Iklan

Iklan

,

Iklan

Algoritma Dusta Ilmiah dalam Kitab-kitab Nasab Ba'alwi

Duta Islam #05
15 Sep 2024, 06:41 WIB Ter-Updated 2024-09-14T23:41:22Z
Download Ngaji Gus Baha
bahaya dusta dalam karya ilmiah kitab nasab baalwi
Ilustrasi bahaya dusta. Foto: istimewa.


Sebelum membaca artikel ini, bacalah artikel sebelumnya: Sahib Mirbat "Faqih Muqoddam" yang Sunyi dalam Sejarah.


Oleh KH. Imaduddin Ustman Al-Bantani


Dutaislam.or.id - Kajian literasi nasab Ba’alwi yang penulis lakukan mengarah kepada kesimpulan adanya pola dan algoritma dari sebuah kontruksi sejarah yang sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah sesungguhnya. Historiografi dari sebuah hipotesa dari sebuah komunitas tertentu yang memiliki irisan dengan kepentingan tertentu, patut dicurigai validitasnya.


Yusuf jamalulail men-tahqiq kitab Abna’ al-Imam fi Mishra wa Syam al-Hasan wa al-Husain. Kitab tersebut karya Ibnu Tabataba. Mengenai hari wafat pengarang ini, pen-tahqiq atau penerbit memuat dua angka tahun wafat pengarang. 


Baca: Ulama' NU Menolak Keturunan Ba'alwi Dipulangkan ke Yaman


Dalam halaman ke-7 disebut wafat tahun 199 H. Tapi dalam halaman lain disebut 478 H. Dan dalam cover ditulis tahun 478 H. Kitab ini bisa disebut palsu karena kitab ini tertulis dengan judul Abna’ al-Imam, namun isinya bukan semata kitab tersebut, namun telah diinterpolasi (ditambah) kalimat para penyalin dan pen-tahqiq. 


Kitab ini isinya telah diinterpolasi oleh 4 orang, yaitu: Ibnu Shodaqoh Al-Halabi (w. 1180 H.), Abul Aun As-Sifarini (1188 H.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H.) dan Yusuf jamalullail (1938 M). Tambahan itu tidak diberikan pembeda. Jadi seakan seluruh isi kitab itu karya pengarang yang asli yaitu Ibnu Thabathaba. Dalam kitab itu, nama Ubaidillah/Abdullah disebut anak Ahmad. Namun kalimat itu jelas bukan dari kalimat pengarang kitab.


Kitab Tarikh Hadramaut, atau disebut juga kitab Tarikh Sanbal, karena, katanya, ia karya Syaikh Syanbal Ba’alwi (w. 920 H), didalamnya, diantaranya, menerangkan tentang bahwa Al-Fakih al-Muqoddam adalah seorang “Al-’Alim al-Robbani” (ulama yang menguasai seluruh ilmu), “umdat al-muhaqiqin” (tumpuan para ahli tahqiq), dan salah seorang “Wali Kutub”. 


Kitab ini dicetak oleh Maktabah San’a Al-Atsariyah tahun 1994 M/1414 H, di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad Al-Habsyi. Kitab ini dicurigai menjiplak dari kitab Tarikh Ibnu Hisan, terlebih Syaikh Sanbal adalah orang yang tidak dikenal para ulama. Sepertinya naskah tersebut baru saja disalin dan penulisnya tidak hidup pada abad ke-10 Hijriah, sebagaimana disebutkan oleh pen-tahqiq, Abdullah Al -Habsyi.


Kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut, karya Abdurahman bin ‘Ali bin Hisan (w. 818 H), di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul Fatah tahun 2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424 -926 Hijrah. Menurut pengakuan pen-tahqiq-nya, dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap. 


Baca: 20 Esai Tentang "Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" | KH. Ali Badri Masyhuri


Ada beberapa tahun yang hilang, lalu pen-tahqiq melengkapinya dari kitab Tarikh Sanbal yang terindikasi palsu di atas. Kendati ada pengakuan bahwa kitab yang di-tahqiq-nya itu ada tambahan, tetapi Al-Habsyi tidak memberi pembeda mana redaksi asli dari manuskrip kitab Al-Baha, dan mana redaksi yang merupakan tambahan dari pentahqiq. 


Dalam kitab ini disebutkan bahwa Fakih Muqoddam wafat tahun 652 H. (Lihat Ibnu H’Isan, Al-Baha’ fi Tarikh Hadramaut [Dar al-Fatah, Oman, 1441 H.] hlm. 125), seakan seolah benar sosok Faqih Muqoddam itu telah dicatat penulis sejarah, tetapi ketika dilihat dalam footnote-nya, Abdullah Al-Habsyi menyatakan bahwa informasi tentang wafatnya Faqih Muqoddam itu tidak disebut dalam manuskrip “hamzah” (أ) karena kertasnya rusak, dan seakan ia ingin mengatakan bahwa yang berada dalam versi cetak itu berasal dari manuskrip “ba” (ب), padahal manuskrip kitab Ibnu Hisan itu hanya ada satu dan itu pun tidak lengkap.


Apabila ia pen-tahqiq yang jujur, maka seharusnya ia biarkan tempat itu tanpa keterangan, tidak kemudian ia isi sendiri sesuai dengan kemauan dan kepentingannya. Oleh karena itu, kitab ini tidak bisa menjadi rujukan sebagaimana kitab Abna’ al-Imam.


Kitab Al-Imam Al-Muhajir, ditulis oleh Muhamad Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh. Kitab ini terdiri dari sekitar 244 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Dar Al-Syarq tahun 1400 H/1980 M. 


Kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin ‘Isa yang oleh kalangan Ba’alwi kemudian di berikan gelar “Al-Muhajir”. Kitab ini di awali dengan mengutarakan keadaan Kota Basrah abad ke-4 Hijriyah yang gemilang dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. 


Latar belakang sejarah ini dipetik dari referensi sejarah yang kredibel seperti kitab-kitab karya Ibnu Khalikan, Ibnul Atsir, Al-Mas’udi, Ibnu Jarir, Al-Sayuti dan sebagainya. Tetapi, ketika menjelaskan tentang biografi dari Ahmad bin ‘Isa sendiri, penulisnya tidak mencantumkan refernsi dari mana ia mendapatkan berita itu. Seperti ketika ia menyebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa mulai belajar dari kedua orangtuanya. Tentu semua anak akan belajar dari kedua orangtuanya. Ini masih bisa difahami walau tanpa referensi.


Kemudian dilanjutkan, bahwa Ahmad bin ‘Isa gemar menuntut ilmu dari para ulama, baik di Basrah maupun di kota-kota lainnya di Irak. Penjelasan ini seharusnya sudah menyebutkan siapa ulama-ulama yang didatangi oleh Ahmad bin ‘Isa, dan dari mana penulis kitab ini mengetahui berita itu, namun paragrap ini tanpa referensi. Agaknya ia keluar dari imajinasi penulis tentang banyaknya ulama di Irak waktu itu, dan asumsi bahwa kemungkinan besar itulah yang dilakukan remaja seusia Ahmad bin ‘Isa ketika berada di lingkungan para ulama. 


Baca: Leluhur Ba'alwi Sudah Banyak Gonta-Ganti Jalur Nasab


Referensi kemudian disebutkan pada paragrap yang lain, diambil dari kitab Saurah Al-Zanji, yaitu ketika menerangkan bahwa Basrah ketika itu merupakan pusat pemikiran yang besar. Kota tempat bersinggungannya berbagai macam ‘Aliran filsafat, keyakinan dan pemikiran.


Rupanya, penulis kitab ini sangat bersusah payah mencari sosok Ahmad bin ‘Isa dalam kitab-kitab sejarah atau kitab lainnya. Ketika menemukan nama Ahmad bin ‘Isa, lalu tanpa diteliti lebih lanjut, langsung saja diambil. kesalahan fatal-pun terjadi, ketika mengutip sosok Ahmad bin ‘Isa yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad, disebutkan dalam kitab itu: Ibnu Jarir al-Tabari menerima surat dari Ahmad bin ‘Isa al-Alwi dari Kota Bashrah, lalu Ibnu Jarir membalasnya dengan kalimat “wahai amirku”. 


Penulis kitab ini kemudian menyatakan: cukuplah untuk mengetahui betapa agung kedudukan Ahmad bin ‘Isa, dari penyebutan Ibnu jarir terhadapnya “wahai amirku”. Penulis tidak teliti, atau pura-pura tidak mengerti, bahwa Ahmad bin ‘Isa al-Alwi yang dimaksud dalam kitab Tarikh Bagdad itu, bukanlah Ahmad bin ‘Isa al-Naqib, tetapi sosok lain, yaitu Ahmad bin ‘Isa bin Zaid. 


Lalu tentang hijrahnya Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut, penulis kitab ini sama sekali tidak menyebutkan sumber, kecuali dari Majalah Al-Rabitah tulisan ‘Ali bin Ahmad al-Athas. Kejadian tahun 317 Hijriah diceritakan oleh orang yang hidup seribu tahun lebih setelah wafatnya, dengan tanpa sumber dari mana ia mengetahui berita itu. Pola penulisan seperti itu, kita jumpai dalam kitab tersebut pada halaman-halaman selanjutnya sampai akhir kitab.


Kitab Gurar Al-Baha' al-Dhau’i wa Durar al-Jamal al-Bahiy, yang lebih dikenal dengan nama kitab Al-Gurar, karya Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi (w. 960 H), diterbitkan oleh Maktabah al-Azhariyah, tahun 2022, tanpa pen-tahqiq.


Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa hijrah dari Irak ke Hadramaut tahun 317 H. Penyebutan itu tidak bersumber referensi apapun. Cerita tentang orang di masa lalu tanpa adanya sumber disebut dengan “dongeng”. 


Disebutkan pula, bahwa Ahmad bin ‘Isa mengungguli teman-temannya dalam kebaikan, untuk kisah ini dan sebab hijrahnya Ahmad bin ‘Isa, Al-Gurar  mengutip dari kitab Al-Jauhar al-Syafaf, kitab karya al-Khatib yang telah penulis sebut dalam berbagai tulisan sebagai kitab yang tidak laik dijadikan rujukan karena penulisnya tidak jelas. 


Dilihat dari segi isi pun, kitab itu penuh dengan cerita-cerita dusta. Dapat dikatakan, kitab Al-Gurar ini, mengenai nasab dan sejarah Ba’alwi, bersumber pokok kepada satu kitab abad ke-9, yaitu: Al-Burqat al-Musyiqat karya Al-Sakran (895 H), ditambah kitab Al-Jauhar al-Syafaf (855 H) yang problematis itu. 


Baca: Ba'alwi Lebih Mementingkan Nasab Daripada Ilmu (20) | Selesai


Kitab Uqud al-Almas, karya Alwi bin Tahir bin Abdullah al-Haddad, diterbitkan oleh Matba’ah al-Madani tahun 1388 H/1968 M. Kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin Hasan Al-Athas. Ketika menjelaskan tentang nasab Ba’alwi, kitab inipun mentok kepada kitab Al-Jauhar al-Syafaf. Tidak bisa mencari yang lebih tua agar ketersambungan itu masuk akal. 


Dalam kitab ini pula disebutkan bahwa nasab Ba’alwi telah di itsbat oleh Raja Yaman pada tahun 1351 H, sekitar 90 tahun yang lalu. Peng-itsbat-an itu, menurut kitab ini, setelah timbulnya celaan dari orang-orang khawarij akan nasab mereka. 


Dari sini diketahui, setidaknya telah beberapa kejadian keraguan dan gugatan kaum muslimin terhadap nasab Ba’alwi yang dapat dibaca dari kitab-kitab Ba’alwi sendiri. Bersamaan dengan itu, Ba’alwi selalu dapat melewatinya dengan meminta secarik kertas itsbat dari orang atau lembaga yang mau membantunya. 


Zaman dahulu untuk keraguan nasab akan berakhir dengan itsbat demikian, karena ilmu genetika belum mapan. Hari ini, setiap persengketaan nasab akan dapat dikonfirmasi dengan melakukan tes DNA yang akan dapat menelusuri sambungan darah seseorang sampai ribuan tahun ke atas. 


Maka ketika hari ini Ba’alwi telah terbukti putus nasabnya kepada Nabi Muhammad Saw secara kajian Ilmu Nasab, sejarah dan DNA berdasar sampel anggota Ba’alwi yang telah melakukan tes DNA. Jika mereka bergeming bahwa nasab mereka tersambung, untuk membuktikannya tidak ada jalan lain kecuali tes DNA satu persatu. Siapa tahu ada di antara mereka yang terkonfirmasi secara DNA.


Kesimpulan

Nasab Ba’alwi tidak laik lagi untuk diperdebatkan secara Studi Sejarah dan Ilmu Nasab karena hasil tes DNA mereka terbukti behaplogroup G, tidak tersambung kepada Nabi Muhammad SAW secara garis ayah. Sedangkan para ahli DNA telah memitigasi haplogroup Nabi Muhammad SAW adalah Haplogroup J1.


Secara Ilmu Nasab, nasab mereka batal dan mardud (tertolak) karena tidak terkonfirmasi oleh kitab-kitab nasab yang banyak ditulis dari abad ke-4-9 Hijriyah; Ubaid tidak terkonfirmasi sebagai anak Ahmad bin Isa. 


Kitab-kitab sejarah yang ada di masa Ubaid sampai Faqih Muqoddam tidak mencatat ketokohan mereka sama sekali, bahkan, dari Faqih Muqoddam sampai Ubaid terindikasi sebagai sosok-sosok yang fiktif dan ahistoris. Tulisan ini sebagain besar disarikan dari buku penulis "Membongkar Skandal Ilmiyah Genealogi dan Sejarah Ba’alwi". Selesai. [dutaislam.or.id/ab]


Keterangan:

Artikel adalah bagian akhir karya ilmiah KH. Imaduddin Ustman Al-Bantani berjudul lengkap "Migrasi Klan Ba’alwi dan Pengakuan Sebagai Keturunan Nabi" yang sedianya dijadikan bahan diskusi publik di UIN Walisongo Semarang, 10 September 2024. Tapi batal. Redaksi memuatnya dalam empat judul.

Iklan