Nasihat ashabul kahfi. Foto: istimewa |
Dutaislam.or.id - Abadan (اَبَدًا) adalah keterangan waktu untuk menunjukkan masa yang akan datang bentuk pluralnya adalah abad (اَبَدً) dan abud (اَبود) artinya dahrun ( selama-lamanya, kekal, terus menerus, masa yang tidak putus).
Kata abad di dalam Al-Qur'an ditampilkan di dalam beberapa variasi. Pada umumnya berfungsi sebagai taukid (penguatan) dari kata khalidin ( kekal) dan beberapa bentuk kalimat negatif yang menggunakan huruf nafi' (negasi: lau, la, dan ma ( tidak) dan bentuk negatif yang menggunakan bentuk la nahi (jangan).
Penguatan makna yang dikombinasikan dengan kata khalidin dijumpai di dalam dua kondisi, kekekalan para penghuni surga dan kekekalan para penghuni neraka. Karakteristik kekekalan penghuni surga adalah:
(1.) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah baik yang matluw (yang tersurat) maupun yang ghairu matluw (yang tersirat); (2) orang-orang beramal saleh, masing-masing seperti yang terdapat di dalam (QS. An-Nisa': 57); (Al-Kahfi: 3); dan (Ath-Thaghabun: 9); (3) orang-orang jujur akan mendapat surga yang kekal (QS. Al-Ma'idah: 119);
(4) orang-orang yang hijrah; (5) orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, sebagaimana di dalam (QS. At-Taubah: 22); (6) kelompok assabiqun al-awwalun (orang-orang yang mula-mula masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan pengikutnya seperti di dalam (QS. At-Taubah: 100);
(7) orang-orang yang berakal dan beriman; dan (8) orang-orang yang sebagai makhluk terbaik, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai imbangan dari orang-orang ahli kitab, yang mengetahui kebenaran Nabi Muhammad saw. dengan kitab Al-Qur'an, tetapi mereka mendustakannya karena kedengkian, dan orang-orang Jahiliyah penyembah berhala.
Mereka yang kafir ini disebut sebagai makhluk terburuk, sementara yang beriman disebut makhluk terbaik. Balasan untuk mereka adalah surga Aden dari ridha Allah swt.
Sementara itu, karakteristik penghuni neraka yang kekal: (1) orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-Nya (QS. An-Nisa': 169); (2) orang yang merintangi arah kepada jalan Allah (QS. An-Nisa': 169); (3) orang yang melakukan kezaliman (QS. An-Nisa': 169); (4) orang yang bertaklid kepada pemimpin yang salah (QS. Al-Ahzab: 65); (5) orang yang tidak berakal sehingga tidak menghargai hidayah Allah (QS. Al-Kahfi: 57); dan (6) orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Jinn: 23).
Keingkaran kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian melakukan kedurhakaan, baik karena menyesatkan orang dari petunjuk maupun menzalimi diri sendiri, hukuman mereka adalah neraka jahanam. Orang yang bertaklid kepada pemimpin yang membuat mereka jadi sesat hukuman untuk mereka adalah neraka sa'ir, kekal mereka di dalamnya.
Di dalam versi yang lain Allah juga menggunakan kata abad membantah klaim orang Yahudi terhadap status kewalian dan surga (QS. Al-Baqarah: 95). Di dalam ayat tersebut digunakan kalimat lan-nafiyah (huruf yang berarti tidak), sebab substansi bantahannya terhadap klaim surga, sedangkan pada (QS. Al-Jumu'ah: 7) digunakan kalimat la nafiyah karena bantahannya terhadap klaim kewalian. Ketidakyakinan mereka akan surga disebabkan olah mereka banyak berbuat durhaka kepada Allah dan mengingkari kebenaran Nabi Muhammad saw. yang mereka ketahui.
Kata abad yang diucapkan oleh manusia misalnya di dalam kisah-kisah seperti:
1. Keengganan umat Nabi Musa as. memasuki daerah Syam setelah mereka selamat dari kerajaan Firaun. Ketika itu, penduduk Syam adalah orang yang ahli di dalam berperang dan menyembah berhala. Umat manusia tidak mau masuk selama-lamanya, selagi manusia pangan itu masih di sana. Mereka menyarankan agar Musa as. dengan Harun as. berdua saja yang masuk dan berperang sementara mereka menonton dari jauh. Keberhasilan memasuki Syam setelah Nabi Musa dan generasi tua di kalangan umatnya wafat berganti dengan generasi baru yang beriman (QS. Al-Ma'idah: 24).
2. Nasihat ashhabul-kahfi (penghuni gua) kepada temannya supaya berhati-hati di dalam melangkah agar tidak tercium spionase raja Diqyanus. Apabila mereka tertangkap tidak akan ada keuntungan selama-lamanya. Sebab mereka akan mati dibunuh atau dipaksa meninggalkan kebenaran. Kiranya pada waktu itu raja yang memerintah adalah raja yang saleh (QS. Al-Kahfi: 20).
Di samping kisah-kisah tersebut, penggunaan abad juga digunakan di dalam kisah Nabi memboikot orang yang munafik dan tidak akan mengikut sertakan mereka di dalam peperangan bersamanya selama-lamanya (QS. At-Taubah: 83) dan QS. Al-Fath: 12). Janji orang munafik kepada orang Yahudi Madinah untuk membantu dan tidak akan meninggalkan mereka selama-lamanya (QS. Al-Hasyr: 11); Orang yang cinta dunia, tidak percaya akan baharunya alam, seperti seorang pemilik kebun yang mengira kesuburan kebunnya tidak akan hilang selamalamanya (QS. Al-Kahfi: 35).
Sikap Nabi Ibrahim as. dan pengikutnya memusuhi kemusyrikan selama-lamanya adalah suatu keteladanan. Sebab Ibrahim memerangi kemusyrikan tanpa penolong. Akan tetapi, ada hal yang dikecualikan dari keteladanan tersebut yaitu Ibrahim as. mendoakan ayahnya, Azar yang musyrik (QS. Al-Mumtahanah: 4).
Di samping penggunaan kata abad di dalam kalimat khabariyah di atas, ada juga yang digunakan pada kalimat insya'iyah di dalam bentuk nafi. Penggunaan bentuk ini berkaitan dengan beberapa hukum furu' (cabang), seperti: larangan menyembahyangkan jenazah orang munafik selamanya (QS. At-Taubah: 84); larangan shalat di masjid Dhirar selamanya (QS. At-Taubah: 108); larangan melakukan qadzaf dan larangan menerima persaksian orang yang melakukannya selama-lamanya. (QS. An-Nur: 4, 21); dan halangan menikah dengan istri Nabi selamanya, karena mereka adalah ibunya orang Mukmin (Ummul Mu'minin) sekalipun setelah wafatnya Rasulullah saw. (QS. Al-Ahzab: 53).
Dari beberapa variasi bentuk kalimat di atas, kata abad yang disebutkan sebanyak 28 kali dipahami di dalam dua makna "eternalitas" (kekekalan) yang permanen dan kekekalan yang terbatas. Eternalitas ke depan yang permanen adalah pengekalan yang baharu di akhirat untuk selama-lamanya. Kekekalan secara esensial seperti zat Allah disebut Baqi. [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 47-48-49, ditulis Ahmad Sudirman Abbas