KH. Abdul Wahid Hasyim. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Abdul Wahid Hasyim lahir pada Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H atau 1 Juni 1914 M di lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai agama. Putra dari pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah binti Ilyas ini awalnya diberi nama Muhammad Asy’ari oleh sang ayah, terinspirasi dari nama kakeknya.
Namun, karena sering sakit, namanya diubah menjadi Abdul Wahid, mengikuti nama leluhur keluarga. Abdul Wahid merupakan anak kelima dan putra pertama dari sepuluh bersaudara dalam keluarga yang sangat berpengaruh di dunia pesantren dan Islam Indonesia.
Baca: Biografi KH Hasan Gipo, Ketua Umum PBNU Perdana
Ayahnya, K.H. Hasyim Asy'ari, adalah pendiri Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, yang kemudian menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Indonesia. Sejak kecil, Abdul Wahid sudah menerima pendidikan agama langsung dari sang ayah dan para guru di pesantren tersebut.
Kecerdasannya yang menonjol memungkinkan ia dengan cepat memahami pelajaran agama, termasuk bahasa Arab dan kesusastraannya. Bahkan, ia gemar mempelajari syair-syair Arab secara autodidak, dan menyusunnya dalam bentuk buku.
Pengembaraan Ilmu di Jawa Timur dan Makkah
Pada usia 13 tahun, Abdul Wahid Hasyim meminta izin kepada orang tuanya untuk belajar di pesantren lain di Jawa Timur. Ia memulai perjalanan spiritualnya di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, dan kemudian ke Pesantren Lirboyo, Kediri, yang didirikan oleh K.H. Abdul Karim, sahabat dekat ayahnya. Selama dua tahun, ia berguru di beberapa pesantren, menimba ilmu agama yang lebih dalam.
Pada 1929, Abdul Wahid kembali ke Tebuireng. Saat itu, ia sudah berusia 15 tahun dan memiliki pengetahuan dasar tentang huruf Latin, yang memperluas cakrawala belajarnya. Ia tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga mempelajari ilmu umum seperti geografi, matematika, bahasa asing, dan ilmu sosial. Ia sangat gemar membaca koran dan majalah, baik berbahasa Melayu maupun Arab, dan bahkan berlangganan majalah Sumber Pengetahuan dalam bahasa Arab dan Belanda.
Pada 1932, di usia 18 tahun, Abdul Wahid menunaikan ibadah haji bersama sepupunya, Muhammad Ilyas, sekaligus belajar di Makkah selama dua tahun. Di sana, ia memperdalam ilmu nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadist.
Sekembalinya dari Makkah, ia membantu mengajar di Pesantren Tebuireng, menggantikan ayahnya dalam mengisi kajian tahunan Shahih Bukhari serta berbagai tugas penting lainnya. Baca: Biografi KH. Zubair Dahlan: Ayah KH. Maimoen Sarang.
Inovasi di Dunia Pendidikan Pesantren
Pada 1935, Abdul Wahid Hasyim mengusulkan perubahan signifikan dalam sistem pendidikan pesantren. Ia ingin memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren yang sebelumnya hanya berfokus pada ilmu agama.
Awalnya, usul tersebut ditolak oleh sang ayah, tetapi kemudian diterima dan diwujudkan dengan didirikannya Madrasah Nidzamiyah. Madrasah ini mengajarkan materi umum, seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Arab, dengan sistem pengajaran yang lebih modern.
Langkah inovatif lainnya adalah mendirikan perpustakaan di Tebuireng untuk memperluas wawasan para santri. Ia juga berlangganan berbagai majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, dan Berita Nahdlatul Ulama, guna menumbuhkan minat baca di kalangan santri.
Selain itu, pada 1936, ia mendirikan Ikatan Pelajar Islam, yang kemudian menjadi wadah penting dalam pengembangan intelektual para pelajar pesantren.
Karir Politik dan Peran di Masyumi
Selain aktif di bidang pendidikan, Abdul Wahid juga terjun ke organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh ayahnya pada 1926. Karirnya dimulai dari posisi sekretaris NU ranting Cukir, hingga kemudian ia terpilih sebagai Ketua Cabang NU Jombang pada 1938. Pada 1940, ia juga terpilih sebagai Ketua Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang menjadi wadah perjuangan umat Islam pada masa itu.
Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Wahid aktif bernegosiasi dengan pemerintah Jepang untuk membebaskan ayahnya yang ditangkap karena menentang kebijakan Jepang. Berkat diplomasi yang efektif, ayahnya akhirnya dibebaskan pada 1944. Saat pembentukan BPUPKI pada 1945, Abdul Wahid turut menjadi anggota, bahkan menjadi penengah dalam perdebatan antara kelompok nasionalis dan Islamis mengenai dasar negara Indonesia.
Peran dalam Masyumi dan Keluarnya NU
Setelah Indonesia merdeka, Abdul Wahid Hasyim semakin berperan dalam dunia politik. Ia bersama Mohammad Natsir menggagas Kongres Umat Islam Indonesia pada 1947 yang melahirkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Meskipun ayahnya ditunjuk sebagai ketua, Abdul Wahid menjalankan sebagian besar tugas-tugas tersebut. Selama masa kiprahnya di Masyumi, ia bekerja sama dengan berbagai tokoh Islam seperti K.H. Wahab Hasbullah dan Mohammad Natsir.
Baca: Biografi Mohammad Natsir: Perdana Menteri RI dan Pemimpin Masyumi
Namun, pada 1952, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk keluar dari Masyumi. Abdul Wahid pribadi tidak setuju dengan keputusan ini, namun tetap menghormati kesepakatan yang diambil oleh para pemimpin NU.
Tragedi Kecelakaan
Pada 18 April 1953, Abdul Wahid mengalami kecelakaan tragis saat melakukan perjalanan ke Sumedang, Jawa Barat. Mobil yang ditumpanginya selip di jalan licin dan bertabrakan dengan truk. Akibat luka parah yang dialami, ia meninggal dunia pada 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Jenazahnya kemudian dibawa ke Tebuireng, Jombang, dan disambut dengan duka mendalam oleh masyarakat.
Abdul Wahid Hasyim dikenang sebagai seorang ulama muda yang visioner, cerdas, dan memiliki komitmen kuat terhadap pendidikan serta perjuangan umat Islam. Visi dan inovasinya di bidang pendidikan dan kontribusinya dalam politik Islam Indonesia telah meninggalkan jejak mendalam bagi generasi berikutnya. [dutaislam.or.id/ab]