Makam Mbah Suko bersama Jabang Bayi, di Raguklampitan, Batealit, Jepara. Foto: dutaislam.or.id. |
Dutaislam.or.id - Mbah Soko/Suko dulunya dikenal sebagai seorang kiai masyhur atau tokoh agama dari Desa Sukodono, Tahunan, Jepara dan memiliki banyak santri di sebuah bangunan pesantren yang menurut keterangan, dulunya terletak di daerah gereja atau di sebelah Utara Masjid Al-Huda Sukodono sekarang.
Mengapa dimakamkan di Desa Raguklampitan, Batealit, Jepara, bersama makam Jabang Bayi? Ini kisah yang didapatkan oleh tim Pemburu Makam pada Jumat sore, 25 Desember 2020. Baca juga: Makam Mbah Modin Klipo, Batealit, Jepara.
Menurut cerita rakyat, perpindahan Mbah Suko dari Sukodono dimulai kisah asmaranya dengan seorang santriwati. Karena tidak ada walimahan, berita hamilnya sang santriwati sempat menggegerkan warga setempat dengan isu liar: kiai hamili santri.
Fitnah yang diterima Mbah Suko ber-efek lebih panjang. Gara-gara geger santri perempuan hamil, ia kemudian digambarkan sebagai kiai yang sudah menghalalkan daging haram (tanpa acara pernikahan).
Kabar burung tentang "kiai yang sudah menghalalkan daging haram" disalahpahami oleh para santri loyalis kiai sebagai "menghalalkan daging anjing". Ramailah orang-orang Sukodono memelihara kirik (anjing), dan menganggapnya sebagai daging yang halal dimakan orang Islam.
Stigma negatif tersebut menyebababkan banyak santri memilih boyong (pulang). Pesantren Mbah Suko sepi. Bersama sang santriwati yang sedang hamil besar, ia hijrah, mencari tempat tinggal aman ke daratan yang lebih tinggi ke arah Timur. Mungkin hendak menuju Pancur.
Baca: Ziarah ke Makam Mbah Abdus Salam, Raguklampitan, Batealit, Jepara
Dalam perjalanan hijrah, Bu Nyai nyidam buah buah asem. Lokasi nyidamnya tersebut sekarang dinamakan sebagai Desa Ngasem. Perjalanan berlanjut lagi hingga harus melewati sebuah sungai. Karena hamil besar, sungai tersebut tidak bisa dilewati. Dinamakanlah lingkungan itu sebagai mBunton (berbuntu).
Mbah Suko dan Bu Nyai akhirnya berbalik arah, mencari tempat yang lebih aman. Bu Nyai mengalami pendarahan walau secara fisik masih kuat bertahan. Mbah Suko meminta Bu Nyai agar bersyukur kepada Allah Swt. karena diberikan keselamatan. "Syukuro (sukurlah!)". Lokasi ini kemudian dinamai Desa Sekuro.
Di dekat Sekuro agak ke Selatan, Mbah Suko menemukan lokasi yang dianggap aman untuk melahirkan calon bayinya itu (Jawa: jabang bayi). Dibangunlah sebuah lamping atau galar (papan tidur terbuat dari bambu) sebagai persiapan kelahiran si jabang bayi. Disebutlah lokasi ini dengan nama nGumelar.
Mbah Suko masih terus mencari tempat aman lain setelah Jabang Bayi lahir. Ia melangkah turun ke arah Timur Gumelar. Tapi, tetap saja, yang ditemui hanyalah sungai.
Terpaksa, karena tidak ada tempat lain, Mbah Suko dan Bu Nyai serta Jabang Bayi tinggal beberapa saat di sebuah lembah. Warga yang bertempat tinggal di atas sungai itu sering mendengar tangisan bayi. Mereka penasaran, mencari asal suara bayi dan nginceng (mengintip) dari balik jendela. Dinamakanlah kampung itu sebagai ngGendelo.
Bekas batu yang digunakan merawat dan memandikan Jabang Bayi, dikeramatkan oleh warga, yang saat itu terletak di kampung Karetan (bekas Hutan Karet), lokasi pesantren dan makam Kiai Shodiq (tulisan tidak diupload karena tidak diijinkan oleh putranya).
Saat masih hidup, watu (batu) telapak Jabang Bayi itu sempat dipindah ke rumah Kiai Shodiq sebelum akhirnya dikembalikan ke lokasi asal setelah wafat, dan tertimpa pohon besar. [dutaislam.or.id/ab]