Iklan

Iklan

,

Iklan

Konsep Kesatria Pagar Nusa (Ngalah, Ngalih, Ngamuk)

Duta Islam #05
7 Okt 2024, 05:59 WIB Ter-Updated 2024-10-06T22:59:00Z
Download Ngaji Gus Baha
konsep hidup sebagai kesatria dalam pagar nusa nu
Ilustrasi pendekar Pagar Nusa. Foto: istimewa.


Dutaislam.or.id - Ilmu silat yang diwariskan oleh para kiai memiliki sejarah panjang yang berakar dari zaman Walisongo hingga era Mataram. Pada masa itu, ilmu silat tidak hanya dipelajari untuk tujuan pertahanan diri, tetapi juga sebagai sarana perjuangan melawan penjajah. 


Salah satu bentuk ilmu silat yang terkenal adalah Asma Songo, sebuah amalan atau aurod yang diberikan oleh para wali kepada santri dan prajurit Demak sebagai bekal spiritual dan fisik dalam menghadapi penjajah. Tradisi ini terus berlangsung hingga masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Setelah Indonesia merdeka, ilmu silat yang selama ini menjadi bagian dari perjuangan fisik para kiai kemudian disatukan dalam lembaga organisasi yang bertujuan untuk melestarikan seni bela diri, sambil tetap menjaga nilai-nilai spiritual dan budaya yang melekat padanya. 


Para kiai menunjukkan bahwa silat bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga merupakan sarana untuk menjaga kesatuan bangsa dan negara. Pada masa penjajahan, ilmu silat digunakan sebagai alat perlawanan, tetapi di era kemerdekaan, ilmu ini diorientasikan pada pengembangan seni olahraga dan pertahanan diri.


Salah satu tokoh yang memiliki andil besar dalam mengajarkan dan menjaga ilmu silat ini adalah (alm) KH. Ma'shum Jauhari. Beliau tidak sembarangan mengajarkan ilmu silat tingkat tinggi atau ilmu tenaga dalam kepada sembarang orang. 


Hal ini karena dikhawatirkan ilmu tersebut akan disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut KH Ma'shum, ilmu silat yang sebenarnya adalah ilmu hikmah, yang didasari oleh tenaga dalam yang bersumber dari Allah melalui wirid dan pelatihan pernapasan yang sempurna.


Pada masa lalu, ilmu silat tingkat tinggi sering menjadi rebutan dan ajang tanding di dunia persilatan. Para pendekar berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas ilmu dan kekuatan tenaga dalam mereka, yang sering kali diiringi dengan ajian-ajian yang luar biasa dahsyat. 


Di antara ilmu-ilmu yang muncul dari zaman Walisongo, dikenal beberapa jurus seperti Jurus Taqwa, Sangkal Putung, Kalajenget, Condrobirowo, Singoludoyo, Sosrobirowo, Tapak Jati, Tapak Geni, Lebur Saketi, Guntur Geni, Brojomusti, dan masih banyak lagi. Hingga kini, ilmu-ilmu tersebut masih ada, tetapi hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu yang terpilih.


Pada masa sekarang, ilmu silat yang dahsyat ini tidak mungkin diajarkan secara umum karena kekuatannya yang sangat besar dan berpotensi destruktif. Para kiai, termasuk Gus Ma'shum, selalu mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari pengajaran ilmu-ilmu tersebut. Mereka sangat berhati-hati dalam memberikan ilmu ini, hanya kepada orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya dan bertanggung jawab.


Organisasi Pagar Nusa, yang merupakan bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), memiliki slogan "Ngalah, Ngalih, Ngamuk," yang mengandung makna mendalam bagi para ksatria. 


  1. "Ngalah" berarti bersikap tawadlu', tunduk kepada kehendak Allah, dan setia terhadap aturan-aturan persilatan serta menjaga kesatuan bangsa. 
  2. "Ngalih" berarti berusaha memperbaiki diri dan berpindah dari kemadharatan menuju kebaikan yang bermanfaat bagi sesama. 
  3. "Ngamuk" berarti siap bertarung apabila ada yang berani merusak kesatuan NKRI atau martabat bangsa dan negara.


Para kiai sepuh selalu mengajarkan kepada warga Nahdliyyin untuk memiliki jiwa ksatria yang pemberani, selalu patuh kepada pemimpin dan guru, serta turut menjaga keutuhan bangsa dan negara. 


Mereka menekankan pentingnya memegang teguh prinsip dan menolak segala hal yang dapat merusak persatuan dan kesatuan NKRI. Salah satu ajaran penting yang disampaikan adalah prinsip "Urip kudu duwe roso lan rumongso," yang berarti dalam menjalani kehidupan, seseorang harus memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap perjuangan masa lalu serta menjaga amanah bangsa dan negara.


Para kiai mengajarkan berbagai prinsip kehidupan yang harus dipegang oleh setiap individu. Jika merasa bodoh, hendaknya belajar; jika merasa pintar, hendaknya berbagi pengetahuan dengan orang lain; jika merasa kaya, hendaknya membantu yang lemah dan miskin. 


Selain itu, jika seseorang merasa memiliki sesepuh, maka harus selalu mendoakan dan meneladani perjuangan mereka. Begitu pula jika merasa memiliki bangsa dan negara, agama, iman, orang tua, guru, saudara, sahabat, keluarga, dan teman, semuanya harus dihormati dan dijaga dengan baik. Prinsip-prinsip ini mengajarkan tanggung jawab yang mendalam dalam menjaga martabat dan keutuhan bangsa serta hubungan antar sesama manusia.


Dengan prinsip-prinsip tersebut, Pagar Nusa dan ajarannya menjadi sebuah manifestasi dari warisan para kiai sepuh yang sangat kuat dalam menjaga nilai-nilai persatuan dan kehormatan. Slogan "Ngalah, Ngalih, Ngamuk" menjadi simbol keteguhan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan, baik di dunia maupun akhirat, dengan penuh keberanian dan kesabaran.


Ungkapan "Surodiro Dayaningrat Lebur Dining Pangastuti" yang berarti kekuatan dan keberanian akan hancur di hadapan sikap kasih sayang, menjadi penegasan bahwa meskipun harus bertarung, nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang tetap menjadi yang utama. 


Dan seperti nasihat terakhir yang selalu diajarkan, "Yen wedi ojo wani-wani, yen wani ojo wedi-wedi" — jika takut, jangan mencoba-coba; jika berani, jangan takut-takut. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha