Iklan

Iklan

,

Iklan

Biografi KH. Hasyim Sholeh: Ulama Berpengaruh di Ponorogo

Duta Islam #05
22 Agu 2024, 13:01 WIB Ter-Updated 2024-08-22T06:22:24Z
Download Ngaji Gus Baha
biografi kh hasyim sholeh ponorogo jatim
Foto KH. Hasyim Sholeh Ponorogo.


Dutaislam.or.id - KH. Hasyim Sholeh adalah seorang ulama yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Ponorogo dan sekitarnya. Beliau dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, Ponorogo, serta sebagai pejuang Dzikrul Ghofilin dan sema’an Mantab di daerah tersebut. 


KH. Hasyim Sholeh dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, tidak suka menonjolkan amal ibadahnya, dan selalu berjuang demi kepentingan akhirat dan santri-santrinya. Akhlak mulia dan tekad kuat yang dimilikinya diwarisi dari Mbah Nur Fadhil Gentan Ponorogo. KH. Hasyim lahir pada tahun 1939 dari pasangan KH. Husain dan Hj. Sufiah.


Pendidikan

Pendidikan KH. Hasyim Sholeh dimulai dari Sekolah Dasar di lingkungannya. Sejak kecil, beliau menunjukkan tekad kuat untuk menuntut ilmu, bahkan saat luka khitannya belum sepenuhnya sembuh, beliau berusaha agar cepat sembuh dengan memakan makanan pedas dan menaburi lukanya dengan garam. 


Setelah Idul Fitri, KH. Hasyim berangkat untuk belajar di Jampes, Kediri. Selama masa mondok, beliau mencurahkan seluruh tenaga dan waktunya untuk mengaji dan mengamalkan ilmunya, bahkan beliau bernadzar untuk tidak pulang ke Mayak sebelum berhasil menyelesaikan pendidikannya.


KH. Hasyim Sholeh memiliki cara belajar yang unik. Setelah shalat Subuh, beliau sering pergi ke kebun untuk belajar hanya beberapa menit, tetapi beliau mampu memahami pelajaran dengan sangat baik. Beliau juga sering melakukan tirakat seperti puasa mutih, ngrowot (makan umbi-umbian), dan patigeni. 


Setelah menyelesaikan mondok, KH. Hasyim kembali ke Ponorogo dan melaksanakan puasa mutih selama tujuh hari, di mana pada hari terakhir beliau lupa untuk makan sahur dan akhirnya pingsan karena kelelahan.


Dalam kondisi antara sadar dan tidak, KH. Hasyim bermimpi bahwa bumi Mayak tertimpa Ka’bah dari langit dan ada cahaya terang melayang di atasnya. Beliau berusaha menangkap cahaya tersebut tetapi tidak berhasil. 


Setelah sadar, beliau segera menemui seorang kiai untuk menanyakan arti mimpinya. Kyai tersebut menjelaskan bahwa Ka’bah yang jatuh di bumi Mayak menandakan bahwa kelak Mayak akan menjadi kiblat ilmu agama, sebagaimana Ka’bah menjadi kiblat dalam shalat.


Pondok Pesantren Darul Huda

Setelah pulang dari mondok, KH. Hasyim Sholeh rutin mengajar di sekolah diniyah di Mayak Kulon pada malam hari. Beberapa tahun kemudian, banyak santri yang ingin belajar sehingga sekolah diniyah dipindahkan ke Mayak Wetan dan kegiatan belajar-mengajar dilakukan pada sore hari. Salah satu santri, Boiman, memutuskan untuk tinggal di Mayak dan sedikit demi sedikit semakin banyak santri yang mengikuti jejaknya. Akhirnya, berdirilah sebuah pondok kecil di selatan Masjid Mayak.


KH. Hasyim Sholeh berjuang keras untuk mengembangkan pondok tersebut dengan berbagai cara, seperti bertani, berdagang, dan berkebun. Beliau bahkan meminta sumbangan dari berbagai pihak, tetapi selalu berpesan agar hanya dirinya yang merasa malu meminta-minta, dan tidak ingin anak cucunya mengalami hal yang sama. Usahanya tidak sia-sia, kini Pondok Pesantren Darul Huda Mayak telah berkembang pesat.


Mbah Hasyim terkenal dengan tekad gigihnya dalam mencapai tujuan mulianya. Saat membangun gedung madrasah, beliau bahkan membuka usaha "ingkung" yang menghasilkan lebih dari 5.000 ingkung untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan. Beliau melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan untuk menjadi distributor usaha tersebut. Mbah Hasyim selalu bersikap arif dan bijaksana dalam bertransaksi, dengan menerapkan cara pembayaran yang fleksibel, baik di muka, belakang, atau diangsur.


Pelopor Dzikrul Ghofilin

Dzikrul Ghofilin adalah amalan yang diperkenalkan oleh KH. Hamim Djazuli (Gus Miek). Di Ponorogo, KH. Hasyim Sholeh lah yang memperjuangkan amalan ini, bahkan dapat dikatakan beliau adalah pelopor aurod Dzikrul Ghofilin di daerah tersebut. Meski pada awalnya amalan ini mendapat berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif, perlahan-lahan Dzikrul Ghofilin diterima oleh masyarakat Ponorogo.


Pada tahun 1986, KH. Hasyim Sholeh mendapatkan ijazah Dzikrul Ghofilin. Pada awalnya, banyak yang menganggap bahwa Dzikrul Ghofilin adalah amalan baru yang perlu diverifikasi. 


Namun, setelah dipahami lebih dalam, ternyata esensi dari Dzikrul Ghofilin tidak ada yang baru, melainkan hanya penamaan yang berbeda dari bacaan-bacaan yang sudah dikenal seperti Surat Al-Fatihah, Asmaul Husna, Istighfar, dan Shalawat.


Lambat laun, Dzikrul Ghofilin diterima di tengah masyarakat, dan kini setiap malam Jum'at Kliwon, ribuan orang memadati makam Tegal Sari untuk mengikuti kegiatan rutin Aurod Dzikrul Ghofilin.


Kewalian KH. Hasyim Sholeh

Ada sebuah ungkapan yang masyhur di kalangan umat Islam: "Tidak akan bisa mengetahui kewalian seseorang kecuali seorang wali." Menurut sebuah riwayat, KH. Hasyim Sholeh memang seorang waliyullah. Hal ini diceritakan oleh KH. Tajuddin Heru Cokro, yang pernah sowan kepada Mbah Mubasyir Mundzir di Bandar Kidul. 


Suatu malam, KH. Hasyim bersama Gus Tajuddin dan Kiai Man Hamim sowan kepada Gus Miek di Makam Tambak. Setelah pagi tiba, Gus Miek menanyakan apakah mereka sudah mengantar KH. Hasyim sowan kepada Mbah Abdul Qodir Khoiri, namun mereka belum melakukannya karena berbagai alasan.


Malam berikutnya, mereka bertiga sowan kepada Mbah Mundzir. Mbah Mundzir mengenali KH. Hasyim meskipun KH. Hasyim belum pernah sowan sebelumnya. Dalam pertemuan itu, Mbah Mundzir meminta Gus Tajuddin menulis nama-nama wali di seluruh dunia yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, termasuk nama KH. Hasyim. Hal ini mengindikasikan bahwa KH. Hasyim termasuk dalam golongan wali Allah.


Akhir Hidup KH. Hasyim Sholeh

Setelah berjuang melawan sakit yang dideritanya, KH. Hasyim Sholeh meninggal dunia pada hari Sabtu, 13 Desember 2003 M, bertepatan dengan 18 Syawal 1424 H. Saat itu, seluruh umat Islam sedang merayakan Idul Fitri, namun masyarakat Ponorogo merasa kehilangan yang mendalam atas kepergian seorang panutan yang sangat mereka hormati. 


Pada saat pemakaman, langit seolah ikut berduka. KH. Hasyim meninggalkan warisan besar bagi umat Islam, yaitu Pondok Pesantren Darul Huda yang tercinta. [dutaislam.or.id]

Iklan