Asal-usul thawaf ifadhah. Foto: istimewa |
Dutaislam.or.id - Kata afadha (أَفَاضَ) adalah fi'il madhi mazid (verba lampau bertambahan huruf). Mashdar-nya adalah ifadhah. Sedang akar katanya adalah fadha yang secara harfiah diartikan dengan 'melimpah'. Misalnya dikatakan fadh al-ma'u (air melimpah).
Selain itu, kata tersebut diartikan juga dengan ash-shabbu (pencurahan atau penuangan) atau ijra' al-ma'min 'uluww (mengalirkan atau mencurahkan, air dari atas). Air yang tercurah disebut juga melimpah. Apabila digunakan untuk kata yang menunjukkan perjalanan, maka kata fadha berarti 'bertolak atau berangkat dengan cepat'.
Baca: Penjelasan Berita yang Tidak Jelas Kebenarannya dalam Tafsir Al-Qur'an
Kata afadha (أَفَاضَ) dan semua kata yang seakar dengannya dijumpai pada sembilan tempat, yaitu lafal tafidhu (تَفِيضُ) di dalam (QS.Al-Ma'idah: 83) dan di dalam (QS.At-Taubah: 92); lafal afadha di dalam (QS. Al-Baqarah: 199); lafal afadhtum di dalam (QS.Al-Baqarah: 198) dan di dalam (QS. An-Nur: 14) lafal tufidhuna, di dalam (QS. Yunus: 61) dan (QS. Al-Ahqaf: 8); serta lafal afidhu di dalam (QS. Al-Baqarah: 199) dan di dalam (QS. Al-A'raf: 50).
Kata ifadhah populer digunakan berkaitan dengan ibahah haji, yakni Thawaf al-ifadhah, yang merupakan salah satu di antara enam rukun ibadah haji. Dinamainya tawaf ini dengan ifadhah karena para jamaah haji dapat melakukannya setelah bertolak dari Arafah.
Semua kata jadian dari akar kata fadha, afadhtum, afidhu, dan afadha yang terdapat di dalam (QS. Al-Baqarah [2]) pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, menunjuk kepada pembahasan pelaksanaan ibadah haji.
Lafal afadhtum dalam (QS. Al-Baqarah: 198), diartikan dengan bertolak, yakni bertolak dari Arafah setelah menunaikan wukuf sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji. Pada saat itu, para jamaah haji berbondong-bondong meninggalkan tempat tersebut bagaikan air yang melimpah karena sedemikian banyaknya orang.
Kata afidhu di dalam (QS. Al-Baqarah: 199) adalah bentuk kata kerja perintah, yakni perintah untuk bertolak. Ayat ini tidak menyebut dari tempat mana perintah bertolak itu dilakukan. Dalam hal ini, ada dua penafsiran terhadap 'tempat bertolak' yang dimaksud.
Pertama yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bertolak dari Arafah. Hal ini ditujukan kepada orang-orang Quraisy dan warga sekitarnya karena mereka tidak wukuf di Arafah bersama dengan manusia (para jamaah haji yang lain) dan tidak bertolak dari tempat itu. Mereka berkata, "Kami penduduk tanah haram, kami tidak keluar dari tempat ini". Mereka yang tinggal di Muzdalifah maka Allah perintahkan kepada mereka untuk berwukuf di Arafah dan bertolak dari tempat wukuf itu sebagaimana manusia (jamaah haji lainnya) bertolak dari tempat itu juga.
Kedua, bahwa tempat yang dimaksud dalam perintah bertolak sebagaimana disebutkan di dalam (QS. Al-Baqarah: 199) adalah dari Muzdalifah menuju ke Mina untuk melempar dan berkurban sebelum terbit matahari. Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Al-Jubba'i. Ia berargumentasi bahwa perintah untuk bertolak, tsumma afidhu ( kemudian bertolaklah) disebutkan setelah ayat, "faidza afadhtum min 'Arafat' (Maka apabila kamu bertolak dari Arafah). Namun, ia juga mengakui bahwa ifadhah baik dari Arafah maupun dari Muzdalifah, kedua-duanya wajib.
Kata tafidhu yang dikaitkan dengan kata ad-dam'u (air mata) diartikan dengan 'bercucuran'. Perangkaian kedua kata tersebut ditemukan di dalam Al-Qur'an pada dua tempat, yakni (QS. Al-Ma'idah: 83) dan (QS. At-Taubah: 92). Redaksi ayat pada surat yang disebutkan pertama ini menggambarkan adanya kerinduan seseorang terhadap kebenaran, dan perjuangan untuk menegakkan kebenaran.
Menurut Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, yang disebutkan di dalam ayat ini adalah kurrabin ya'ni fallahin (kaum lemah dari petani), mereka tiba di tempat Ja'far bin Abi Thalib, sepupu Nabi saw. datang dari negeri Habsyiah (sekarang = Ethiopia).
Baca: 9 Perbedaan tentang Makna 'Adna' Lebih Dekat dalam Tafsir Al-Qur'an
Ketika Nabi saw. membaca ayat-ayat Al-Qur'an, mereka lalu beriman dan bercucuran air mata mereka (karena kerinduan-nya kepada kebenaran). Setelah itu, Nabi saw. berkata kepada mereka, "La'allakum idza raja'tum ila ardhikum intaqaltum ila dinikum "(Boleh jadi jika kalian kembali ke kampung halaman, kalian berpindah agama). Mereka serentak menjawab, "Kami tidak akan berpindah kepada agama kami semula". Lalu, turunlah ayat menyambut ucapan mereka,
وَمَا لَنَا لَا نُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَمَا جَآءَنَا مِنَ ٱلْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَن يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلصَّٰلِحِينَ
"Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?". [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 55-56, Mujahid