![]() |
Ilustrasi. Foto: dok. dutaislam.or.id |
Oleh Salman Akif Faylasuf
Dutaislam.or.id - Sudah mafhum bahwa kita diwajibkan untuk mempercayai sesuatu atau informasi lewat agama. Salah satunya adalah informasi mengenai hari kebangkitan setelah mati, adanya siksaan kubur, sirath al-mustaqim (jembatan pada hari kiamat), mizan (timbangan untuk menimbang amal). Ia ini adalah khabar (informasi) dan ajaran yang diajarkan oleh agama yang secara akal tidak mustahil keberadaannya.
Pada ngaji sebelumnya sudah dibahas mengenai yang bersifat akal (penalaran) dan masail al-lafdhiyyah (masalah yang diperselisihkan dari segi definisi). Kali ini akan membahas masalah-masalah fiqhiyyah.
Salah satu masalah fiqh adalah apakah orang berzina (melakukan dosa besar) masih mukmin atau sudah keluar dari agama Islam (bukan mukmin)? Masalah seperti ini kata Gus Ulil adalah masalah abu-abu; masuk ke wilayah fiqh dan akidah.
Misalnya, apakah bagi orang fasik boleh melakukan tindakan hisbah (memerintahkan amar makruf nahi munkar), padahal dia sendiri adalah orang yang ahli maksiat. Tentu saja para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
Ulama yang tidak sepakat menganalogikan dengan sapu lidi, katanya, “Sapu lidi itu tidak bisa digunakan untuk menyapu dan membersihkan kalau masih kotor.” Sementara ulama yang sepakat mengatakan bahwa tugas amar makruf nahi munkar berlaku bagi siapa saja, tak terkecuali mereka yang bergelimang dengan dosa. Tidak hanya berlaku bagi orang mukmin yang taat, melainkan orang yang tidak taat pun juga bisa. Sebab ia adalah kewajiban agama.
Al-Ghazali mengatakan bahwa orang fasik boleh melakukan hisbah, yaitu memerintahkan amar makruf nahi munkar. Pertanyaannya adalah kenapa Al-Ghazali mengikuti pendapat bahwa orang fasik boleh hisbah?
Pertama, apakah syaratnya orang yang amar makruf nahi munkar itu harus suci dari segala dosa? Jika disyaratkan harus suci dari segala dosa, maka secara tidak langsung sudah melanggar ijma’ (kesepakatan) ulama.
Artinya, kata Gus Ulil, tidak ada ulama yang mengatakan bahwa orang itu boleh amar makruf nahi munkar kalau dia sendiri sudah suci dari segala dosa. Tak hanya itu, kata Gus Ulil, bukankah maksumnya nabi hanya dari dosa-dosa besar, sementara mengenai dosa-dosa kecil (menurut sebagian ulama) tidak maksum.
Nah, jika nabi saja tidak maksum secara keseluruhan, apalagi orang biasa seperti kita. Lalu mana mungkin ada orang di dunia ini maksum? Dengan kata lain, jika Anda menunggu semua orang harus maksum sebelum amar makruf nahi munkar, maka bisa dipastikan hampir tidak ada orang yang menjalankan amar makruf nahi munkar.
Demikian juga kata Gus Ulil, kalau syarat untuk amar makruf nahi munkar, dalam hal ini mencegah orang kafir supaya tidak menyebarkan kekufurannya melalui perang agama (jihad), maka pasti zaman dahulu ada ulama yang berfatwa bahwa tentara yang ikut jihad harus tentara shaleh dan tidak bermaksiat.
Kedua, kalau Anda mengatakan bahwa orang yang amar makruf nahi munkar tidak disyaratkan maksum, lalu Anda menjawab iya, maka itu benar.
Ketiga, kalau seandainya ada orang yang bermaksiat seperti memakai baju berupa kain sutra (murni), bolehkah dia melarang orang lain untuk tidak melakukan maksiat seperti berzina dan minum arak? Kalau Anda menjawab tidak boleh itu salah. Sebab, tidak ada ulama yang mengatakan bahwa orang yang mau amar makruf nahi munkar harus bersih dari dosa terlebih dahulu.
Keempat, apakah orang yang suka minum arak boleh mencegah pembunuhan atau dia boleh ikut jihad untuk mencegah kekafiran sementara ia sendiri berlumuran dosa? Sama dengan jawaban sebelumnya, jika Anda mengatakan tidak boleh, berarti Anda melanggar ijma’ ulama. Namun, jika Anda menjawab boleh, berarti Anda sepakat dengan saya kata Al-Ghazali.
Tidak ada sejarahnya orang nakal di masa nabi, sahabat dan tibi’in tidak wajib berperang (berjihad membela agama). Semuanya wajib berjihad. Karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa orang fasik dan sejenisnya boleh melakukan hisbah. Sama sekali tidak ada masalah. Dan begitu seterusnya.
Kata orang yang suka bermaksiat, “Memang saya suka bermaksiat termasuk minum arak, membunuh, dan berzina, akan tetapi saya tetap melakukan amar makruf nahi munkar. Setidaknya saya bisa melakukan perintah agama walaupun satu sisi saya suka bermaksiat.”
Anda boleh saja tidak amar makruf nahi munkar kalau ada orang lain melakukan minum arak, akan tetapi Anda tidak munum arak. Berarti Anda sudah melakukan satu kebaikan, akan tetapi Anda sudah meninggalkan satu kewajiban yaitu tidak melarang orang itu minum arak.
Begitu juga sebaliknya, Anda minum arak berarti sudah berdosa, akan tetapi Anda melakukan amar makruf nahi munkar. Kata Gus Ulil, posisi dan statusnya sama. Dia sudah melakukan salah satu dari dua kewajiban. Yang satu tidak minum arak dan tidak melarang orang minum arak, dan satunya minum arak akan tetapi amar makruf nahi munkar terhadap orang yang minum arak.
Inilah dalil-dalil Al-Ghazali untuk mendukung pendapatnya bahwa orang fasik boleh melakukan hisbah atau amar makruf nahi munkar. Sederhananya, orang yang tidak melakukan amar makruf nahi munkar maka ia sudah melakukan kemaksiatan. Wallahu a’lam bisshawab. [dutaislam.or.id/ab]