Iklan

Iklan

,

Iklan

Keadilan dalam Berpoligami Menurut Quraish Shihab (Tafsir An-Nisa Ayat 3 dan 129)

Duta Islam #05
6 Agu 2024, 11:00 WIB Ter-Updated 2024-08-06T04:00:44Z
Download Ngaji Gus Baha
tafsir ayat poligami menurut surat an nisa 3
Ilustrasi tafsir ayat poligami. Foto: istimewa.


Oleh St. Nur Hafidzah


Dutaislam.or.id - Poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana kata poli berarti banyak dan gamien berarti perkawinan. Pernikahan mempunyai banyak arti, antara lain: seorang laki-laki mengawini banyak isteri atau sebaliknya, seorang perempuan mengawini lebih dari satu laki-laki atau banyak pasangan laki-laki dan perempuan yang menikah. (Bibit Suprapto, 1990:11)


Poligami bukanlah permasalahan baru namun permasalahan ini sudah ada sejak lama, bahkan sebelum lahirnya Islam yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw. Permasalahan ini sudah menjadi hal yang umum di semenanjung Timur Tengah, Islam membatasi poligami dengan menikahi maksimal empat perempuan, tidak lebih. (Musda Muliah, 1999:3).


Kontroversi poligami semakin mengemuka dan menarik perhatian seiring praktik poligami yang dilakukan secara terbuka oleh para tokoh masyarakat, mulai dari pengusaha, politisi, tokoh agama, hingga ulama. Poligami kemudian menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sehingga mewarnai perbincangan masyarakat. Banyak isu terkait poligami yang selalu menarik perhatian perempuan yang tidak menyukai poligami dan menganggapnya membahayakan status dan perannya sebagai istri, berbeda dengan dunia laki-laki, sebagian besar dari mereka ikut serta di dalamnya.

 

Poligami seringkali dianggap tidak adil atau dianggap kontroversial mengenai apakah dapat memberikan perlakuan adil bagi istri. Hal ini mencakup kesetaraan perlakuan, khususnya bagi istri. Dalam hal ini, perlu ditegaskan kesetaraan dalam perlakuan terhadap istri yang berpoligami, baik terkait hak hukum dan finansial maupun dalam hal perawatan dan kasih sayang.


Menurut Musda Mulia, poligami dilakukan atas dasar penderitaan masyarakat Islam yang kalah dalam Perang Uhud. Saat itu, banyak orang yang tewas di medan perang sehingga jumlah janda pun bertambah. Situasi ini menuntut penyelamatan para janda dan anak-anak mereka dengan melegalkan poligami bagi laki-laki yang masih hidup. Kemampuan melakukan poligami merupakan prasyarat mutlak bagi legalisasi masyarakat yang memerlukan tindakan tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa poligami pada waktu itu adalah poligami, tidak konstitusional tetapi merupakan aturan pilihan. (Musdah Mulia, 1999: 4)


Menurut al-Baidhawi, al-adl berarti di tengah dan seimbang, pemerataan. (Al-Ashfahani, 1969: 325). Al-Quran juga menekankan keadilan sebagai prinsip yang harus diikuti setiap orang dalam segala aktivitas kehidupan. Keadilan adalah kebajikan yang paling dekat dengan ketakwaan, karena kebenaran adalah cerminan kesalehan.


Ketika M. Quraish Shihab menafsirkan surah An-Nisa' ayat 3 dan 129:


وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ


Terjemahnya: 

"Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak Perempuan yatim bilamana kamu menikahinya, nikahilah Perempuan yang lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, akan tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya Perempuan yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim".


Dia menyatakan bahwa keadilan dalam poligami memiliki banyak sudut pandang, yang dihubungkan dengan ayat 3 surat al-Nisa/4, terutama ayat 2 yang berkaitan dengan keadilan terhadap anak yatim. Menurutnya, penyempitan konsep keadilan hanya dalam konteks perlakuan terhadap istri merupakan permasalahan, karena menurutnya keadilan dalam poligami juga berhubungan dengan keadilan terhadap anak yatim. Selain itu, menurut pandangannya, keadilan dalam poligami juga melibatkan aspek-aspek lain yang tidak boleh diabaikan, seperti cinta dan kasih sayang (M.Quraish Shihab, 2012: 166).


M. Quraish Shihab mendasarkan pendapatnya pada Surah Annisa ayat 129


وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا


Terjemahnya: 

"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, oleh karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyanyang"


Sempitnya rasa keadilan yang hanya bisa dipahami sebagai keadilan dalam cara seseorang memperlakukan istrinya, menjadi masalah. Quraish Shihab mengatakan, keadilan dalam poligami juga merupakan keadilan bagi anak yatim. Lebih lanjut, keadilan dalam poligami menurut Quraish Shihab adalah keadilan dalam bidang jaringan yang tidak bisa diabaikan (seperti cinta, kasih sayang). Quraish Shihab memberikan pendapatnya berdasarkan ayat 129 surat Annisa di atas. 


Ayat tersebut menekankan bahwa sebagai suami, Anda tidak akan pernah bisa berlaku adil, yaitu Anda tidak akan mampu secara sistematis mewujudkan keadilan dalam urusan cinta antara istri-istri Anda, sekalipun Anda sungguh-sungguh ingin melakukannya, karena cinta lebih dari yang bisa ditangani manusia. Keadilan yang disebutkan dalam ayat di atas adalah keadilan dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan cinta dan kasih sayang. (M.Quraish Shihab, 2000: 581).


Menurut Quraish Shihab, keadilan ini tidak dapat dicapai oleh manusia. Oleh karena itu, suami yang melakukan monogami disebut-sebut tidak mengejar nafsunya dan cenderung lebih condong kepada orang yang dicintainya. Dengan pemahaman tersebut, Quraish Shihab tidak ingin menyampaikan bahwa jika seseorang sudah yakin akan kemampuannya dalam berlaku adil dalam hal materi, maka poligami dianjurkan, karena poligami masih memiliki banyak syarat yang harus dipenuhi. (M.Quraish Shihab, 2010).


Keadilan yang ingin disampaikan oleh Quraish Shihab tidak serta merta berbicara tentang keadilan batin, seperti cinta dan kasih sayang, karena keadilan dalam cinta dan kasih sayang tidak mungkin terukur, melainkan keadilan yang ingin disampaikan oleh Quraish Shihab adalah keadilan yang dapat diukur. Meskipun ayat ini menegaskan bahwa keadilan absolut tidak dapat dicapai, hal tersebut tidak menjadi alasan untuk melarang poligami. Oleh karena itu, kalimat tersebut juga bukan menjadi alasan untuk menutup atau melarang poligami.


Definisi yang diberikan oleh Quraish Shihab tentang keadilan dalam poligami menjadi salah satu alasan mengapa dia menolak gagasan untuk menutup poligami. Poligami tidak bisa dilarang secara tegas, mengingat berbagai permasalahan spesifik yang mungkin timbul jika seseorang tidak melakukan poligami. Kemudian dia menegaskan, poligami ibarat pintu darurat di pesawat yang hanya bisa dibuka dalam situasi yang sangat mendesak dan setelah mendapat izin dari pilot.


Beberapa pandangan juga menegaskan bahwa prinsip keadilan bukan sekadar keadilan kuantitas, seperti dukungan materi berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, atau rotasi waktu antar istri (Nova Helida, 2011: 36). Pandangan ini didukung oleh Al-Dlahak dan kelompok ulama lainnya, yang menegaskan bahwa tujuan keadilan dalam poligami adalah keadilan dalam segala hal, baik yang bersifat fisik (kebutuhan yang berkaitan dengan rasa aman) maupun yang bersifat tidak berwujud, yaitu perasaan.


Dari artikel ini, dapat disimpulkan bahwa poligami bukanlah sesuatu yang haram atau suatu anjuran untuk dilakukan, karena dalam hal ini poligami memiliki kriteria yang harus dipenuhi untuk memungkinkan dilakukannya. Hal ini tidak hanya berdasarkan pada hawa nafsu atau keinginan belaka, melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti keadilan, tanggung jawab, dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat. [dutaislam.or.id/ab]


St. Nur Hafidzah, mahasiswi Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal


Referensi:

  • Al-Asfahani, Abu Qasim Abu al-Husain bin Muhammad Ar-Ragib, Al-Mufradat fii Garib Al-Qur’an, Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1961.
  • Helida, Nova. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Yang Disebabkan Ketiadaan Izin Isteri Pertama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 822/Pdt.G/ 2004/PA. Dpk), Depok: Universistas Indonesia: 2011.
  • Muliah, Musdah. Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, The Asia Foundation, Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999. 
  • Shihab, M. Quraish. Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur’an, Tanggerang: Lentera Hati, 2012.
  • ----------------------- Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam. Diakses dari Namba Wordpress.
  • ----------------------- Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati, 2000.
  • Suprapto, Bibit. Liku-Liku Poligami,Yogyakarta: al-Kautsar, 1990.


Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha