![]() |
Foto KH. Chabibullah Idris saat mendoakan Presiden Jokowi. Foto: istimewa. |
Oleh karena itu, figur seperti Mbah Habib sangat dibutuhkan, baik oleh Nahdlatul Ulama (NU) maupun oleh bangsa Indonesia. Dalam sambutan pelepasan atas nama keluarga di halaman Masjid Al-Manshur, H. Abdul Kholiq Arif menyebutkan bahwa Mbah Habib lahir pada 20 Agustus 1941. Ayahnya, Kiai Idris, adalah seorang ulama terkenal di Jawa Tengah yang turut serta dalam perumusan Resolusi Jihad pada 21-22 Oktober 1945.
Sebagai putra dari seorang kiai dan pejuang, sejak kecil Mbah Habib mendapatkan pendidikan agama yang mendalam serta karakter pejuang yang cinta tanah air. Pada masa remajanya, beliau menuntut ilmu di Pondok Pesantren Krapyak dan Bangilan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren, Mbah Habib kembali ke Wonosobo pada tahun 1962 dan mulai aktif di organisasi Ansor dan NU. Bersama KH. Muntaha al-Hafiz, beliau dengan tekun mengunjungi setiap pelosok desa di Wonosobo untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjadi bagian dari NU dan Indonesia.
Dengan bekal ilmu yang dimilikinya, Mbah Habib aktif dalam organisasi baik yang bersifat religius maupun nasionalis. Bersama Mbah Mun, beliau berupaya keras untuk memperbaiki dan meningkatkan pendidikan warga Wonosobo. Dari perjuangan mereka, berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal didirikan di Wonosobo. Pada era 1960-an, warga Wonosobo, terutama yang tinggal di pedesaan dan tergabung dalam NU, masih banyak yang tertinggal dalam bidang ekonomi dan pendidikan formal.
Mbah Habib bertekad menghapuskan ketertinggalan ini. Mengapa warga NU dianggap tertinggal? Karena pada saat itu, akses pendidikan formal belum merata di kalangan warga NU. Bukan karena mereka lebih memilih mengirim putra-putrinya ke pesantren untuk mendalami ilmu agama, tetapi karena NU belum memiliki banyak lembaga pendidikan formal yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum yang aplikatif.
Untuk mewujudkan ide dan gagasan tersebut, Mbah Habib mendirikan beberapa sekolah dan madrasah di hampir setiap kecamatan di Wonosobo. Pada tahun 1967, bersama Mbah Mun, Kyai Chozin Choms, Kyai Rusbar Rohmat, Kiai Syukur, dan tokoh lainnya, beliau berhasil mendirikan 24 taman kanak-kanak (TK), 50 Madrasah Wajib Belajar (MWB, kini Madrasah Ibtidaiyah), dan 11 Madrasah Mualimin.
Bersama Mbah Mun, beliau juga menggagas pendirian Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Wonosobo pada tahun 1977, yang membuka Fakultas Tarbiyah dan Syari’ah serta menggabungkan kurikulum pesantren dengan kurikulum umum. Sejak saat itu, NU di Wonosobo semakin maju di bidang pendidikan. Namun, keberadaan kampus tersebut tidak berlangsung lama dan akhirnya ditutup. Mbah Habib tidak hanya terlibat dalam pendirian sekolah/madrasah yang berbasis pendidikan agama, tetapi juga sekolah umum murni.
Pada tahun 2012, Pangdam Diponegoro pernah berencana mendirikan tugu pahlawan di Kecamatan Kepil sebagai penghargaan atas perjuangan masyarakat Kepil yang menjadi markas pasukan Hizbullah-Sabilillah dan tempat konsolidasi TNI serta laskar rakyat lainnya pada masa revolusi fisik dan agresi militer Belanda, 1948-1949.
Namun, Mbah Habib menolak rencana tersebut dan meminta agar masyarakat Kepil diberikan hadiah berupa sekolah. Akhirnya berdirilah SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, kini SMP Negeri Kepil). Menurutnya, tugu hanyalah benda mati yang manfaatnya lebih kecil dibandingkan sekolah yang akan dinikmati sepanjang masa.
Pelopor Pendidikan di Wonosobo
Bersama sahabat karibnya, Mbah Muntaha, beliau mendirikan berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal. Keprihatinan mereka berdua terhadap kondisi warga NU di Wonosobo, yang kerap menghadapi berbagai masalah, mendorong keduanya untuk bergerak. Diskusi panjang yang melibatkan berbagai tokoh menghasilkan keputusan penting dalam Konferensi Cabang PCNU Wonosobo Tahun 1971, yang mengangkat Mbah Muntaha sebagai Rois Syuriah dan Mbah Habib sebagai Ketua Tanfidziyah. Kepemimpinan mereka membawa NU Wonosobo tumbuh dan berkembang, terutama di era Orde Baru.
Di bawah kepemimpinan Mbah Mun dan Mbah Habib, PCNU Wonosobo mengalami kemajuan pesat. Kepengurusan ranting NU terbentuk secara solid di seluruh pelosok desa, dan madrasah serta sekolah Ma’arif mulai berdiri di berbagai tempat. NU Wonosobo mulai dikenal sebagai organisasi yang serius dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) anggotanya, yang oleh Mbah Habib disebut sebagai proses kaderisasi berkelanjutan untuk memperkuat “hamasyah nahdliyah wal wathaniyah” (komitmen ke-NU-an dan kebangsaan).
Pada tanggal 30 Januari 1988, Mbah Habib bersama Mbah Muntaha, para ulama, pejabat Provinsi Jawa Tengah, dan pejabat Kabupaten Wonosobo mendirikan IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) Jawa Tengah di Wonosobo, yang kemudian menjadi UNSIQ (Universitas Sains Al-Qur’an) Jawa Tengah dengan puluhan jurusan di dalamnya. Hingga akhir hayatnya, Mbah Habib masih aktif sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (YPIIQ) yang menaungi UNSIQ.
Sebagai Ketua Yayasan Al-Asy’ariyah, Mbah Habib juga berperan dalam pendirian dan pengembangan berbagai sekolah di bawah naungan PPTQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, termasuk SMP dan SMA Takhassus Al-Qur’an (1989), SMK Takhassus Al-Qur’an (2002), serta SD Takhassus Al-Qur’an (2002). Setelah Mbah Mun wafat pada tahun 2004, Mbah Habib terus berjuang mendampingi para kadernya dalam mendirikan lembaga pendidikan lainnya, seperti SMP-SMK Nusantara, SMK Andalusia, TK, dan SD-SMP Al-Madina Wonosobo.
Mbah Habib begitu gigih dalam memperjuangkan pendidikan karena beliau percaya bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan peradaban. Beliau sering memotivasi para santrinya dengan ungkapan “khairunnas yamsyi ‘ala wajhil ardhi al-mu’allim, sebaik-baik umat yang berjalan di muka bumi adalah pendidik,” karena para pendidik adalah mereka yang mengajarkan pengetahuan demi kemakmuran dan kemajuan umat.
Dalam sebuah sarasehan dengan Tim Kaderisasi PC GP Ansor Wonosobo pada 7 Desember 2014, Mbah Habib menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana kaderisasi. Beliau menegaskan bahwa kaderisasi harus melibatkan pendidikan formal dan madrasah milik NU, seperti MI, MTs, Madin, dan TPQ. Mbah Habib pernah marah ketika ada pengurus LP Ma’arif yang menolak proses kaderisasi, namun akhirnya kemarahan beliau membuahkan kesadaran dan penerimaan.
Kepedulian Mbah Habib terhadap pendidikan tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata. Beliau melihat bahwa pada era 1970-an, Kecamatan Garung, Mojotengah, dan Kalikajar mengalami kemerosotan pendidikan. Warga NU di daerah tersebut enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Namun, melalui perjuangan panjang, kesadaran akan pentingnya pendidikan akhirnya tumbuh di kalangan mereka. Mbah Habib menekankan bahwa NU harus mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan formal untuk mencetak kader-kader yang kuat dalam prinsip-prinsip Aswaja dan NU.
Tanpa mengabaikan peran tokoh-tokoh lain, Mbah Habib dapat dianggap sebagai pelopor dalam meningkatkan kesadaran pendidikan di kalangan warga NU Wonosobo. Kontribusi beliau sangat besar bagi kemajuan NU Wonosobo dan bangsa Indonesia. Pada Sabtu, 23 Desember 2017, pukul 02.30, warga NU Wonosobo dikejutkan oleh kabar wafatnya Mbah Habib pada usia 81 tahun. Semoga amal jariyah beliau terus mengalir di alam keabadian.
“Mautul ‘alim mautul ‘alam, wafatnya seorang ‘alim ibarat matinya jagat raya.” Ucapan Sayyidina Umar bin Khattab RA ini tepat untuk menggambarkan sosok Mbah Habib. Hingga saat ini, para murid masih merasakan kehadiran beliau yang terus membimbing dan menuntun kita semua. Pekik merdeka-nya terus terngiang di telinga.
Mbah Habib adalah pelita penerang bagi warga NU dan umat Islam, panutan dalam menjalani kehidupan. Kealiman, kerendahhatian, dan keteladanan Mbah Habib selalu tertanam di hati sanubari para santri dan umat Islam.
Sebagai Ketua MUI Jawa Tengah, Mbah Habib sangat peduli terhadap dunia pendidikan. Melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor: 041.042.043/Tanda Kehormatan/2009, Mbah Habib dianugerahi tanda Jasa Nararya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sabtu, 15 Agustus 2009. Penghargaan ini diberikan atas kontribusi, jasa, peran, dan kepedulian beliau terhadap pendidikan dan kemanusiaan.
Mbah Habib tidak hanya fokus pada kemajuan pendidikan, tetapi juga memberikan tenaga, pikiran, dan hartanya untuk mencapai harmoni kehidupan dan kemanusiaan demi tegaknya NKRI dalam bingkai keragaman. Banyak tokoh agama lain sering berkunjung ke beliau untuk meminta nasihat dan bimbingan. Tak heran jika sejak tahun 2013, Wonosobo dicanangkan sebagai Kabupaten Ramah HAM oleh Bupati Kholiq Arief.
Inspirasi Wonosobo sebagai kota ramah HAM didasarkan pada keyakinan bahwa Wonosobo layak dihuni oleh semua golongan dengan pelayanan kebutuhan dasar yang sama. Berbagai komunitas hidup berdampingan di kota kecil ini, termasuk pemeluk Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Ahmadiyah, dan Syiah, tanpa adanya diskriminasi. Di Wonosobo, tidak ada konsep minoritas atau mayoritas.
Mbah Habib pernah menyampaikan pandangannya, “Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, saat ada beda tafsir, semisal Syiah dan Ahmadiyah, saya berikan pemahaman pada masyarakat. Kita kembali kepada misi kemanusiaan, bahwa semua manusia, apa pun jenis kelaminnya, warna kulitnya, atau derajatnya, adalah sama dari sisi kemanusiaan.”
Dalam sebuah acara tatap muka dan buka puasa bersama Kapolres Wonosobo dengan tokoh agama se-Kabupaten Wonosobo di Pesantren Al-Mubarrok Manggisan pada Kamis, 8 Juni, Mbah Habib juga menekankan pentingnya menjaga keanekaragaman dan persatuan di Indonesia di bawah ideologi Pancasila.
Meskipun Mbah Habib hanya memperoleh pendidikan di pesantren, wawasannya sangat luas dan kosmopolit. Beliau mampu menerapkan prinsip-prinsip universal ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa memandang asal-usul, ras, atau golongan. Baginya, hakekat ilmu adalah rasa bodoh dan rasa ingin tahu yang tinggi, “ghayatul ‘ilmi al-jahlu,” puncak pengetahuan ada pada ketidaktahuan yang terus-menerus. Artinya, seseorang yang cinta ilmu tidak akan pernah puas dan berhenti belajar. Inilah yang mengajarkan kepada kita pentingnya pendidikan sepanjang hayat, seperti yang disabdakan Nabi, “utlubul ilma mina-l mahdi ila-l lahdi,” carilah ilmu dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Pesan ini disampaikan oleh Mbah Habib dalam sambutannya di Muskercab PCNU Wonosobo pada Ahad, 17 Desember.
Bagi kita semua, Mbah Habib adalah pengayom dan pelindung semua golongan dalam harmoni dan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka!
Bagi warga NU Wonosobo, wafatnya Mbah Habib adalah kehilangan yang mendalam. Setelah meninggalnya Mbah Muntaha pada 29 Desember 2004, Mbah Habib menjadi satu-satunya sosok yang selalu mendampingi perjalanan dan dinamika NU Wonosobo. Para pengurus PCNU, baik syuriah maupun tanfidziyah beserta badan otonomnya, menjadikan Mbah Habib sebagai rujukan utama dalam menjalankan roda organisasi. Hal ini sangat mungkin karena beliau telah terlibat dalam perjalanan PCNU sejak tahun 1962, menghadapi segala pahit getirnya. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Artikel biografi ini diolah dari tulisan santri mustami' 1996 KH. Chabibullah Idris.