Iklan

Iklan

,

Iklan

Ramalan Nabi Tentang Bibit Munculnya ISIS Sekarang

24 Okt 2016, 05:58 WIB Ter-Updated 2024-08-30T20:12:21Z
Download Ngaji Gus Baha

Dutaislam.or.id - Gerakan ISIS semakin membabi buta. Mereka juga semakin gencar merekrut para pengikut. Mereka tak segan menculik orang-orang potensial, bahkan anak-anak untuk dijadikan kadernya.

Gerakan ISIS ini juga sudah masuk wilayah Malang Raya. Baru-baru ini ada 4 warga Malang yang diciduk Densus 88. Bahkan, menurut informasi ada sekitar 18 warga Malang yang sudah berada di Syiria, menjadi relawan ISIS, masyaallah.

Ideologi ISIS serta organisasi sejenis telah menodai ajaran Islam. Juru Bicara  Badan Nasional  Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan, orang-orang yang bergabung dalam ISIS adalah orang-orang yang memiliki semangat tinggi untuk berjuang. Namun sayangnya pemahaman agamanya belum sempurna. Mereka tidak bisa membedakan antara ISIS dengan Islam. Padahal ISIS itu kelompok teroris, sedangkan Islam adalah agama yang damai.

Lalu, mengapa terus muncul golongan yang berfaham radikal dan ekstrim. Sejak kapankah mulai munculnya golongan ekstrim ini? Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A. dalam pengajian umum di Pondok Pesantren Ahlusshofa Wal Wafa menjelaskan panjang lebar seputar golongan radikal ini.

Sekte ekstrim dalam sejarah Islam telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW hidup. Ketika Rasulullah memenangkan perang Thaif dan Hunain dan memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) yang melimpah, Rasulullah SAW membagi-bagikan ghanimah di Ja’ranah. Pembagiannya tidak seperti biasa. 

Para sahabat Rasulullah SAW yang sudah lama masuk Islam, seperti Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad dan lainnya tidak mendapatkan bagian. Namun para sahabat yang baru masuk Islam mendapatkannya, walaupun kaya raya, termasuk Abu Sufyan dan Al-Bakhtari.

Saat pembagian masih berlangsung, ada seseorang bernama Dzul Khuwaishir dari keturunan Bani Tamim menghampiri Rasulullah dan memprotes beliau. Ia lalu berkata dengan kasar “Berlaku adillah, hai Rasulullah!” Rasulullah terkejut, dan berkata; “Celakalah kamu! Siapa yang akan berbuat adil jika aku saja tidak berbuat adil?”  Umar bin Khattab berkata; “Wahai Rasulullah, biarkan kupenggal saja lehernya.” Rasulullah menjawab; “Biarkan saja!”

Dzul Khuwaishirah meninggalkan Rasulullah, dan Rasulullah bersabda; “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya (tidak memahami substansi misi-misi Al-Qur’an, dan hanya hafal di bibir saja). Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka, niscaya akan kupenggal lehernya seperti kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada Kitab Az-Zakah, bab al-Qismah).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda; “Mereka sejelek-jeleknya makhluk, bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.” (HR. Shahih Muslim).

Menurut Imam Nawawi, Dzul Khuwaisir berjidat hitam, kepalanya botak, bersorban, tinggi gamisnya setengah kaki, dan bejenggot panjang. Jidat yang hitam berasal dari bertemunya jidat dengan lantai kala sholat. Menurut para ulama, kedua hadits ini menjelaskan bahwa Dzul Khuwaishir akan memiliki keturunan yang meski pun rajin sholat, baik wajib maupun sunah, dan membaca Al Qur’an, namun cara berfikir dan perilakunya sama sekali tidak Islami. Mereka dengan mudah mengkafirkan orang lain yang tidak sefaham dengan mereka.

Tragedi Khawarij
Prediksi yang disabdakan Rasulullah tersebut terbukti. Pada tahun ke 40 H dengan dibunuhnya Ali bin Abi Thalib. Yang membunuhnya adalah Abdur-Rahmân bin Muljam. Bukan orang Yahudi atau Kristen. Orang ini setiap hari berpuasa, setiap malam melakukan shalat malam, hafal Qur’an, namun pemahamannya tentang agama kurang menguasai secara utuh.

Mereka mengkafirkan Sayyidina Ali, anak yang pertama masuk Islam, menantu Rasulullah, termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga (al-‘asyratul mubassyiriina biljannah), yang memenangkan perang Khaibar, karena menerima hukum hasil musyawarah pada peristiwa tahkim (berdamai) dengan Gubernur Syam Muawiyah. Karena tidak berhukum dengan Al-Qur’an, maka kafir dan halal dibunuh. Ini persisi seperti yang diprediksikan oleh Nabi SAW.

Orang-orang yang ekstrim atau radikal di awal-awal Islam ini masuk golongan khawarij. Khawarij dianggap sebagai sekte radikal karena sekte ini mengkafirkan semua orang yang berdamai atas kasus pembunuhan Utsman bin Affan, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, dan lain sebagainya.

Selain itu, selama sekte ini tumbuh dan berkembang pada zaman pemerintahan Bani Umayyah, sekte ini menjadi oposisi pemerintah dengan militansi luar biasa dan nekat, sehingga meski hanya berkekuatan 80 orang, mereka berani melawan penguasa. Jika di antara mereka ada yang tewas, mereka menganggapnya syahid. 

Sekte ini kemudian terpecah menjadi beberapa sekte, di antaranya Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdat, dan Ash-Shufriyah. Yang paling ekstrim adalah sekte Al-Azariqah karena kelompok ini menganggap orang di luar Khawarij adalah kafir.

Nah, sekarang yang model begini mulai banyak. Orang-orang, organisasi atau pesantren yang mengajarkan radikalisme atau ekstrem. Menganggap orang yang tidak sepaham sebagai ahli bid’ah, sesat, kafir dan ahli neraka. Mereka tidak mengenal toleransi.

Orang-orang yang berpikir ektrem atau radikal bermunculan. Berbagai tragedi kekerasan, bom bunuh diri terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia. Sudah banyak yang ditangkap dan diesksekusi, namun tetap saja ada generasi penerusnya. Kini ada organisasi ISIS yang ingin mendirikan negara Islam. 

ISIS didirikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi. ISIS merupakan sempalan dari Al-Qaedah, pimpinan Usamah bin Laden. Mereka ingin mendirikan khilafah, negara Islam. Siapa saja yang tidak setuju dibunuh. Tentu saja ini bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam Diamalkan, Negara Diamankan
Banyak negara di dunia yang bertanya-tanya, kenapa Islam di Indonesia kok toleran dan hidup damai berdampingan. Sedangkan di Timur Tengah setiap hari konflik dan perang saudara. Korbannya sudah ratusan ribu. Baik di Irak, Syuriah, Mesir, Yaman dan sebagainya.  

Salah satu jawabannya, di Indonesia, organisasi Islam mayoritasnya, Nahdlatul Ulama yang anggotanya sekitar 70 juta bersikap toleran. Biasanya suku besar menindas suku kecil. Partai besar menekan partai kecil. Organisasi NU, mayoritas tapi melindungi dan menghormati yang minoritas. NU mengajak umat Islam untuk saling menghormati meski berbeda agama, madzhab, golongan, ataupun partai politik.

Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama yang lainnya, dalam membangun bangsa ini mengemukakan rumusan persaudaraan yang bersemangatkan Islam, persaudaraan yang berasaskan kebangsaan. Islam saja tanpa semangat nasionalisme belum tentu bisa mempersatukan ummat. Sebaliknya, Nasionalis saja tanpa agama akan kering atau sekuler.

Jadi, yang benar adalah Islam Nasionalis. Islam sebagai agama, nasionalis sebagai komitmen kebangsaan. Inilah yang bisa mempersatukan bangsa Indonesia meski terdiri dari ribuan suku dan macam-macam agama.

Sejak tahun 1936, jauh sebelum Indonesia Merdeka, dalam muktamar di Banjarmasin kyai-kyai NU menghendaki negara Indonesia adalah negara Darus salam (negara damai), bukan Darul Islam. Jadi negara yang pantas dan layak bagi Indonesia adalah negara nasional atau kebangsaan bukan negara Islam.

Keberadaan sebuah bangsa dan tanah air sangatlah penting. Maka, para ulama menekankan bahwa menjaga atau membela negara adalah kewajiban warga negara. Sedangkan, bagi orang yang ekstrim, mereka tak peduli tanah air. Mereka tidak peduli, Indonesia ini konflik, perang saudara, pecah atau bubar yang penting terbentuk negara Islam. Bagi kita tidak seperti itu. Islam diamalkan, keselamatan bangsa dibela atau diamankan.

Sebuah pepatah mengatakan, man laisa lahu ardhun, laisa lahu taarikh. Waman laisa lahu tarikh laisa lahu dzaakirah (Barang siapa tidak punya tanah air, tidak punya sejarah. Barang siapa tidak punya sejarah maka akan hilang). Wallahu a’lam. [dutaislam.or.id/ed]

Artikel ini diambil dari Ceramah KH. Said Aqil Siradj

Iklan