Iklan

Iklan

,

Iklan

Menafsir Ulang Pendidikan Islam di Era Kekosongan Makna

Duta Islam #05
5 Mei 2025, 09:12 WIB Ter-Updated 2025-05-05T02:12:13Z
Download Ngaji Gus Baha
tafsir ulang pendidikan islam era modern
Ilustrasi tafsir ulang pendidikan Islam. Foto: istimewa.


Oleh MJ.Wijaya


Dutaislam.or.id - "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11)


Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Islam, kita dihadapkan pada satu pertanyaan esensial: apa arti pendidikan dalam tradisi Islam, dan ke mana ia sedang diarahkan? Pertanyaan ini penting, sebab pendidikan Islam hari ini seringkali kehilangan ruh transformasionalnya, terjebak antara glorifikasi sejarah masa lalu dan ketertinggalan dari modernitas yang bergerak cepat.


Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw bukanlah perintah shalat, puasa, atau jihad, tetapi sebuah ajakan eksistensial: “Iqra’!”—Bacalah! (QS. Al-‘Alaq: 1). Ini bukan sekadar perintah literal, melainkan seruan epistemologis dan ontologis. 


Dalam pandangan filsuf Muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan Islam adalah proses ta’dib—pembentukan adab, yaitu pengenalan dan internalisasi keteraturan kosmik dan moral dalam jiwa manusia.


Pendidikan, dalam konteks Islam klasik, bukanlah alat untuk sekadar mencari pekerjaan atau memperoleh gelar, melainkan jalan untuk mendekat kepada kebenaran. Tokoh seperti Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu sejati adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Tuhan, bukan sekadar menambah informasi. Maka, pendidikan Islam adalah sekaligus spiritual, rasional, dan sosial.


Dalam sejarahnya, pendidikan Islam telah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Ibn Sina (Avicenna), perintis kedokteran modern; Al-Farabi, filsuf kenegaraan; dan Ibn Khaldun, pelopor sosiologi. Peradaban Islam pernah menjadikan perpustakaan sebagai simbol kemajuan: Bayt al-Hikmah di Baghdad, Al-Qarawiyyin di Fez, dan Madrasah Nizamiyyah di Nishapur adalah bukti bahwa Islam pernah menjadikan ilmu sebagai inti budaya.


Namun hari ini, UNESCO mencatat bahwa tingkat literasi di banyak negara Muslim masih berada di bawah rata-rata global. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa di beberapa negara anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), tingkat buta huruf masih di atas 30%, dan investasi dalam riset hanya 0,81% dari GDP—jauh di bawah negara-negara maju. Pendidikan Islam, alih-alih menjadi pendorong kebangkitan, sering kali hanya menjadi ornamen simbolik dalam sistem yang sekuler dan pragmatis.


Krisis Eksistensial: Pendidikan Tanpa Tujuan

Pendidikan Islam modern menghadapi krisis ganda: kekosongan makna dan kekacauan metodologi. Di satu sisi, kurikulum terlalu fokus pada penguasaan hafalan tanpa pemahaman kritis; di sisi lain, ia meniru sistem sekuler yang menjauhkan dimensi spiritual dari intelektualitas. Akibatnya, lahirlah generasi yang mahir membaca kitab, tapi buta terhadap realitas sosial; atau sebaliknya, kritis terhadap dunia, tapi asing terhadap nilai-nilai ilahiah.


Filsuf pendidikan, Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah proses conscientization—kesadaran kritis. Islam lebih awal menyuarakan hal ini. Tapi dalam praktiknya, banyak institusi pendidikan Islam hari ini justru menumpulkan daya tanya, mematikan semangat debat, dan menormalisasi ketaatan tanpa pemahaman.


Maka, Hari Pendidikan Islam harus menjadi titik balik untuk menyusun ulang paradigma. Pertama, kita perlu kembali ke semangat iqra—membaca realitas, membaca teks, dan membaca diri. Kedua, menghapus dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia, sebab Islam memandang semua ilmu sebagai jalan menuju Allah, selama ditujukan untuk kemaslahatan. Ketiga, memperkuat otonomi guru dan kelembagaan pesantren serta madrasah agar tidak semata menjadi kepanjangan tangan birokrasi.


Di tengah dunia yang dilanda krisis makna, pendidikan Islam memiliki peran unik: menjadi jangkar moral sekaligus mercusuar intelektual. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun, “Ilmu adalah makanan hati, sebagaimana roti adalah makanan jasad.” Maka jika kita lapar pengetahuan, bukan hanya bangsa ini yang rapuh, tetapi juga ruhnya sebagai umat yang membawa risalah rahmatan lil ‘alamin.


Pendidikan Islam bukan sekadar soal akreditasi dan kurikulum, melainkan tentang membentuk manusia. Manusia yang bertuhan, berpikir, dan berbuat. Maka, peringatan Hari Pendidikan Islam seharusnya bukan hanya seremoni, tetapi revolusi. Bukan hanya nostalgia, tetapi rekonstruksi. Dan barangkali, revolusi itu dimulai dengan satu kata yang mengubah dunia: Iqra. [dutaislam.or.id/ab]


Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha