Hukum membaca ta'awwudz. Foto: istimewa |
Dutaislam.or.id - Kata a'udzu (أَعُوْذُ) adalah salah satu bentuk kata kerja yang menunjuk waktu sekarang dan/atau yang akan datang (al-fi'l al-mudhari') dari kata dasar 'adza - ya'udzu - 'audzan, 'iyadzan, dan ma'adzan. Kata a'udzu dan kata lain yang seasal dengan kata itu di dalam Al-Qur'an disebut 17 kali, dengan rincian 'udztu (عُذْتُ) dua kali, a'udzu (أَعُوْذُ) tujuh kali, yaudzuna (يَعُوذُونَ) dan u'idzu (أُعِيْذُ) masing-masing satu kali, ista'idz empat kali, dan ma'adz satu kali.
Arti dasar dari al-'audz ialah "berlindung pada sesuatu" (al-iltija' ila asy-syai'). Sementara itu ada pula yang mengartikan isti'adza sebagai istidfa' al adna bi al-a'la 'ala wajh al-khudhu' wa at-tadzallul permohonan dari pihak yang lebih rendah kepada pihak yang lebih tinggi dengan penuh ketundukan hati dan kerendahan hati [agar diselamatkan] atau thalab al-i'tisham min syarri asy-syai' (memohon perlindungan dari kejahatan sesuatu). Dengan demikian, inti dari permohonan perlindungan ialah permohonan agar dihindarkan dari kejahatan sesuatu.
Al-Qur'an setidak-tidaknya berbicara tentang lima hal di dalam konteks permohonan kepada Allah swt., yaitu a) semua kesulitan yang ditimbulkan oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang takabbur (QS. Ghafir: 27 dan 56); b) semua bentuk godaan manusia, jin, dan setan (QS. Al-Mu'minun: 97) dan (QS. An-Nas: 1-6); c) semua akibat kejahilan/ketidaktahuan (QS. Hud: 47); d) semua akibat kezaliman (QS. Al-Mu'minun: 98) dan (QS. Al-Falaq:1-5); dan e) semua bujuk rayu wanita yang akan membawa kepada keruntuhan moral (QS. Yusuf: 23).
Permohonan perlindungan kepada Allah swt. tidak hanya untuk diri yang bersangkutan sendiri, tetapi dapat pula untuk orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh istri Imran untuk anaknya, Maryam, dan keturunannya (QS. Ali-Imran: 36).
Allah swt. menurunkan dua buah surat pendek, masing-masing terdiri dari lima dan enam ayat pendek, yaitu (QS. Al-Falaq: 113) dan (QS. An-Nas: 114). Kedua surat tersebut dinamakan juga surat al-mu'awwidzatain.
Secara khusus di dalam (QS. An-Nahl: 98) Allah swt. memerintahkan umat Islam agar memohon perlindungan kepada-Nya ketika akan memulai membaca Al-Qur'an, terutama ketika akan mengkaji dan mengamalkan isi dan kandungannya. Demikian itu karena sebagai manusia biasa yang mungkin juga keliru di dalam memahami maksud Allah swt. melalui kalam-Nya. Atau, justru ada pemaksaan di dalam menakwilkan ayat.
Hal semacam ini dapat saja terjadi karena gangguan setan yang membuat pembaca Al-Qur'an merasa ragu-ragu tentang makna suatu kata. Dengan gangguan tersebut, orang yang bersangkutan tidak mampu menarik kesimpulan yang bersih. Kekeliruan semacam ini besar kemungkinan akan menyesatkan, baik diri sendiri maupun orang lain.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa membaca ta'awwudz dilakukan sebelum membaca ayat Al-Qur'an, baik di dalam maupun di luar sembahyang. Pendapat lain mengatakan, membaca ta'awwudz dilakukan sesudah selesai membaca Al-Qur'an dengan alasan ayat di dalam (QS. An-Nahl: 98) yang menggunakan kata kerja bentuk lampau yang berarti "setelah".
Akan tetapi, kelompok jumhur mengatakan bahwa yang dimaksud oleh kata idza qara'ta tersebut adalah idza aradt al-qira'ah sebagaimana pada ayat idza qumtum ila ash-shalah berarti idza aradtum al-qiyam ila' ash-shalah.
Mengenai status hukum membaca ta'awwudz, jumhur ulama mengatakannya sunah. Demikian itu karena perintah (amr) yang terdapat pada (QS. An-Nahl: 98) bersifat anjuran, bukan kewajiban. Adapun kelompok lain yang di antaranya, diwakili oleh Ata' tetap mengatakannya sebagai perintah yang bersifat wajib sebagaimana bunyi lahir dari ayat tersebut.
Para pemuka (imam) qira'at berbeda pendapat mengenai bentuk ta'awwudz sebelum membaca tasmiyah (basmalah) pada (QS. Al-Fatihah: 1).
Menurut Imam Ibnu Katsir, Asim, dan Abu Amru lafadz ta'awudz tersebut ialah a'udzu billahi minasy - syaithanir - rajim (أعوذ بالله من الشيطان الرجيم). Nafi', Ibnu Amir, dan Al-Kisa'i, di samping bentuk Ibnu Kasir di atas, memberikan tambahan pada bagian akhir sehingga menjadi a'udzu billahi minasy - syaithanir - rajim. lnnahu huwas-sami'ul-'alim (أعوذ بالله من الشيطان الرجيم إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ).
Sementara itu, Hamzah memberikan tambahan di tengah-tengah sehingga menjadi a'utdzu billahis-sami'ul- 'alim minasy-syaithanir-rajim (أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ). Imam Syafi'i dan Abu Hanifah memilih bentuk pertama, Imam Ahmad menganggap bentuk kedua lebih baik sedangkan Ats-Tsauri dan Al-Auza'i menganjurkan bentuk yang ketiga.
Adapun topik-topik atau konteks pembicaraan dari ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata a'udzu dengan segala bentuk turunannya adalah tentang a) salah satu pengikat tali keluarga adalah agama (QS. Hud: 47); b) pokok-pokok akhlak mulia dan godaan moral (QS. Ali'Imran: 36), (QS. Al-A'raf: 200), (QS. An-Nahl: 98), (QS. Maryam: 18), dan (QS. Fushshilat: 36); c) berbagai malapetaka dan godaan yang mungkin akan menimpa orang-orang Mukmin, termasuk para nabi (QS. Al-Falaq: 1-5) dan (QS. An-Nas: 1-6); dan d) di antara sikap orang terhadap ajaran Islam dan kebenaran akan siksaan dari Allah swt. (QS. Al-Baqarah: 67) dan (QS. Al-Mu'minun: 97).
Kesemua topik ini tercakup di bawah tema Iman dan Etika. [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 45-46, ditulis Cholidi