Iklan

Iklan

,

Iklan

Kapasitas Rasulullah Saw dalam Hadits Tanah Tak Bertuan dan Lainnya

Duta Islam #05
26 Agu 2024, 00:35 WIB Ter-Updated 2024-08-25T17:45:33Z
Download Ngaji Gus Baha
memahami posisi rasulullah dalam sebuah hadits
Ilustrasi memahami kapasitas Rasulullah dalam sebuah hadits. Foto: dutaislam.or.id.


Dutaislam.or.id - Memahami makna hadits ialah memahami kapasitas Nabi Muhammad Saw ketika bersabda, yang terkadang sebagai Rasul dan terkadang sebagai manusia biasa.


Dalam hadits, terkadang kapasitas Beliau Saw sebagai Rasul yang bertugas tabligh menyampaikan risalah menjelaskan wahyu dalam Al-Qur'an kepada umat, menjelaskan akidah, ibadah, akhlak, halal dan haram. Dalam konteks ini semua umat Islam wajib mengikutinya.


Allah menegaskan dalam Al-Qur'an: 


وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ


Terjemah:

Apa saja yang disampaikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang kepadamu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7).


Dalam ayat lain, 


وَمَا يَنۡطِقُ عَنِ الۡهَوٰىؕ اِنۡ هُوَ اِلَّا وَحۡىٌ يُّوۡحٰىۙ‏


Terjemah:

Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS. An-Najm: 3-4).


Berbeda halnya ketika kapasitas Beliau dalam sebuah hadits hanya sebagai manusia biasa. Dalam hadis Sahih Bukhari misalnya, Jabir bin Abdullah meriwayatkan begini: 


Ketika ayahnya meninggal dunia dan banyak hutangnya. Jabir mengusulkan kepada Nabi Saw agar meminta kepada para sahabatnya yang pernah memberi hutang kepada ayahnya untuk "diputihkan" atau dianggap lunas hutangnya dengan ikhlas saja. 


Nabi Muhammad Saw meminta kepada para sahabatnya agar mengikhlaskan hutang ayah Jabir. Ternyata para sahabat tidak ada yang mau mengikuti permintaan Nabi Saw. Apakah mereka berdosa karena tidak taat? 


Tidak. Sebab, kapasitas Beliau bukan sebagai Rasulullah Saw, sebagaimana yang dikemukakan di atas, melainkan sebagai manusia biasa, sebagai sahabat atau rekan, bisa diikuti atau bisa juga tidak. Tergantung konteks, kelayakan dan keperluannya. Perbedaan kapasitas seperti ini akan berimpliksi terhadap pengamalan sebuah hadist. 


Selain itu sebagai Rasul dan manusia biasa, sabda beliau kadang keluar sebagai imam atau pemerintah. Misalnya keputusan untuk berperang dan mengirim pasukan tentara, ber-strategi politik, membelanjakan harta dan ekonomi Baitul Mal, membagi harta rampasan perang, mengikat perjanjian, dan lain-lain, yang menjadi urusan pemimpin.


Nabi Muhammad Saw bersabda:


من أحيا أرضا ميتة فهي له


Terjemah:

Barangsiapa menggarap tanah mati (tak bertuan), maka tanah itu menjadi miliknya. (HR. Abu Daud dari Urwah bin Zubair).


Hadits tersebut diucapkan Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai pemerintah. Sehingga siapa saja yang menggarap lahan kosong tak bertuan, dapat menjadi pemilik sah setelah ada izin dari pemerintah.


Dengan pemahaman seperti ini, maka yang boleh mengakui status tanah adalah pemerintah. Dan tidak boleh dilakukan oleh semua umat Islam karena tidak berlaku umum.


Perbuatan Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai hakim juga tidak boleh dicontoh semua orang. Yang boleh melakukannya hanya hakim. Misalnya ada pencuri, perampok, pemerkosa, pembunuh, atau tindakan kriminal lainnya tidak boleh setiap orang menghakimi atau mengeksekusinya kecuali ada keputusan hakim. 


Hakimlah yang punya ototitas dalam hal-hal di atas, dan tidak berlaku umum. Hadits Nabi SAW dalam kapasitas tersebut adalah sebagai tafsir atau penjelasan terhadap ayat Al-Qur'an di bawah ini:


وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا


Terjemah:

Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah, 5: 38).


Demikian juga penetapan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah, juga otoritas pemerintah. Tidak berlaku umum siapa saja bisa menetapkannya.


Pada tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa pihak yang berhak menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah untuk wilayah Indonesia adalah Menteri Agama atas nama Pemerintah RI. Bukan yang lain. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha