Surat pembatalan diskusi ilmiah Ba'alwi dari UIN Walisongo Semarang. Foto: dok.penulis. |
Oleh M. Abdullah Badri
Dutaislam.or.id - Dua hari lagi, 10 September 2024, harusnya di UIN Walisongo akan ada gembyar diskusi sejarah Migrasi Ba'alawi di Indonesia yang menghadirkan Imaduddin Ustman. Diskusi akhirnya batal (bukan ditunda) sejak ada tekanan pihak Polri.
Baru kali ini saya mendengar kampus UIN Semarang itu ndredek membacakan pembatalan, seolah dipaksa. Baru kali ini pula ada wakil rektor kedodoran membuat surat rilis penundaan diskusi. Baca: KH. Imaduddin Ustman Akan Hadir di UIN Walisongo Semarang.
Kampus yang dulu pernah saya gunakan diskusi bertahun-tahun di bawah pohon bertema apapun, kini tampaknya sedang kedodoran. Bukan hanya tunduk dengan tekanan. Kampus UIN Walisongo Semarang kini juga terkesan belepotan mengikuti penyesuaian akreditasinya.
Ijazah sarjana lulusan UIN Walisongo Semarang pun dinilai ora patek payu dan berdaya saing rendah. Setidaknya hingga lima tahun ke depan. Pasalnya, per 3 September 2024, akreditasi almamater mereka ditolak oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi (BAN-PT) akibat skornya tak bernilai, alias nol (0), endog bunder. Dulu akreditasinya A, kini, untuk mencapai nilai Unggul BAN-PT pun, tak mampu.
Aneh. Kampus UIN Walisongo yang sudah berdiri 50 tahun itu kok bisa kalah akreditasi dengan UIN Raden Mas Said (Surakarta) dan UIN Gus Dur (Pekalongan). Keduanya berhasil mencapai akreditasi perguruan tinggi dengan predikat Unggul, tapi UIN Walisongo tidak. Malah nol prutul. Kok ora isin yah?
Ya ora isin pancen. Sebab, ditekan untuk cancel diskusi ilmiah saja ora isin, apalagi cuma akreditasi. Rai gedhek. Ini membuktikan bahwa kampus UIN Walisongo sepertinya sedang rungkad tata kelola manajemennya, serungkad tata tulis pembatalan diskusi ilmiah yang diganti penundaan dan tergesa-gesa.
Baca: Ditekan Polri, Diskusi Sejarah Ba'alwi dengan Kiai Imaduddin di UIN Walisongo Batal
Nilai nol prutul akreditasi juga penanda bahwa SDM dan publikasi ilmiah yang dimiliki kampus UIN Walisongo tidak berstandar mutu unggul ala BAN-PT. Atas alasan ini, saya kemudian bersyukur bila diskusi ilmiah sejarah migrasi Ba'alwi di UIN Walisongo tidak jadi digelar. Belum mampu. Tekanan saja tidak mampu diatasi, apalagi standar ilmiah diskusi sejarah.
Civitas akademik kampus sebetulnya mengetahui situasi oleng kampusnya itu, tapi mereka memilih diam. Sukut, salamah. Meneng cep, selamet! Saya emoh. Saya menyejarah di sana. Kritik harus saya lempar biar tradisi kritik dan tata kelolanya tidak memfosil. Mosok kampus wali se Jawa (Walisongo) kalah dengan kampus wali siji. [dutaislam.or.id/ab]