karena fokus pada pendidikan. Beliau menghargai struktur dan rancangan organisasi Jam’iyah al-Washliyah yang sudah mapan, bahkan memiliki penilik untuk sekolah-sekolah di tingkat kecamatan, sementara pemerintah hanya mengurus tingkat kabupaten. Namun, keterlibatannya di organisasi ini berakhir pada tahun 1964, sebelum terjadinya peristiwa Gestapu, yang membuat beliau tidak aktif lagi dalam organisasi apa pun.


Pada tahun 1968, setelah Presiden Soeharto menggantikan Soekarno, para tokoh Masyumi mulai kembali berperan dalam politik melalui Parmusi. Selama sepuluh tahun, dari 1974 hingga 1984, Kiai Mahfoudh kembali menjadi anggota DPRD dalam dua periode berturut-turut, kali ini bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, setelah tahun 1984, beliau kembali menarik diri dari politik dan organisasi, fokus pada dunia pendidikan, khususnya di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Putri.


Proses belajar-mengajar yang ia pimpin berlangsung hingga tahun 2000, dan hingga 2006, beliau masih aktif mengelola kegiatan pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah, terutama di lembaga pendidikan khusus santri putri di Sabajarin. Kiai Mahfoudh memprakarsai berbagai kegiatan pendidikan seperti kursus bahasa Arab, bahasa Inggris, dan komputer. Bahkan, kursus bahasa Jepang tengah dirintis.


Sejak awal tahun 1990-an, Kiai Mahfoudh juga aktif dalam Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASRA), sebuah forum yang terdiri dari ulama dan kiai pengasuh pesantren dari empat kabupaten di Madura: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Misi forum ini adalah menyatukan suara umat Islam, khususnya di masyarakat Madura. BASRA bukanlah organisasi penuh, melainkan forum silaturrahim yang mempertemukan berbagai tokoh, bahkan yang berbeda afiliasi politik, untuk bersama-sama memikirkan masa depan masyarakat Madura. Pertemuan forum ini biasanya bersifat insidentil, misalnya dalam acara pengajian, dan mencapai puncaknya ketika isu Jembatan Suramadu muncul.


Visi Pendidikan 

Menurut Kiai Mahfoudh, pendidikan adalah upaya membina sumber daya manusia (SDM), yang merupakan faktor terpenting dalam pembangunan. Ia menekankan pentingnya mengenal urusan ukhrawi (keakhiratan) dan duniawi, dengan prioritas pada ukhrawi karena sifatnya yang ghaib dan tak dapat dilihat. Beliau mengkritik kecenderungan manusia yang lebih memilih urusan duniawi karena terlihat nyata, sementara mengabaikan urusan ukhrawi.


Kiai Mahfoudh juga menegaskan bahwa pendidikan harus dimulai dari keluarga, komunitas terkecil. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan yang harus diwariskan kepada keturunan. Pendidikan ini bahkan dimulai sebelum anak dilahirkan. Anak ideal adalah yang dapat berbakti dan menjauhi segala larangan.


Konsep pendidikan Kiai Mahfoudh tidak bisa lepas dari paradigma al-Qur’an. Visi pendidikannya mencakup delapan poin penting, yang terbagi dalam dua kelompok utama: ‘ketaatan dan pengabdian’ serta ‘menjauhi kemaksiatan’.


Empat poin tentang ketaatan dan pengabdian:


  1. Hubungan Horizontal: Membina hubungan baik dengan sesama makhluk, misalnya dengan bersifat hilm (sabar dan santun).
  2. Hubungan Vertikal: Ibadah kepada Allah, seperti melaksanakan shalat fardu dan memperbanyak shalat malam.
  3. Tidak Terjebak dalam Tipuan: Meski telah beramal, seseorang harus tetap mempertanyakan kualitas ibadahnya untuk terus giat dan tekun.
  4. Mengambil Jalan Tengah dalam Nafkah: Bersikap dermawan tetapi tidak boros, serta mengelola harta dengan sikap positif dan ekonomis.


Empat poin tentang menjauhi kemaksiatan:


  1. Keteguhan Hati untuk Tidak Berbuat Maksiat: Tidak menyekutukan Allah, tidak membunuh, dan tidak berzina.
  2. Menghindari Kemaksiatan: Berpaling dari hal-hal yang melanggar aturan agama.
  3. Menyimak Ayat-ayat Suci dengan Benar: Mendengarkan dan memperhatikan ayat-ayat suci dengan serius meskipun sudah memahami isinya.
  4. Memohon kepada Allah untuk Membina Keluarga yang Taat: Meminta agar diberi kekuatan untuk membina keluarga menjadi orang-orang yang bertakwa.


Melalui visi pendidikan ini, Kiai Mahfoudh menekankan pentingnya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat serta peran keluarga dalam membentuk generasi yang berbakti dan bertakwa.


Mandhūmat al-Nuqāyah

Nama Pondok Pesantren Annuqayah diambil dari salah satu kitab berjudul Al-Nuqāyah yang ditulis oleh Jalāluddin ‘Abdurrahman al-Suyūthī. Kitab ini, yang kemudian diberi penjelasan (syarh) oleh penulisnya dengan judul Itmām al-Dirāyah Li Qurrā’i al-Nūqāyah, adalah sebuah kitab pengantar yang mencakup 14 disiplin ilmu dan ditulis dalam bentuk prosa (natsar). 


Menurut Kiai Mahfoudh, visi Pondok Pesantren Annuqayah sejalan dengan visi yang terkandung dalam kitab tersebut. Namun, kitab Al-Nuqāyah telah lama tidak diajarkan di pesantren, sehingga banyak santri yang melupakannya, bahkan ada yang tidak mengenal kitab ini sama sekali. Pada bulan Ramadan 1428 H (September/Oktober 2007), Kiai Wadud Munir menyelenggarakan pengajian kitab tersebut di Annuqayah.


Dengan semangat untuk menghidupkan kembali ajaran kitab Al-Nuqāyah, Kiai Mahfoudh menyusun sebuah kitab baru berdasarkan karya al-Suyūthī tersebut. Jika kitab Al-Nuqāyah ditulis dalam bentuk prosa, Kiai Mahfoudh menggubahnya ke dalam bentuk syair (nadham) dan memberinya nama Mandhūmat al-Nuqāyah, yang berarti “Kitab Al-Nuqāyah dalam Bentuk Nadham.” Harapannya adalah agar kitab ini bisa kembali diajarkan dan menjadi acuan bagi para santri di Pondok Pesantren Annuqayah.


Kitab Mandhūmat al-Nuqāyah ini, seperti kitab aslinya, mencakup empat belas fann (disiplin ilmu), yaitu: ‘Ilm Ushūlu al-Dīn, ‘Ilmu al-Tafsīr, ‘Ilmu al-Hadīts, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, ‘Ilmu al-Farā’idh (ilmu distribusi harta waris), ‘Ilmu al-Nahwi (ilmu tata bahasa), ‘Ilmu al-Tashrīf (ilmu konjugasi), ‘Ilmu al-Khath (ilmu kaligrafi), ‘Ilmu al-Ma’ānī, ‘Ilmu al-Bayān (keduanya adalah ilmu retorika), ‘Ilmu al-Badī’ (ilmu teori metafor), ‘Ilmu al-Tasyrīh (ilmu anatomi), ‘Ilmu al-Thibb (ilmu kedokteran), dan ‘Ilmu al-Tashawwuf.


Namun, kitab Mandhūmah al-Nuqāyah karya Kiai Mahfoudh ini belum sepenuhnya selesai. Hingga tahun 2003, beliau telah menggubah hampir 1.400 larik syair, sementara masih ada tiga disiplin ilmu (fann) yang belum terselesaikan.


Di pesantren-pesantren, kitab yang diajarkan umumnya adalah kitab fikih. Namun, dalam kitab Al-Nuqāyah, fikih tidak dimasukkan sebagai bab tersendiri. Yang ada adalah Ushūl al-Fiqh, yang membahas teori-teori pengambilan keputusan hukum. 


Menurut Kiai Mahfoudh, hal ini karena fikih adalah produk akhir, dan jika dimasukkan sebagai bab tersendiri, maka pembahasannya harus mendalam dan rinci. Sementara itu, disiplin-disiplin ilmu dalam Kitab Mandhūmah al-Nuqāyah hanyalah pengantar, atau perangkat dasar untuk menghasilkan sebuah produk, bukan pembahasan mendetail. "Kitab Mandhūmah al-Nuqāyah adalah perangkat dasar untuk ijtihad," tambah beliau.


Mulai awal tahun 2006, kondisi kesehatan Kiai Mahfoudh menurun, sehingga beliau tidak lagi aktif dalam kegiatan kependidikan dan kemasyarakatan, termasuk sebagai anggota Dewan Masyayikh Annuqayah. Kiai Mahfoudh wafat pada hari Rabu pagi setelah Subuh, 24 Muharram 1430 H, yang bertepatan dengan 21 Januari 2009 M. [dutaislam.or.id/ab]


M Faizi, PPA Al-Furqan Sabajarin


Referensi:

Dikutip dari buku Mastuki HS, M.Ag, dan Ishom El-Saha, M.Ag (ed.), Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, Cetakan Pertama (2003), Penerbit Diva Pustaka, Jilid ke-3, Halaman (289-296), dengan beberapa perubahan.

Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha