![]() |
Ilustrasi gembok terkunci. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Syaikh Al-Qaffal adalah salah satu ulama besar dalam madzhab Syafi'i yang dikenal sebagai salah satu rukun penting dalam penyebaran madzhab ini. Namun, yang membuat kisah hidupnya begitu inspiratif adalah bagaimana ia memulai perjalanan keilmuannya pada usia yang terbilang tidak muda, yaitu 40 tahun.
Sebelum menjadi ulama besar, Al-Qaffal bukanlah orang yang dikenal dalam bidang agama. Ia hanyalah seorang tukang kunci (pembuat gembok) yang sangat terampil, bahkan terbaik di masanya dalam profesi tersebut. Namun, keahlian itu tidak membawa ketenaran ataupun keberkahan dalam hidupnya.
Kisah perubahan hidup Syaikh Al-Qaffal dimulai ketika ia berbincang dengan beberapa teman dekatnya tentang kehidupan dan keinginannya untuk berkembang. Salah satu temannya mengatakan sebuah kalimat yang menggugah hatinya: “Orang itu dikenal karena ilmunya, bukan karena gembok.” Perkataan ini membakar semangat Al-Qaffal untuk memulai perjalanan baru sebagai seorang penuntut ilmu.
Dengan tekad yang kuat, Al-Qaffal mendatangi seorang syaikh untuk meminta bimbingan dalam belajar. Sang guru, melihat semangatnya, memberinya tugas untuk menghafal beberapa baris dari kitab al-Muzani. Dalam semangat yang membara, Al-Qaffal mengulang-ulang hafalannya hingga larut malam. Ia bahkan naik ke atap rumahnya setelah Isya untuk fokus belajar hingga terlelap menjelang Subuh.
Ketika ia bangun, ia menyadari bahwa hafalan yang diulang sepanjang malam itu hilang dari ingatannya. Diliputi kecemasan, ia keluar rumah dan bertemu seorang tetangga perempuan yang berkata, “Wahai Abu Bakr, semalaman kamu membuat kami tidak bisa tidur karena mengulang-ulang kalimat yang sama”. Ajaibnya, ucapan tetangganya itu membangkitkan ingatannya, dan Al-Qaffal kembali mengingat apa yang telah dihafalnya.
Ia kemudian mendatangi gurunya dan menceritakan kejadian tersebut. Sang guru menasehati, “Jangan terpengaruh oleh hal itu. Jika kamu tekun menghafal dan terus belajar, itu akan menjadi kebiasaan.” Nasehat ini menjadi dorongan besar bagi Al-Qaffal untuk tidak menyerah.
Ia pun terus berusaha keras dalam menuntut ilmu, meski di awal perjalanannya ia menghadapi banyak kesulitan, seperti ketidakmampuannya membedakan antara fathah dan dhammah dalam kata-kata Arab yang ia pelajari. Saking bingungnya, ia sempat membaca kalimat "هذا كتاب اختصرته" dengan salah—"ikhtashartuhu" atau "ikhtashartahu"—yang menunjukkan betapa minimnya pemahaman dasarnya pada saat itu.
Namun, ketekunan dan kesabarannya dalam belajar membuahkan hasil luar biasa. Al-Qaffal, yang memulai perjalanan keilmuannya di usia 40 tahun, berhasil menjadi salah satu ulama terbesar di masanya. Imam Yaqut Al-Hamawy menyebutkan bahwa Syaikh Al-Qaffal menjadi figur yang paling dihormati dalam bidang fiqh dan keilmuan, banyak orang datang untuk belajar kepadanya, dan dari keberkahannya lahir banyak ulama besar.
Dia kemudian dikenal sebagai salah satu pilar utama madzhab Syafi'i, seorang guru yang memberi kontribusi besar dalam penyebaran ilmu dan melahirkan generasi ulama setelahnya.
Syaikh Al-Qaffal hidup selama 80 tahun, yang mana separuh hidupnya dihabiskan dalam kebodohan, dan separuh lainnya diisi dengan keilmuan yang mendalam. Perjalanan hidupnya menjadi contoh nyata bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, dan bahwa dengan tekad dan usaha yang kuat, seseorang bisa meraih puncak keilmuan meskipun memulainya dari titik nol.
Syaikh Al-Qaffal wafat pada tahun 417 H, dan ia dikenang dengan gelar Syaikh Al-Khurasaniyyin, atau guru besar ahli Khurasan. Warisan ilmunya terus hidup, memberikan inspirasi bagi setiap orang yang ingin memperbaiki diri dan menuntut ilmu, tidak peduli berapa pun usia atau latar belakang mereka. [dutaislam.or.id/ab]