Cover PDF Syar'u Man Qoblana. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Anton Sujarwo
Dutaislam.or.id - Nabi Muhammad SAW adalah sempurna bagi umatnya, baik pada zaman kerasulannya maupun zaman setelah kerasulannya berakhir. Sudah sepantasnya di hadapan kita semua bahwa Muhammad adalah sosok fiqur yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus), karena beliau adalah seorang Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia.
Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan.
Terkait dengan kerasulan Nabi Muhammad yang merupakan Nabi penutup dimana terdapat Nabi-Nabi sebelumnya yang juga membawa risalah Allah SWT, ada pertanyaan kecil di benak kita, terkait peribadatan beliau.
Baca: Flashdisk Kitab Kuning PDF Ribuan Judul
Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau? Terkait dengan pertanyaan tersebut ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, sebelum diutus, Nabi Muhammad Saw mengikuti syariat Nabi sebelumnya.
Namun untuk lebih memperjelas tentang syari’at yang dibawa oleh Nabi-nabi terdahulu atau yang kita kenal dengan istilah Syar’u Man Qoblana (شرْعُ مَنْ قَبْلَنا), akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan sederhana dan insyaAllah bermanfaat ini.
Syar'u Man Qoblana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura: 13, yang artinya:
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)”.
Di antara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya, ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu, terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari’at Islam dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
Pada hakikatnya, syariat sebelum kita itu memiliki kesamaan; sama-sama diturunkan oleh Allah Swt.
Pembagian Syar’u Man Qoblana
Berikut ini adalah pembagian tentang Syar’u Man Qoblana:
- Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi Al-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad. Untuk bentuk pertama ini, ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad Saw.
- Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Para ulama tidak menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah.
- Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita. Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad. Berdasarkan inilah ulama-ulama Hanafiyyah menetapkan hukuman qishash kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimmi. Mereka menetapkan hukum itu berdasarkan pada ayat 45 Surat AI-Ma’idah.
Sebagian ulama lain menetapkan bahwa dalam hal hukum semacam ini tidaklah menjadi hukum bagi kita, karena perincian syariat yang telah lalu tidaklah merupakan hukum yang bersifat umum, yang mashlahah untuk setiap waktu dan tempat. Hanya syari’at Islam lah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat dan dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah QS. Al-Baqarah :143, yang artinya:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitil Maqdis), melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik atas kedua tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu terasa berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.
Syar’u Man Qoblana dibagi menjadi dua bagian, seperti sudah disinggung sebelumnya. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga bagian:
- Dinasakh oleh syariat kita (syariat Islam). Tidak termasuk syariat kita, menurut kesepakatan semua ulama.
- Dianggap syariat kita melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini termasuk syariat kita, atas kesepakatan ulama.
- Tidak ada penegasan dari syariat kita, apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini (Syar’u Man Qoblana).
Ada empat dalil yang dibuat tendensi. Para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita merupakan bagian dari syariat kita adalah karena beberapa alasan, seperti ulasan berikut ini:
- Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan telah dinasakh. karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-An’am Ayat 90, An-Nahl Ayat 123 dan Surat As-Syura Ayat 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat Al-Qur'an dalam Surat Shad (ص) Ayat 24.
- Kewajiban menqadha’ shalat Fardlu berdasarkan hadits Nabi, “barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat”, dan ayat, “kerjakanlah shalat untuk mengingatku,” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadits di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa as, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya, niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah tasyri’.
- Ayat kelima dalam Surat Al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas, dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajiban Qishas dalam syariat kita.
- Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli Kitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh wahyu.
Demikian empat alasan mengapa Syar’u Man Qoblana tetap berlaku untuk syariat umat Nabi Muhammad Saw. Lalu, apa yang melatarbelakangi pendapat ulama yang cenderung mengingkari syariat umat sebelum kita. Berikut ini ulasannya:
- Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman, Beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadits dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut, maka aku akan berijtihad”.
- Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
- Seandainya Nabi Muhammad Saw dan umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
- Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syariat terdahulu.
Jika Al-Qur’an atau Sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut ada perintah mewajibkan kepada kita seperti diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat ditunjukkan juga kepada kita.
Dengan kata lain, perintah itu wajib untuk diikuti, seperti firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah: 183, berikut ini:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ عَلَى الَّذينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. (Q.S. Al-Baqarah: 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan, kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa tentang seorang yang telah berbuat dosa dimana ia tidak akan diampuni kecuali dengan membunuh dirinya dirinya. Begitu pula soal syariat najis di zaman Nabi Musa yang tidak akan bisa suci kecuali dengan cara memotong anggota badan yang terkena najis itu.
Baca: Toko Online Kitab Makna Pesantren dan Pegon Jawa Lengkap
Syariat Kurban Nabi Ibrahim
Sewaktu Nabi Ismail mencapai usia remaja, Nabi Ibrahim a.s. mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail, putranya. Mimpi seorang Nabi adalah salah satu dari cara-cara turunnya wahyu Allah.
Maka perintah yang diterimanya dalam mimpi itu harus dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim. Ia duduk termenung memikirkan ujian maha berat yang akan ia hadapi.
Namun ia sebagai seorang Nabi, pesuruh Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya, haruslah tetap menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, istri, harta dan lain-lain.
Ia harus melaksanakan perintah Allah yang diwahyukan melalui mimpinya itu, apapun yang akan terjadi. Sesuai dengan firman Allah, yang bermaksud: "Allah lebih mengetahui dimana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalahnya."
Nabi Ibrahim tidak membuang waktu lagi. Ia berazam (niat) akan menyembelih Nabi Ismail, putranya, sebagai kurban, sesuai dengan perintah Allah Swt, seperti yang telah diterimanya. Dan berangkatlah Nabi Ibrahim menuju ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan kepada putranya atas apa yang telah Allah perintahkan itu.
Nabi Ismail sebagai anak yang soleh dan sangat taat kepada Allah dan berbakti kepada orang tuanya, ketika diberitahu maksud kedatangan ayahnya kali ini, tanpa ragu-ragu dan berpikir panjang, ia berkata:
"Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insyaAllah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta, pertama, dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak dan tidak menyusahkan ayah. Kedua, agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya. Ketiga, tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa pedihku. Keempat, dan yang terakhir, sampaikanlah salamku kepada ibuku. Berikanlah kepadanya pakaianku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putra tunggalnya."
Kemudian dipeluklah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim, seraya berkata:
"Bahagialah aku mempunyai seorang putra yang taat kepada Allah, berbakti kepada orangtua, dan dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah."
Pada akhirnya, dengan memejamkan matanya, parang diletakkan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan dilakukan. Parang yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul di leher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Kejadian tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah dan sebagai penegas bahwa perintah pergorbanan Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim.
Sampai saat ini, syariat Nabi Ibrahim ini masih dilaksanakan oleh umat Islam di dunia. Syariat ini ditegaskan pada haditst Nabi.
ضَحُّوْا فَاِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمِ
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim”.
Dalam Surat Al Kautsar (108) ayat 2, Allah berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Begitu juga dalam Surat Al-Hajj (22) ayat 34-35, Allah berfirman;
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa”
Dalam Surat Al Hajj (22) ayat 36, Allah juga berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَوَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur”.
Puasa Nabi Dawud
Di masa lalu, ibadah puasa telah Allah syariatkan kepada Nabi Dawud alaihissalam dan umatnya. Mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa untuk seumur hidup, dengan setiap dua hari sekali berselang-seling. Sedangkan kita hanya diwajibkan puasa satu bulan saja dalam setahun, yaitu bulan Ramadhan.
Puasa Dawud ini disyariatkan lewat beberapa hadits Rasulullah SAW, di antaranya:
أَحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللَّهِ صَلاةُ دَاوُدَ، وَأَحبُّ الصيامِ إِلَى اللَّهِ صِيامُ دَاوُدَ، كانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْل وَيَقُومُ ثُلُثَهُ ويَنَامُ سُدُسَهُ وَيصومُ يَومًا وَيُفطِرُ يَومًا
“Dari Abdullah bin Amru radliyaAllahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Shalat (sunnah) yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat (seperti) Nabi Dawud as., dan puasa (sunnah) yang paling dicintai Allah adalah puasa (seperti) Nabi Dawud alaihissalam. Beliau tidur separuh malam, lalu shalat 1/3 malam".
Selain itu, ada hadits lainnya juga yang menegaskan pensyariatan puasa Dawud:
صُمْ يَوْماً وَأَفْطِرْ يَوْما فَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ دَاوُد عليه الصلاة والسلام وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ. فَقُلْتُ: إنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: لا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ
“Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya Nabi Dawud a.s dan itu adalah puasa yang paling utama. Aku menjawab, "Aku mampu lebih dari itu". Nabi SAW bersabda, "Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu". (HR. Bukhari).
Bagi kita umat Nabi Muhammad SAW, puasa seperti Nabi Dawud ini tidak diwajibkan. Beliau Saw hanya menjadikan puasa ini sebagai puasa sunnah. Nabi Dawud juga melaksanakan puasa, bahkan dalam waktu yang cukup lama, yaitu setengah tahun, dimana nabi Dawud berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Begitulah selama satu tahun.
Al-Qurthubi, dalam Kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, menyebutkan bahwa Allah telah mewajibkan puasa kepada Yahudi selama 40 hari. Nabi Isa yang diutus kepada Bani Isra’il juga melaksanakan puasa selama 50 hari. Tetapi bani Israil mengubah waktunya sesuai keinginan mereka.
Jika bertepatan dengan musim panas, mereka menundanya hingga datang musim bunga. Hal itu mereka lakukan demi mencari kemudahan dalam beribadah. Itulah yang disebut nasi’, seperti disebutkan dalam surat at taubah: 37 berikut ini:
إِنَّمَا ٱلنَّسِىٓءُ زِيَادَةٌ فِى ٱلْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يُحِلُّونَهُۥ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُۥ عَامًا لِّيُوَاطِـُٔوا۟ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ فَيُحِلُّوا۟ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ ۚ زُيِّنَ لَهُمْ سُوٓءُ أَعْمَٰلِهِمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah”.
Hal itu menggambarkan betapa umat Yahudi selalu menghindarkan diri untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna sesuai aturan Tuhan. Mereka menginginkan puasa dilaksanakan selalu pada musim dingin atau musim bunga yang siangnya lebih pendek dari malam.
Berbeda dengan puasa pada musim panas. Di samping suhu yang panas siang, juga lebih panjang dari malam hari. Sehingga, puasa akan terasa sangat sulit dan melelahkan.
Namun, begitulah hikmahnya Allah memerintahkan puasa berdasarkan perjalanan bulan, bukan matahari, agar puasa dirasakan pada semua musim dan semua kondisi. Sebab, jika puasa berdasarkan perjalanan matahari, maka ibadah puasa akan selalu berada dalam satu musim.
Jika tahun ini puasa di mulai pada musim panas, maka selamanya puasa akan berada pada musim panas. Berbeda dengan perjalanan bulan yang selalu berubah, di mana jika tahun ini puasa dilaksanakan pada musim panas, maka tahun depan atau beberapa tahun kemudian puasa akan dilaksanakan pada musim dingin atau semi dan seterusnya.
Begitulah yang disebutkan Allah swt, dalam Surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Dalam sebuah riwayat juga ditemukan bahwa umat Yahudi berpuasa pada setiap tanggal 10 Muharram, sebagai syukur atas keselamatan Musa dari kejaran Fir’aun. Maka Nabi Saw juga memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, yang kemudian dikenal dengan puasa hari Asyura.
Umat Yahudi juga diperintahkan berpuasa 1 hari pada hari ke 10 bulan ke 7 dalam hitungan bulan mereka selama sehari semalam. Sementara masyarakat Mesir kuno, Yunani, Hindu, Budha, juga melaksanakan puasa berdasarkan perintah tokoh agama mereka.
Umat Nashrani juga berpuasa dalam hal-hal tertentu, seperti puasa daging, susu, telur, ikan, bahkan berbicara. Seperti yang pernah dilakukan Maryam ibu Nabi Isa sebagaimana tersirat dalam surat Maryam [19] ayat 26.
إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ ٱلْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini”.
Pentingnya kita mengetahui sejarah puasa umat terdahulu adalah agar kita tidak menyontoh puasa umat seperti umat Yahudi, yang memilih waktu puasa seenaknya mereka, bukan menurut aturan Allah Swt.
Ibadah yang lakukan dengan “kelicikan”, kerugiannya akan diderita oleh manusia itu sendiri. Kita juga harus menyadari bahwa puasa adalah ibadah yang pelaksanaannya menuntut keimanan dan kesadaran.
Ibadah puasa adalah untuk manusia itu sendiri. Bukankah Allah menegaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Puasa akan menjadikan manusia berubah dari tingkat mukmin menjadi muttaqin.
Untuk bisa berubah ke arah dan bentuk yang lebih baik, bukan hanya manusia yang berpuasa, akan tetapi sebagian binatang pun ketika, bermetamorfosa (ber-ubah wujud), mereka juga berpuasa. Seperti kupu-kupu yang berubah dari ulat yang bentuk dan rupanya jelek dan berjalan melata, menjadi seekor kupu-kupu yang bersayap dan berwarna indah serta bisa terbang, karena berpuasa.
Epilog
Dari uraian di atas, nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang selaras dengan apa yang dibawa Nabi kita Muhammad Saw dan diakui oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan ada juga yang tidak demikian. Syar’u Man Qoblana dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu:
- Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
- Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
- Ajaran yang tidak ditetapkan oleh syari’at kita
Contoh Syar’u Man Qoblana yang masih berlaku adalah syariat Kurban. Sampai saat ini syariat Nabi Ibrahim itu masih dijalankan pada saat Hari Raya Idul Adha.
Para ulama menggunakan beberapa dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syariat umat yang terdahulu, apakah berlaku juga untuk umat Nabi Muhammad.
Pada dasarnya, syariat yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif atau partikuler, yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad.
Artinya, berdasarkan kesepakatan ulama’, jika syariat itu ditegaskan kembali oleh ketetapan Allah dan Rasulnya, maka syariat tersebut wajib untuk diikuti, seperti ibadah kurban.
Demikianlah uraian yang singkat tentang pembahasan Syar’u Man Qoblana. Semoga kita dapat mengambil manfaatnya. Wallahu A’lam Bi Al-Shawab. [dutaislam.or.id/ab]
[Download Ebook Syar'u Man Qablana PDF]
Anton Sujarwo, mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A
Daftar Pustaka:
- Efendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Groub, 2009.
- Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Kencana Media Group, 2012
- Mardani, Ushul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013