![]() |
Cungkup makam KRT Sumodiningrat di Yogyakarta. Foto: mojok.co. |
Oleh Imaduddin Utsman Al-Bantani
Dutaislam.or.id - Salah satu metode Ba’alwi dalam membangun otoritas dan hegemoni keagamaan di Indonesia adalah dengan mengklaim makam-makam tua dari tokoh-tokoh Nusantara sebagai bagian dari keluarga mereka. Contoh kasus ini adalah tokoh KRT.Sumodiningrat yang diklaim oleh Lutfi bin Yahya sebagai Hasan bin Toha bin Yahya, kakek buyutnya.
Seorang wartawan yang bernama Agung Purwandomo telah menelusuri kasus ini. Dalam laporannya ia menyatakan KRT. Sumodiningrat wafat dalam perang Sapehi tahun 1812; ia buka habib (tapi orang Jawa asli) dan makamnya ada di Jogjakarta (Mojok.co). Menurut Lutfi, KRT. Sumodiningrat adalah Ba’alwi dan makamnya berada di Semarang.
Di Semarang, Lutfi kini membangun makam KRT. Sumodiningrat dengan megah dilengkapi fasilitas parkir yang luas. Walau keluarga besar Kraton Jogja telah memprotes dengan data kraton dan kesaksian berita Koran dari Inggris, namun nampaknya Lutfi tidak merespon.
Anehnya, Lutfi bin yahya, selain mengklaim makam di Semarang sebagai makam kakek buyutnya yang bernama Hasan bin Toha, ia pula ternyata mengklaim makam Mbah Keramat di Comal Pemalang sebagai makam Hasan bin Toha pula. Bahkan menurut masyarakat setempat, Lutfi telah mengambil batu nisan yang sebelumnya terdapat di atas makam itu dengan alasan untuk diteliti. (Kompasiana).
Contoh kasus lainnya adalah makam Gajah Barong di Tigaraksa Tangerang. Makam ini dikenal masyarakat setempat sebagai pengawal Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Tetapi menurut Lutfi bin Yahya makam itu adalah makan Husen bin Toha bin Yahya, adik dari Hasan bin Toha bin Yahya.
Jika Hasan bin Toha yang makamnya di Semarang bergelar “Singa Barong”, maka Husen bin Toha bin Yahya bergelar “Gajah Barong”. Ketua Balai adat Tangerang, Raden Ali Taba Raksanagara, mengungkapkan bahwa nama Habib Husen bin Yahya mulai disematkan kepada Syekh Gajah Barong bermula pada tahun 2018 ketika Lutfi bin Yahya mengunjungi Tigaraksa.
Mulai saat itu, nama Syeh Gajah Barong mulai dicatat dalam beberapa situs media online sebagai Husain bin Yahya Ba Alawi. Setelah terjun ke lapangan bertemu dengan Mbah Sango, juru kunci makam Syekh Gajah Barong, Ali Taba mengungkapkan, para penduduk tetap tidak mau menyebutnya Husain bin Yahya Ba Alawi.
Pengurus makam pun tidak mau mencantumkan nama Husain sebagai alias dari Syekh Gajah Barong, baik di batu nisan, prasasti, atau di pintu gerbang, semuanya ditulis sesuai tradisi kesejarahan masyarakat Tigaraksa yaitu Syekh Gajah Barong. (RMI NU)
Menurut pengurus LTN NU Jepara, Murtadlo bin Hadi, sebagaimana dirilis oleh media online Suara NU Jepara, makam-makam lainnya yang di Ba’alwikan oleh Lutfi bin Yahya adalah makam Mbah Daeng di Krapyak Jepara. (NUJepara.or.id)
Membangun makam yang disebut sebagai ulama masa lalu bisa dipetakan menjadi dua kategori: kategori pertama untuk membangun citra pribadi pembuat; yang kedua untuk membangun citra klan Ba’alwi. untuk kategori pertama seperti laporan wartawan Imam Yuda Saputra dari Solopos. Dalam laporan itu ia mengunjungi sebuah makam di Mateseh Kota Semarang. Menurut juru kunci, Ahmad Susanto, makam itu makam Alwi bin Hasan bin Toha yang ditemukan tahun 2017 oleh cucunya yaitu Lutfi bin Yahya. (Solopos.com)
Selain membuat makam Alwi bin Hasan, Lutfi juga menemukan dan membangun makam leluhurnya yang lain, Toha bin Yahya, di Semarang. Tidak tanggung-tanggung yang membiayainya adalah pemerintah Kota Semarang. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengaku, sebelumnya makam ini tidak dikenal. (semarangkota.go.id).
Tanggal 15 Maret 2017 diresmikan makam seorang Ba’alwi bernama Ahmad bin Aqil Al-Munawwar . makam itu ditemuka oleh Lutfi bin Yahya tahun 2016. Disebutkan oleh Lutfi bahwa Ahmad bin Aqil Al Munawwar itu adalah guru dari Kiai Soleh Darat. Makam itu terletak di Desa Jagalan, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Makam itu sebelumnya tidak dikenal bahkan oleh masyarakat Jagalan sendiri (uin-suka.ac.id)
Menurut Ismail Fajri, Lutfi bin Yahya mengidentifikasi makam-makam kuno sebagai makam wali melalui mimpi dan visi spiritualnya telah berjalan lama. “Beliau sudah banyak membangun kuburan kuno yang sebelumnya tidak dikenali dan mengidentifikasinya dengan identitas baru di berbagai tempat di Jawa, Kalimantan, Batam, dan daerah lainnya”.
Karena itu, dalam pandangan Ismail, Lutfi telah melakukan proyek history making atau produksi sejarah. Sejarah dalam konteks ini bukan sebagai peristiwa yang terjadi di masa lalu. Tapi sejarah yang dibuat, dipikirkan, dan dimaterialiasasi (uin-suka.ac.id). [dutaislam.or.id/uf]