Iklan

Iklan

,

Iklan

Haji Pakai Paspor Illegal Itu Sah Tapi Tidak Mabrur

30 Agu 2016, 03:05 WIB Ter-Updated 2024-08-26T06:43:14Z
Download Ngaji Gus Baha

Dutaislam.or.id - Kasus tercekalnya 177 jamaah haji Indonesia yang memilih berangkat dari Filipina sungguh memprihatinkan. Ada yang menyebut mereka adalah korban karena sudah kadung menjual lahan bisnisnya untuk berangkat, sebagaimana laporan Duta Islam “Sudah Jual Tambak Garam Untuk Haji Lewat Filipina, Tapi Gagal”.

Bagaimana hukum berangkat haji menggunakan paspor ilegal? Kami turunkan hasil catatan tim www.santrimenara.id pada (13/08/2016) soal Fiqih Haji bersama KH Arifin Fanani, pengasuh pesantren MUS-YQ Kudus dan pakar Fiqih yang biasa diundang untuk tanya jawab oleh masyarakat sekitar. Berikut:

Haji yang mambur (diterima oleh Allah) adalah haji yang tidak dikotori oleh dosa, “walau shoghirotan wa in taba halan/ meskipun dosanya kecil dan langsung ditobati,” ujar Kiai Arifin. Karena itulah, lanjutnya, laisa lahu jazaan illal jannah (tidak ada balasan lain kecuali surga).

Penggunaan paspor illegal untuk berhaji, bagi kiai Arifin, tetap sah hajinya dan insyaallah tidak dosa. Gampangnya begini, “pokoknya dia sampai Makkah, haji, khususnya wukuf, itu sudah sah, sekalipun pakai uang curian,” lanjutnya. Soal mabrur atau tidak, tanyakan kepada hati nurani.

Bandar togel sekeluarga itu pun sah jika mereka bareng-bareng melaksanakan ibadah haji, dan sudah gugur kewajibannya. “Cuma hajinya mabrur atau mabur, itu yang jadi soal,” terang guru fiqih Madrasah TBS Kudus ini.

Saking samarnya sebuah dosa, ada yang tidak merasa bahwa apa yang dilakukan ketika sedang berhaji tergolong perbuatan maksiat. Misal ada orang haji kebelet melakukan jima’ (hubungan suami istri) setelah tahallul  awwal (mencukur minimal 3 helai rambut yang pertama kali) sebelum melaksanakan tahallul tsani (yang kedua).

Secara hukum fiqih, ibadah haji orang di atas tetap sah namun berkewajiban membayar dam (denda) berupa seekor kambing. Ada yang salah menyebut kalau dam jima’ baina tahllulaini (dua tahallul) itu adalah sapi. “Kumpul baina tahallulaini itu kan dam-nya kambing dan tidak batal hajinya. Cuma kalau mabrur ya sulit,” kata Kiai Arifin.

Dalam kitab Ad Din wal Haj karya Syaikh Abbas Karoroh diterangkan jika ada orang berhaji lewat pesawat udara lalu mengambil miqat (batas dimulainya ibadah haji) di Jeddah, itu dosa. Sekalipun dia bisa membayar dam, namun dam tidak bisa menghilangkan dosa tersebut. Jamaah haji Indonesia, miqotnya di Bir Ali Madinah (Madinah dulu). Gelombang ke 2 (langsung Makkah), miqotnya di atas pesawat.

“Jadi jangan menganggap diri dumeh punya uang banyak bisa seenaknya membayar dam untuk tebusan dosa,” terang Kiai Arifin. 

Dalam kitab tersebut, paparnya, juga diterangkan bahwa minum zam zam disunnahkan dengan cara berdiri walaupun di kitab-kitab fiqih yang ada disebutkan sunahnya meminum air zam-zam dengan cara duduk, “wa yusannu syurbu zam zam qaiman/ disunnahkan meminum air zam-zam dengan berdiri,” teksnya begitu.

“Saya pernah melakukan itu ketika haji di Makkah. Diingatkan oleh orang Makkah yang wajahnya bersinar. Saya keluarkan pendapat dan mengatakan padanya “inda Syeikh Abbas Karoroh, yusannu qoiman”. Dijawab “shadaqta/ engkau benar”. Tapi orang tersebut hilang setelah itu,” cerita Kiai Arifin dalam bahasa Jawa.

“Jadi kalau saya, untuk keluar dari khilaf (khuruj minal khilaf), kadang-kadang berdiri kadang juga duduk. Tapi semua ada dasarnya,” tambahnya.

Soal kredit haji atau umroh yang marak akhir-akhir ini, Kiai Arifin menyatakan sah. Kalimat man istatha’a ilaihi sabila (haji itu wajib bagi mereka yang mampu) sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 97 itu objeknya adalah orang yang terbebani kewajiban haji.

“Walau tidak mampu, jika naik haji dan dia sampai ke Makkah, ya tetap sah. Misalnya seperti orang meninggal yang dihajikan orang lain, itu sah walau pada hakikatnya dia tidak istitha’ karena sudah meninggal,” papar Kiai Arifin. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan