Iklan

Iklan

,

Iklan

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34 (Kesetaraan Gender Perspektif Islam)

4 Des 2023, 08:46 WIB Ter-Updated 2024-08-06T21:27:36Z
Download Ngaji Gus Baha
kesetaraan gender dalam pandangan islam
Ilustrasi kesetaraan gender dalam pandangan Islam. Foto: istimewa.


Oleh Wijaksana Santosa


Dutaislam.or.id - Di era progresif saat ini, pembahasan tentang interaksi laki-laki dan perempuan seringkali menjadi objek perdebatan yang berkepanjangan. Selain dari perbedaan sudut pandang, adanya berbagai kepentingan merupakan asbab yang menjadikan pembahasan gender seperti lautan pembahasan yang tak bertepi. 


Bagi kalangan sekuler, gender dimaknai sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya. Sedangkan secara umum gender dipahami sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan kepada jenis kelamin, sebagaimana makna bahasa yang terdapat dalam KBBI. 


Adapun dalam artikel ini, penulis ingin membahas gender dalam kacamata Islam dengan mengutip QS. An-Nisa:34, dimana Allah SWT telah berfirman:

 

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ …


Terjemah:

"Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang salih, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)..." (QS. An-Nisa':34)

 

Analisa Ayat

Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini turun dalam kisah Sa'd bin ar-Rabi', ketika istrinya Habibah binti Zaid bin Kharijah membangkang terhadapnya kemudian dia menamparnya. Kemudian ayah dari istrinya menyampaikan hal ini kepada Rasulullah Saw, sehingga turunlah ayat tersebut. 


Ayat tersebut memiliki korelasi dengan ayat lain di dalam Al-Qur'an seperti yang terdapat dalam QS. ِAl-Baqarah [2]: 228, Allah SWT firmankan:


وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ


Terjemah:

"Tetapi para suami, mempunyai kelebihan di atas mereka".


Kosakata utama yang akan menjadi pembahasan dalam ayat tersebut adalah kata قَوَّ ٰ⁠مُونَ (qawwaamuuna) yang berasal dari kata قَوَّامٌ (qawwamun). Dalam kamus Al-Munawwir, kata tersebut mengandung arti yang menanggung, yang bertanggung jawab, amir, kepala, dan pemimpin. Adapun dalam Kitab Lisanul Arab dimaknai al-muhafadzah wal ishlah, yaitu menjaga dan memperbaiki.


Terkait dengan kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ, Ibnu Katsir menafsirkannya dengan mengatakan bahwa pria memiliki kedudukan yang tinggi atas perempuan, yaitu sebagai nabi, pemimpin, penguasa, dan pendidiknya ketika ia bengkok (dalam ketaatan), karena Allah melebihkan sebagian mereka atas yang lain, yaitu bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan. 


Demikian juga pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubi dengan mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin sekaligus pendidik wanita. 


Dari uraian tafsir tersebut, ada tiga hal yang menjadi fokus pembahasan, yaitu perkara keutamaan (tafdhil), tanggungjawab (taklif) dan sinergi antara keduanya. Terkait keutamaan (tafdhil), perbedaan gender Allah ciptakan dalam rangka memenuhi naluri laki-laki dan perempuan untuk memelihara keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini. 


Dalam tafsirnya, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa secara fisik laki-laki lebih cenderung pada kekerasan dan kekuatan (maskulinitas), sedangkan perempuan lebih cenderung pada kelembutan dan kelemahan (feminitas). Sehingga adalah hal yang wajar apabila pada aspek kepemimpinan laki-laki diutamakan karena kepemimpinan membutuhkan kekuatan fisik dan karakter yang keras untuk menghadapi berbagai ancaman dan gangguan fisik. 


Sedangkan perkara tanggungjawab (taklif), maka hal ini tidak bisa dipisahkan dengan perkara keutamaan (tafdhil), karena tanggungjawab ini lahir dari keutamaan yang telah Allah SWT berikan. Dengan kata lain, tafdhil yang ada pada laki-laki berkonsekuensi logis terhadap taklif yang dibebankan kepadanya. Kerasnya laki-laki bertanggungjawab dalam menjaga lembutnya perempuan dan kuatnya laki-laki bertanggungjawab menjaga lemahnya perempuan. Dari sini bisa dimengerti kenapa Allah SWT menyebutkan laki-laki pemimpin bagi perempuan karena laki-laki bertanggung jawab untuk menjaga keamanan, kesucian, kemuliaan dan ketakwaan perempuan.


Adapun sinergitas keduanya terangkum dalam frasa min nafs wahidah sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Araf[7]:189 dan frasa sakinah mawaddah warrahmah sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ar-Rum:21, dimana makna as-sakn yang ada dalam 2 ayat tersebut bermakna الاطمئنانا (al-ithmi'nanan), yaitu ketentraman dan kedamaian yang merupakan watak asli dari sebuah perkawinan dimana suami istri akan saling membutuhkan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas ketika memaknai QS. Al-Baqarah[2]:228 dalam tafsir Al-Qurthubi. Beliau berkata:


لَهُنَّ مِنْ حُسْنِ الصُّحْبَةِ وَالْعِشْرَةِ بِالْمَعْرُوفِ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ من الطاعة فيما أوجبه عليهن لأزواجهن


Terjemah:

"Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka".


Kontekstualisasi Ayat

Dalam konteks kekinian, di saat berbagai aspek kehidupan didominasi oleh sistem sekuler liberal, perbedaan gender dipahami sebagai ajang kompetisi untuk mendapatkan kehidupan dunia yang lebih layak. Dimana jenis kelamin laki-laki dipandang memiliki akses lebih dominan untuk hidup layak dibanding pihak perempuan. 


Hal ini tentu menyebabkan perlawanan dari pihak perempuan yang merasa perlu untuk mendapatkan “keadilan gender”. Pihak perempuan merasa hanya menjadi objek penderita saja. Pada titik ini kontekstualisasi ayat dengan pendekatan yang tepat sangat dibutuhkan.


Perbedaan gender sebagai konsep laki-laki sebagai pemimpin harus diterjemahkan sebagai kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Pasangan suami-istri harus bekerja sama dalam mengambil perannya masing-masing sesuai dengan fitrahnya. 


Suami pemimpin dalam menjaga keberlangsungan keluarga, mencari nafkah, menetapkan keputusan, dan mencapai tujuan bersama agar keluarganya selamat dari jilatan api neraka serta kewajiban berjihad dalam memerangi musuh di medan peperangan. 


Sementara itu, seorang istri adalah ummun wa rabbatul bait, yaitu manager di rumahnya dalam mengelola dan menjaga aset-aset keluarga. Hubungan diantaranya bukan dalam arti atasan dan bawahan, tapi lebih ke persahabatan sejati antara laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan untuk membangun keharmonisan keluarga dalam menghadapi berbagai macam tantangan dalam mengarungi bahtera kehidupan menuju kepada pulau kebahagiaan di dunia maupun akhirat. 


Dalam konteks kesetaraan gender yang terus berkembang, aspek kepemimpinan dalam rumah tangga adalah peran yang harus diemban bersama oleh suami dan istri, di mana masing-masing saling membutuhkan tidak bisa berdiri sendiri. 


Ayat-ayat dalam Surat An-Nisa' tidak mengesampingkan hak dan tanggung jawab wanita. Prinsip-prinsip cinta, keseimbangan, dan saling mendukung adalah dasar bagi keluarga yang bahagia. Islam telah menetapkan kemuliaan seorang manusia tidak didasarkan atas perbedaan gender namun kepada sejauh mana seorang laki-laki dan seorang perempuan memiliki ketaatan kepada Allah SWT. Wallahu a’lam. [dutaislam.or.id/ab]


Wijaksana Santosa, mahasiswa PTIQ, Peneliti Tafsir Al-Qur'an. Tinggal di Serang, Banten


Daftar Pustaka:

  1. Munawir, A.W. Kamus Al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresif. 1997. h. 1174
  2. Syaikh, Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu. Lubabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Jakarta: Pustaka Imam Syafe'i. 2009. h. 299
  3. Al-Qurthubi. Al-jami li ahkam al-qur’an al-karim. Al-Misri Al-Jadidah: Daar Ar-rayan Liturots. h. 1738


Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha