Iklan

Iklan

,

Iklan

Ibnu Rusyd dan Perlawanan Terhadap Dogma: Membedah Tahāfutul Tahāfut

Duta Islam #05
5 Mei 2025, 09:01 WIB Ter-Updated 2025-05-05T02:01:52Z
Download Ngaji Gus Baha
tanggapan ibnu rusyid terhadap ghazali
Ilustrasi Ibnu Rusyd. Foto: istimewa.


Oleh MJ Wijaya


Dutaislam.or.id - “Jika wahyu dan akal sama-sama datang dari Tuhan, maka keduanya tak akan pernah bertentangan.” —Ibnu Rusyd


Dalam sejarah intelektual Islam, sangat jarang kita menemukan figur yang berdiri setegak Ibnu Rusyd dalam membela akal. Melalui mahakaryanya Tahāfut al-Tahāfut (Kerancuan atas Kerancuan), ia tidak hanya menjawab kritik teologis dari Imam Al-Ghazali, tetapi membangun kembali fondasi filsafat sebagai jalan sah menuju kebenaran.


Kitab ini lahir sebagai respons terhadap Tahāfut al-Falāsifah karya Al-Ghazali—sebuah teks polemik yang menyerang para filsuf Muslim terdahulu seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, bahkan mengkafirkan mereka karena tiga pendapat utama: kekekalan alam, penolakan kebangkitan jasmani, dan pandangan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal. Ibnu Rusyd tidak menanggapi dengan kemarahan, tetapi dengan logika, kejernihan, dan kedalaman filsafat.


Rasionalitas sebagai Amanah Ilahiyah

Ibnu Rusyd meletakkan dasar argumennya pada premis bahwa kebenaran tidak bisa bertentangan dengan kebenaran. Jika wahyu adalah benar dan akal juga adalah ciptaan Tuhan, maka benturan antara keduanya hanya mungkin terjadi karena kesalahan manusia dalam menafsirkan, bukan karena cacat pada instrumen akal itu sendiri. Dalam bahasa yang lugas, ia menulis:


"Apabila teks agama bertentangan secara lahiriah dengan penalaran pasti (burhānī), maka harus ditakwilkan secara metaforis, karena akal adalah landasan bagi syariat itu sendiri."


Ini adalah pernyataan yang revolusioner untuk konteks abad ke-12, dan bahkan masih terasa radikal di abad ke-21. Ketika banyak pemikir sibuk menyingkirkan filsafat demi menjaga ortodoksi, Ibnu Rusyd justru menunjukkan bahwa filsafat adalah fardhu kifayah bagi umat berakal.


Kritik Terhadap Kalam dan Mistisisme

Al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah menuduh para filsuf menyimpang dari kebenaran agama karena terlalu mengandalkan rasio. Ia menekankan pendekatan teologis dan pengalaman mistik (kasyf) sebagai jalan superior. Namun bagi Ibnu Rusyd, mistisisme tidak bisa menjadi standar kebenaran objektif karena bersifat privat dan tidak demonstratif.


Dalam Tahāfut al-Tahāfut, ia menyerang metode kalam sebagai "retorika dialektis yang tidak pernah benar-benar mencapai kepastian." Ia bahkan menuduh para mutakallimūn bersikap seperti "dokter yang tidak memahami anatomi, tetapi terus mengobati pasien dengan dogma."


Filsafat, Teologi, dan Politik Pengetahuan

Ibnu Rusyd tidak berhenti pada soal teoretis. Ia menyusun hirarki epistemik masyarakat: awam yang menerima simbol, mutakallimūn yang berdialektika, dan filsuf yang menembus esensi melalui demonstrasi rasional. Kritik tajamnya adalah pada upaya para teolog untuk memaksakan satu jenis pemahaman kepada seluruh masyarakat, menjadikan keragaman tafsir sebagai ancaman, bukan kekayaan.


Dalam konteks kontemporer, gagasan Ibnu Rusyd tetap relevan. Ketika ruang publik kita diramaikan oleh populisme teologis yang menafikan ilmu, dan ketika kecurigaan terhadap filsafat terus dikobarkan atas nama stabilitas iman, Ibnu Rusyd mengingatkan: "Kota yang membunuh filsafat akan segera membunuh akal, dan setelah itu, membunuh dirinya sendiri."


Warisan yang Disia-siakan

Yang paling ironis dari sejarah Tahāfut al-Tahāfut adalah bahwa pengaruhnya jauh lebih besar di Barat daripada di dunia Islam. Lewat terjemahan Latin dan Ibrani, Averroes menjadi jantung filsafat skolastik Kristen. Thomas Aquinas bahkan menyebutnya “The Commentator” atas Aristoteles. Sementara dunia Islam, usai dominasi Asy’ariyah dan kemunduran politik Abbasiyah, perlahan menyingkirkan filsafat dari madrasah dan menyempitkan akal dalam kerangka kalam.


Filsuf kontemporer seperti Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd menganggap Ibnu Rusyd sebagai simbol resistensi terhadap “otak yang dibekukan oleh ortodoksi.” Dan di tengah krisis nalar dunia Islam hari ini—dari tafsir sempit atas agama hingga kebijakan publik anti-intelektual—panggilan Ibnu Rusyd terdengar makin nyaring.


Ibnu Rusyd melalui Tahāfut al-Tahāfut mengajarkan bahwa mempertanyakan bukanlah membangkang, tetapi mencintai kebenaran dengan serius. Bahwa akal bukan sekadar alat untuk berpikir, tetapi tanggung jawab spiritual. Dan bahwa keimanan yang menolak rasionalitas bukanlah bukti kekuatan iman, tetapi cerminan ketakutannya terhadap kebenaran yang lebih dalam.


“Orang yang menolak filsafat sesungguhnya sedang menolak satu bentuk pencarian Tuhan itu sendiri.” —Ibnu Rusyd. [dutaislam.or.id/ab]


Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha