Dutaislam.or.id - Kasus tercekalnya 177 jamaah haji Indonesia
yang memilih berangkat dari Filipina sungguh memprihatinkan. Ada yang menyebut
mereka adalah korban karena sudah kadung menjual lahan bisnisnya untuk
berangkat, sebagaimana laporan Duta Islam “Sudah Jual Tambak Garam Untuk Haji Lewat Filipina, Tapi Gagal”.
Bagaimana hukum berangkat haji menggunakan paspor ilegal?
Kami turunkan hasil catatan tim www.santrimenara.id pada (13/08/2016) soal Fiqih Haji bersama KH Arifin Fanani, pengasuh pesantren
MUS-YQ Kudus dan pakar Fiqih yang biasa diundang untuk tanya jawab oleh
masyarakat sekitar. Berikut:
Haji yang mambur (diterima oleh Allah) adalah haji yang
tidak dikotori oleh dosa, “walau shoghirotan
wa in taba halan/ meskipun dosanya kecil dan langsung ditobati,” ujar Kiai
Arifin. Karena itulah, lanjutnya, laisa lahu jazaan illal jannah (tidak ada
balasan lain kecuali surga).
Penggunaan paspor illegal untuk berhaji, bagi kiai Arifin,
tetap sah hajinya dan insyaallah tidak dosa. Gampangnya begini, “pokoknya dia
sampai Makkah, haji, khususnya wukuf, itu sudah sah, sekalipun pakai uang
curian,” lanjutnya. Soal mabrur atau tidak, tanyakan kepada hati nurani.
Bandar togel sekeluarga itu pun sah jika mereka
bareng-bareng melaksanakan ibadah haji, dan sudah gugur kewajibannya. “Cuma
hajinya mabrur atau mabur, itu yang jadi soal,” terang guru fiqih Madrasah TBS
Kudus ini.
Saking samarnya sebuah dosa, ada yang tidak merasa bahwa apa
yang dilakukan ketika sedang berhaji tergolong perbuatan maksiat. Misal ada
orang haji kebelet melakukan jima’
(hubungan suami istri) setelah tahallul awwal (mencukur minimal 3 helai rambut
yang pertama kali) sebelum melaksanakan tahallul tsani (yang kedua).
Secara hukum fiqih, ibadah haji orang di atas tetap sah
namun berkewajiban membayar dam (denda) berupa seekor kambing. Ada yang salah
menyebut kalau dam jima’ baina tahllulaini (dua tahallul) itu adalah sapi.
“Kumpul baina tahallulaini itu kan dam-nya kambing dan tidak batal hajinya.
Cuma kalau mabrur ya sulit,” kata Kiai Arifin.
Dalam kitab Ad Din wal Haj karya Syaikh Abbas Karoroh
diterangkan jika ada orang berhaji lewat pesawat udara lalu mengambil miqat
(batas dimulainya ibadah haji) di Jeddah, itu dosa. Sekalipun dia bisa membayar
dam, namun dam tidak bisa menghilangkan dosa tersebut. Jamaah haji Indonesia,
miqotnya di Bir Ali Madinah (Madinah dulu). Gelombang ke 2 (langsung Makkah),
miqotnya di atas pesawat.
“Jadi jangan menganggap diri dumeh punya uang banyak bisa
seenaknya membayar dam untuk tebusan dosa,” terang Kiai Arifin.
Dalam kitab
tersebut, paparnya, juga diterangkan bahwa minum zam zam disunnahkan dengan
cara berdiri walaupun di kitab-kitab fiqih yang ada disebutkan sunahnya meminum
air zam-zam dengan cara duduk, “wa
yusannu syurbu zam zam qaiman/ disunnahkan meminum air zam-zam dengan
berdiri,” teksnya begitu.
“Saya pernah melakukan itu ketika haji di Makkah. Diingatkan
oleh orang Makkah yang wajahnya bersinar. Saya keluarkan pendapat dan
mengatakan padanya “inda Syeikh Abbas Karoroh, yusannu qoiman”. Dijawab “shadaqta/
engkau benar”. Tapi orang tersebut hilang setelah itu,” cerita Kiai Arifin
dalam bahasa Jawa.
“Jadi kalau saya, untuk keluar dari khilaf (khuruj minal
khilaf), kadang-kadang berdiri kadang juga duduk. Tapi semua ada dasarnya,”
tambahnya.
Soal kredit haji atau umroh yang marak akhir-akhir ini, Kiai
Arifin menyatakan sah. Kalimat man
istatha’a ilaihi sabila (haji itu wajib bagi mereka yang mampu) sebagaimana
dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 97 itu objeknya adalah orang yang
terbebani kewajiban haji.
“Walau tidak mampu, jika naik haji dan dia sampai ke Makkah,
ya tetap sah. Misalnya seperti orang meninggal yang dihajikan orang lain, itu
sah walau pada hakikatnya dia tidak istitha’ karena sudah meninggal,” papar
Kiai Arifin. [dutaislam.or.id/ab]