Iklan

Iklan

,

Iklan

Biografi Perjuangan KH. Idris Wonosobo, Kiai Berpangkat Mayor

Duta Islam #05
22 Agu 2024, 08:02 WIB Ter-Updated 2024-08-22T01:02:09Z
Download Ngaji Gus Baha

biografi kiai idris wonosobo ulama berpangkat mayor
KH. Idris Wonosobo, Jateng.

Dutaislam.or.id - KH. Idris Kauman Wonosobo, atau lebih dikenal sebagai Mbah Idris, lahir pada 30 April 1909, bertepatan dengan tanggal kelahiran Ratu Belanda, Juliana. Karena kebetulan ini, pada masa kolonial, ia sempat menerima hadiah dari pemerintah Belanda. Mbah Idris dikenal sebagai kiai yang menonjol, dengan karakter yang unik. Selain berbicara secara lugas dan berani menentang ketidakadilan, ia juga memiliki rasa tresno (cinta) yang mendalam terhadap umatnya. Dengan keteguhan jiwa dan kepribadiannya yang kokoh, Mbah Idris dihormati oleh banyak orang, dicintai oleh santri-santrinya, dan disegani oleh kawan-kawannya.


Meskipun begitu, kehidupan Mbah Idris sangat sederhana. Kesederhanaan hidupnya menjadi teladan bagi mereka yang hidup dalam kekurangan dan sekaligus menjadi contoh kezuhudan bagi yang berkecukupan. Ia menempati ruangan kecil untuk beristirahat dan menerima tamu, meskipun secara ekonomi ia tergolong mampu, bahkan kaya. Dalam kesehariannya, Mbah Idris lebih suka mengenakan pakaian serba putih, mulai dari sarung, peci, hingga serban, yang menggambarkan kebersahajaan hidupnya.


Kesederhanaan ini mencerminkan proses spiritual yang panjang, hasil dari pendidikan di Pesantren Tremas Pacitan, di mana ia menimba ilmu bertahun-tahun. Beberapa orang bahkan menobatkannya sebagai seseorang yang telah mencapai maqom tertentu dalam kehidupan tasawuf. Bagi masyarakat, Mbah Idris adalah sosok magnet sekaligus perekat yang menciptakan kohesi sosial, membangun kehidupan religius dengan Al-Qur'an, Hadits, dan ijtihad ulama sebagai motornya. Dalam pengabdiannya, ia terlihat tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih.


Keharuman namanya membuat banyak kalangan, mulai dari rakyat biasa hingga pejabat, berebut untuk mendatanginya. Pada tahun 1970-an, beberapa menteri bahkan sowan kepadanya, meminta nasihat dan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi. Tatapan matanya yang teduh, raut muka yang menenangkan, dan tutur katanya yang menyejukkan, seakan menjadi oase bagi mereka yang tengah dilanda kekeringan batin. Akhlaknya yang mulia membuatnya tak pernah lelah menyantuni semua lapisan masyarakat, terutama yang kurang mampu.


Mbah Idris dikenal sebagai seorang kiai dengan pemikiran yang radikal, sering kali menggugat tatanan yang ada dan menawarkan perubahan total. Ia adalah tipe kiai yang tidak mengejar popularitas dan enggan memamerkan pengetahuannya dengan mengutip dalil-dalil agama secara berlebihan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, ia lebih memilih untuk bertanya kepada kiai yang lebih muda darinya atau menyuruh kiai lain untuk memimpin doa dalam sebuah acara. Meskipun jarang merujuk pada dalil agama secara verbal, pemikiran-pemikirannya selalu lahir dari perjumpaannya dengan realitas sosial yang konkret.


Pada September 1945, Mbah Idris menghadiri pertemuan para ulama yang diprakarsai oleh Hadratussy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari di Surabaya, di mana mereka merumuskan “Resolusi Jihad”. Ia kemudian bergabung dengan barisan Hizbullah dan Laskar Ketentaraan, bahkan mencapai pangkat Mayor. Namun, setelah situasi mulai aman, ia memilih untuk meletakkan jabatan tersebut dan kembali fokus pada pemberdayaan masyarakat.


Mbah Idris terlibat dalam berbagai pertempuran, termasuk pertempuran Ambarawa dan perebutan Yogyakarta dari tangan Belanda. Pada tahun 1948, ia menunjukkan keberaniannya dengan menggalang solidaritas untuk Muslim Palestina di kalangan Nahdliyin, baik dalam bentuk dukungan moril maupun dana.


Pada awal 1960-an, Mbah Idris mulai membuka madrasah-madrasah di lingkungan warga Nahdliyyin, meskipun saat itu pendidikan formal belum lazim dan kondisi ekonomi sangat tidak memungkinkan. Tindakan ini awalnya menimbulkan kontroversi dan bahkan hampir membawa penyudutan terhadap dirinya. Namun, dengan kebijaksanaannya, Mbah Idris berhasil melalui semua itu, dan pada akhirnya, masyarakat mulai memahami pentingnya pendidikan.


Dalam hal politik, Mbah Idris awalnya berafiliasi dengan partai Islam, namun kemudian berbalik mendukung partai yang dipimpin oleh negara. Keputusan ini awalnya mendapat kritik tajam, terutama dari para kiai yang berbeda pandangan politik. Namun, dalam jangka panjang, sikap politik Mbah Idris terbukti sebagai strategi yang ampuh untuk membangun umat Islam dengan tujuan mencapai kesejahteraan umat manusia.


Mbah Idris juga merintis Pengajian Seton, sebuah pengajian yang menjadi syiar Islam di Wonosobo. Pengajian ini dimulai pada tahun 1961 bersama KH. Masykur dan KH. Muntaha, awalnya sebagai respon terhadap gerakan komunis yang memprovokasi masyarakat. Pengajian ini terbukti efektif dan hingga kini masih dihadiri ribuan masyarakat setiap hari Sabtu.


Selain sebagai sarana komunikasi, Pengajian Seton juga berfungsi sebagai penguat ajaran Islam ‘ala ahlussunah wal jama’ah. Dengan menggabungkan sistem pesantren dan pengajian umum, pengajian ini semakin diminati oleh masyarakat.


Mbah Idris tidak hanya menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun pendekatannya mungkin terlihat tidak konvensional, ia telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam membangun umat Islam dan masyarakat Wonosobo. Sebagai seorang kiai yang bijaksana dan rendah hati, Mbah Idris telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam kehidupan masyarakat, dan warisannya terus hidup hingga kini. [dutaislam.or.id/ab]


Keterangan:

Artikel biografi ini disusun ulang oleh redaksi Dutaislam.or.id dari tulisan Ahmad Muzan, Direktur AP Fatanugraha dan Islamic Homeshooling Fatanugraha, Wonosobo, yang pernah dimuat NU Online.

Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha