Anak yatim adalah mereka yang kehilangan ayah meskipun masih punya ibu atau kakek. Foto: dutaislam.or.id. |
Dutaislam.or.id - Dalam pandangan syariat, istilah yatim memiliki makna yang sangat khusus dan penting. Anak yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya sebelum ia mencapai usia dewasa. Baca: Keutamaan Memelihara Yatim; Dekat Nabi, Kaya dan Terlindungi Kiamat.
Meskipun kehilangan ibu juga merupakan peristiwa yang sangat berat, Islam secara khusus menekankan status yatim kepada anak-anak yang ditinggal wafat oleh ayah mereka. Hal ini berbeda dengan pemahaman umum di masyarakat yang kadang menyamakan yatim dengan anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.
Secara etimologis, istilah yatim dalam bahasa Arab berasal dari kata "yatama" yang berarti "kesendirian" atau "tanpa perlindungan." Dalam konteks ini, seorang anak disebut yatim karena ayahnya, sebagai pelindung utama dalam keluarga, telah tiada. Ini menempatkan anak tersebut dalam posisi yang lebih rentan, baik dari segi ekonomi, bimbingan, maupun kasih sayang. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj:
واليتيم صغير لا أب له وإن كان له أم وجدّ، ومن فقدَ أمه فقط من الآدميّين يقال له منقطع
Terjemah:
"Anak yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki ayah, meskipun ia masih memiliki ibu dan kakek. Adapun seseorang yang hanya kehilangan ibunya dari kalangan manusia disebut ‘munqathi’ (terputus)". (Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, Juz 4, hlm. 88)
Penjelasan ini menunjukkan dengan jelas bahwa status yatim hanya berlaku bagi anak yang kehilangan ayahnya. Jika seorang anak hanya kehilangan ibunya, ia tidak disebut yatim dalam terminologi Islam, melainkan disebut munqathi, yang secara harfiah berarti “terputus,” namun dengan implikasi yang berbeda.
Mengapa Kehilangan Ayah Menjadi Fokus?
Ada alasan penting mengapa Islam lebih menekankan pada kehilangan ayah dalam status yatim. Dalam struktur sosial dan ekonomi tradisional, terutama di masa awal Islam, ayah memiliki peran sebagai pencari nafkah utama dan pelindung keluarga. Ayah adalah figur yang bertanggung jawab atas keberlangsungan ekonomi dan bimbingan spiritual dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, ketika seorang anak kehilangan ayahnya, ia kehilangan sumber utama keamanan, perlindungan, dan bimbingan dalam hidupnya. Hal ini membuat anak yatim berada dalam posisi yang sangat rentan, dan karenanya, perhatian terhadap mereka menjadi prioritas dalam ajaran Islam.
Selain itu, ayah juga sering kali dianggap sebagai simbol otoritas dalam keluarga. Kehilangan figur ayah bukan hanya berarti kehilangan perlindungan finansial, tetapi juga kehilangan bimbingan dalam hal pendidikan, moralitas, dan kehidupan spiritual.
Dalam Islam, merawat anak yatim memiliki kedudukan yang sangat tinggi, karena tidak hanya memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga menggantikan peran ayah dalam mendidik dan melindungi mereka.
Peran Ibu dan Kakek dalam Kehidupan Yatim
Meskipun seorang anak yang kehilangan ayah tetap disebut yatim, keberadaan ibu dan kakek masih memberikan dukungan yang sangat berarti. Seorang ibu, tentu saja, masih memiliki peran penting dalam memberikan kasih sayang dan perhatian emosional kepada anaknya.
Namun, tanpa kehadiran ayah, beban tanggung jawab keluarga sering kali menjadi lebih berat bagi sang ibu, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan ekonomi dan memberikan perlindungan yang optimal.
Adapun kakek, yang disebutkan dalam teks referensi di atas, sering kali berperan sebagai pengganti ayah dalam keluarga besar. Dalam beberapa budaya, kakek mengambil alih peran sebagai wali atau penanggung jawab bagi cucunya yang yatim. Meski begitu, keberadaan kakek tidak menghilangkan status yatim pada sang anak, karena peran ayah sebagai pelindung utama tetap tidak dapat tergantikan.
Keutamaan Merawat Anak Yatim
Islam sangat menekankan pentingnya merawat anak yatim. Banyak ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Saw yang menekankan kewajiban umat Islam untuk memperhatikan kesejahteraan anak-anak yatim, baik dari segi materi maupun spiritual. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
Terjemah:
“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS. Adh-Dhuha: 9)
Ayat ini menegaskan larangan untuk menyakiti atau mengabaikan anak yatim, dan pada saat yang sama mendorong umat Islam untuk memberikan perhatian khusus kepada mereka. Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa orang yang merawat anak yatim akan dekat dengan beliau di surga:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا
Terjemah:
"Aku dan orang yang merawat anak yatim akan berada di surga seperti ini". Rasulullah Saw mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah, menunjukkan betapa dekatnya kedudukan orang yang merawat anak yatim dengan beliau (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan merawat anak yatim, seorang Muslim tidak hanya menjalankan kewajiban sosial dan agama, tetapi juga mendapatkan ganjaran besar di akhirat. Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap anak-anak yang kehilangan ayah, dan pentingnya menjaga hak-hak mereka. [dutaislam.or.id/ai/ab]