Iklan

Iklan

,

Iklan

Biografi Syaikh Ibnu Athoillah Sakandari, Penulis Kitab Hikam

Duta Islam #05
22 Agu 2024, 12:23 WIB Ter-Updated 2024-08-22T05:23:25Z
Download Ngaji Gus Baha
perjalanan kata mutiara ibnu athaillah as-sakandari
Ilustrasi Syaikh Ibnu Atha'illah As-Sakandari. Foto: istimewa.


Dutaislam.or.id - Syaikh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari (w. 1309) adalah seorang ulama besar yang hidup di Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), yang kemudian menjadi asal julukannya, al-Iskandari atau as-Sakandari. 


Setelah pindah ke Kairo, Syaikh Ibnu ‘Athoillah mengabdikan hidupnya dengan mengajar fiqih madzhab Maliki di berbagai lembaga intelektual, termasuk di Masjid Al-Azhar. Selain sebagai seorang ahli fiqih, beliau juga dikenal sebagai seorang “master” tasawuf terkemuka dalam tarekat Syadziliyah, menjadikannya figur sentral ketiga setelah pendiri tarekat tersebut, Abu Hasan Asy-Syadzili, dan penerusnya, Abu Abbas Al-Mursi.


Sejak kecil, Syaikh Ibnu ‘Athoillah menunjukkan kecintaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Ia belajar dari beberapa ulama terkemuka pada masanya, terutama Abu Abbas Ahmad Ibnu Ali Al-Anshori Al-Mursi, murid dari Abu Hasan Asy-Syadzili. Dalam bidang fiqih, beliau menganut dan menguasai mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf, beliau menjadi pengikut sekaligus tokoh tarekat Syadziliyah. 


Syaikh Ibnu ‘Athoillah adalah seorang ulama yang sangat produktif, dengan lebih dari 20 karya yang meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari berbagai karyanya, kitab al-Hikam menjadi yang paling terkenal dan disebut sebagai magnum opusnya. Kitab ini telah disyarah oleh beberapa ulama besar, seperti Muhammad bin Ibrohim ibn Ar-Rundi, Syaikh Ahmad Zaruq, dan Ahmad ibn Ajiba.


Baca: Biografi Perjuangan KH. Idris Wonosobo, Kiai Berpangkat Mayor


Beberapa karya lain yang ditulis oleh Syaikh Ibnu ‘Athoillah di antaranya adalah al-Tanwir fi Isqoth al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thoriq, Miftah al-Falah, dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrod. Kitab yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap pandangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengenai tauhid. Meski hidup pada zaman yang sama, kedua ulama ini memiliki pandangan yang berbeda, terutama terkait dengan sufisme. Ibn Taimiyah dikenal sebagai ulama yang menentang praktik sufisme, sementara Syaikh Ibnu ‘Athoillah dan pengikutnya meyakini bahwa tidak semua jalan sufisme itu salah, terutama karena mereka tetap berpegang teguh pada syariat.


Syaikh Ibnu ‘Athoillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan dihormati oleh banyak orang. Beliau menjadi panutan bagi mereka yang meniti jalan menuju Tuhan (wushul), teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Meski beliau merupakan tokoh kunci dalam tarekat Syadziliyah, pengaruh intelektualismenya tidak terbatas pada tarekat saja. Buku-buku karya Syaikh Ibnu ‘Athoillah dibaca luas oleh umat Islam dari berbagai kelompok, lintas mazhab dan tarekat, terutama kitab Al-Hikam yang melegenda.


Pengarang kitab Al-Hikam yang populer di Indonesia ini adalah Syaikh Tajjudin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athoillah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadili. Beliau berasal dari bangsa Arab, dan nenek moyangnya berasal dari suku Judzam, salah satu kabilah Kahlan yang merupakan keturunan Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang dikenal sebagai Arab al-A’ribah. Syaikh Ibnu ‘Athoillah lahir di kota Iskandariah, meskipun tidak ada catatan pasti mengenai tanggal kelahirannya. Menurut Dr. Taftazani, beliau diperkirakan lahir sekitar tahun 658 H hingga 679 H.


Ayah Syaikh Ibnu ‘Athoillah hidup sezaman dengan Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah. Dalam kitabnya Lathoiful Minan, Syaikh Ibnu ‘Athoillah menceritakan bahwa ayahnya pernah bertemu dengan Syaikh Abu Hasan, yang saat itu mengungkapkan bahwa ilmu yang diajarkan olehnya tidak tertulis di pena, tikar, atau dinding.


Syaikh Ibnu ‘Athoillah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius. Kakeknya dari jalur ayah adalah seorang ulama fiqih terkemuka pada masanya. Beliau menimba ilmu dari para ulama besar di Iskandariah, seperti Al-Faqih Nasirudin al-Mimbar al-Judzami. 


Pada masa itu, Iskandariah merupakan salah satu pusat ilmu di Mesir, dihuni oleh banyak ulama dalam berbagai bidang seperti fiqih, hadits, ushul fiqh, ilmu-ilmu bahasa Arab, serta tokoh-tokoh tasawuf dan auliya sholihin. Tidak mengherankan jika Syaikh Ibnu ‘Athoillah tumbuh menjadi seorang faqih yang diharapkan oleh kakeknya. Namun, perjalanan spiritualnya membawanya untuk memadukan fiqih dengan tasawuf, yang pada awalnya tidak disukai oleh kakeknya.


Dalam Lathoiful Minan, Syaikh Ibnu ‘Athoillah mengisahkan bagaimana kakeknya, yang tidak setuju dengan tasawuf, harus bersabar menghadapi kritik dari keluarga. Gurunya, Abul Abbas al-Mursi, bahkan pernah berkata bahwa ia harus bersabar menghadapi sikap kakeknya, demi kelak lahirnya seorang alim fiqih yang besar. Pada akhirnya, Syaikh Ibnu ‘Athoillah dikenal sebagai seorang sufi besar yang mampu memadukan fiqih dan tasawuf dalam satu kesatuan.


Karomah Ibnu ‘Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya Kawakibud Dzuriyah menyebutkan bahwa Syaikh Kamal Humam pernah mengalami kejadian luar biasa ketika berziarah ke makam Syaikh Ibnu ‘Athoillah. 


Saat membaca Surat Hud dan sampai pada ayat yang berbunyi "Di antara mereka ada yang celaka dan bahagia...," tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Syaikh Ibnu ‘Athoillah yang berkata dengan keras, "Wahai Kamal... tidak ada di antara kita yang celaka." Karena menyaksikan karomah ini, Syaikh Kamal Humam berwasiat agar dimakamkan dekat dengan Syaikh Ibnu ‘Athoillah ketika wafat.


Salah satu karomah lainnya terjadi ketika seorang murid Syaikh Ibnu ‘Athoillah berangkat haji dan melihat sang guru sedang thawaf, di belakang maqom Nabi Ibrahim, di Mas’aa, dan Arafah. Ketika pulang, murid tersebut bertanya kepada teman-temannya apakah sang guru juga pergi haji. 


Namun, ia terkejut ketika mendengar bahwa gurunya tidak pergi haji. Merasa tidak puas, ia kemudian menghadap sang guru, yang dengan bijak menjelaskan bahwa seorang wali besar bisa berada di berbagai tempat sekaligus, dan jika seorang wali Quthub dipanggil dari liang kubur, ia akan menjawabnya.


Wafatnya Syaikh Ibnu ‘Athoillah

Tahun 709 H menjadi tahun kemalangan bagi dunia Islam kala itu. Syaikh Ibnu ‘Athoillah, wali besar yang tetap abadi dalam kebaikannya, berpulang ke alam barzakh untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta. 


Jasad mulianya dimakamkan di pemakaman Qorrofah al-Kubro, setelah ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiringi kepergiannya. Madrasah Al-Mansuriyah, tempat beliau wafat, menjadi saksi bisu perpisahan antara jasad dan nyawanya. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha