Ilustrasi arah politik santri di Pilkada Jepara. Foto: istimewa. |
Oleh Dr. Muh Khamdan
Dutaislam.or.id - Pendaftaran kandidat pemilihan kepala daerah (pilkada) menuju kursi bupati dan wakil bupati Jepara sudah selesai. Terdapat dua pasang kandidat setelah menggugurkan puluhan kontestan yang sebelumnya “melamar” lewat berbagai partai. Layaknya sebuah film laga kolosal, sejumlah jurus politik baik senyap maupun terang benderang pun sudah dipertontonkan.
Jepara adalah kota yang memiliki keunikan dalam sisi perpolitikan. Bayangkan, saat PPP yang identik sebagai “rumah besar” kaum santri tidak lolos ke parlemen di Senayan, partai ini justru menjadi pemenang di tingkat lokal. Persoalannya, pilkada sebagai ajang pemilihan bupati dan wakil bupati jelas berbeda dengan pilihan legislatif karena tergantung profil dari setiap pasangan itu sendiri.
Tak heran jika dalam kontestasi pilkada sering terjadi strategi membuat pamor kandidat melorot bagai layangan putus. Dalam ilmu politik dikenal sebuah ungkapan dari si Bapak Licik bernama Machiavelli, terserah caranya yang penting menang. Atau dalam ungkapan lain disebutkan bahwa politik bukanlah soal benar atau salah, tetapi soal menang atau kalah.
Lawan dari model politik Machiavelli sesungguhnya adalah kalangan santri. Di era politik yang semuanya seolah bisa dibayar, kalangan santri yang benar-benar menjaga identitas santri, tentu memiliki kejernihan fikir dalam menentukan sekaligus menyuarakan politik yang benar. Sebutlah politik “amar makruf nahi munkar”, bukan politik mana yang berani bayar besar.
Baca: Soal Kekuasaan, Anda Pilih Imam Ghazali atau Machiavelli yang Halalkan Segala Cara?
Kelompok santri tentu lebih faham bahwa yang lebih penting bukan seberapa manfaat yang dijanjikan kandidat, tapi seberapa besar kerugian yang bisa dihindarkan dari kandidat tertentu. Isu pembangunan dari hasil perjudian misalnya, atau isu minuman keras untuk peningkatan pariwisata contohnya, menjadi gambaran untuk menguji sikap politik kaum santri.
Sebaliknya bagi para pengikut Machiavelli, sekali lagi tidak penting benar dan salah karena yang penting menang. Meski kemenangan itupun harus kerjasama dengan mafioso bandar judi, pemasok minuman keras, pengelola hiburan “esek-esek”, bahkan mengakali anggaran umat untuk membeli suara rakyat.
Kantong-kantong basis kaum santri setidaknya dapat dilihat dari jejaring alumni pesantren di Jepara. Untuk menyebut santri Sarang sebagai perikatan ideologis PPP misalnya, tak bisa melupakan keberadaan Santri Gayeng Nusantara (SGN) yang di Jepara dikomandoi oleh Fatkhurrohman.
Sosok asal Blingoh, Donorojo itu gagal meraih tiket kandidat bupati Jepara. Afiliasi politik SGN tergantung pada sikap Taj Yasin, putra Mbah Maimoen Zubair yang juga berlaga sebagai calon wakil gubernur. Kegagalan Fatkhur meraih rekom PPP, bisa jadi menjadi “boomerang” bagi kandidat lain dari PPP yang justru bukan sebagai calon bupati, yaitu Ibnu Hajar.
Komunitas pesantren dalam wadah Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Jepara tentu tidak bisa lepas dari keberadaan Kyai Syaiful Rizal Aqib asal Pesantren Darussalam, Saripan Jepara. Ada keuntungan komando RMI NU berada di pusat kota, karena akan lebih mudah melakukan potret sosial sekaligus potret kekuasaan.
Baca: "Serangan Fajar" dalam Pandangan Politik Islam
Tidak semua potret harus ditampilkan, termasuk juga semua yang tampil selalu memiliki ruang abu-abu di balik layar. Begitulah kiranya sikap RMI beserta jejaring sekitar 300-an pesantren di Jepara, yang selama ini sudah sering menghadapi pelaku bisnis “abu-abu”.
Berdasarkan latar belakang sosial dan akademik, Gus Nung – Iqbal setidaknya memiliki keunggulan dibanding pasangan Wiwit – Hajar. Selain Gus Nung memiliki pesantren sendiri dan berdarah biru pesantren, pasangan ini sama-sama pernah mengalami proses sebagai santri bahkan seringkali disebut “panglima santri Jepara”.
Sejumlah pesantren menjadi afiliasi, seperti Iqbal yang menjalani proses sebagai santri di pesantren Al Furqon Kudus dan pesantren Darul Muttaqien Bogor, kemudian melanjutkan ke Al Azhar Mesir. Identitas santri tentu lebih melekat kepada pasangan Gus Nung – Iqbal.
Kendati pasangan Wiwit – Hajar terkesan lemah dalam menyandang identitas santri, namun “gandulan sarung bapak” bisa menjadi strategi politik yang sangat efektif. Ungkapan ini setidaknya pernah diakui oleh Ibnu Hajar dalam proses awal terjun di dunia politik, sekaligus meningkatkan elektabitasnya.
Marzuki selaku ayah dari Ibnu Hajar adalah alumni Matholiul Falah Kajen, yang dikenal dengan ikatan alumni paling solid dalam Keluarga Matholiul Falah (KMF). Pun, mantan bupati Jepara itu juga memiliki hubungan psikologis dengan pesantren Al Anwar Sarang sehingga berpotensi menggaet dukungan kalangan santri.
Tak bisa dipungkiri bahwa Machiavelli adalah guru politik terbaik dalam meraih kekuasaan, dengan segala cara. Yang terkuat dalam politik bukanlah yang menang, tetapi yang paling licik. Oleh karenanya, kalangan santri yang punya kejernihan hati harus lebih arif agar dapat menjaga politik terlihat tidak kotor.
Jika kedua pasangan kandidat menyatakan diri pantas mewakili sebagai santri, semoga drama politik tidak akan membuat panas. Persoalannya, jangan-jangan para santri justru secara sembunyi-sembunyi telah mengangkat Machiavelli sebagai seorang guru sehingga terserah caranya yang penting menang.
Hal yang jelas adalah, santri tentu akan memilih santri, tinggal dipilih siapa yang benar-benar santri dan bisa memperjuangkan aspirasi santri itu sendiri. Selamat menjadi santri yang dapat memilih santri. [dutaislam.or.id/ab]
Dr. Muh Khamdan, Pembina Paradigma Institute dan Alumni Program Doktoral Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta