Iklan

Iklan

,

Iklan

Sahib Mirbat "Faqih Muqoddam" yang Sunyi dalam Sejarah

Duta Islam #05
15 Sep 2024, 06:12 WIB Ter-Updated 2024-09-14T23:42:16Z
Download Ngaji Gus Baha
makam shahib mirbat faqih muqoddam yang disoal imadudin
Makam Shahib Mirbat? Foto: istimewa.


Sebelum membaca artikel ini, bacalah artikel sebelumnya: Makam Palsu Ahmad bin Isa Al-Muhajir


Oleh KH. Imaduddin Ustman Al-Bantani


Dutaislam.or.id - Cerita tentang Ahmad bin Isa, bahwa ia seorang “imam” dan ulama tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, demikian pula ketokohan Ubaid atau Ubaidillah. 


Dalam literatur ulama Ba’alwi, Ubaid ditulis wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang “rasikh”  (mendalam ilmunya); guru para ”Syaikul Islam”; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan;  Tiada ditemukan yang menyamainya (dizamannya). Demikian  sebagian yang ditulis ulama Ba’alwi tentang Ubaidillah hari ini. (Lihat: Al-Masyra' Al-Rawi, Ali Al-Sakran, Juz 1, hlm. 75)


Anehnya, seorang Imam Besar yang disebut-sebut hidup di abad empat Hijriah, sejarahnya bisa gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Jika ia imam, tidak ada seorang pengikutnya pun mencatatnya. Jika ia guru para “Syaikhul Islam”, tidak ada seorang ”Syaikhul Islam” pun menyebut namanya, mengutip pendapat gurunya, bahkan walau hanya menulis namanya dalam silsilah sanad keguruannya. Ia benar-benar “orang besar” yang mastur dan misterius.


Imam Besar” ini hidup di Abad empat hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh besar di Basrah, lalu umur 20 tahun hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut, Yaman. Baca: Ciri Keturunan Nabi: Tidak Membuat Fitnah dan Gaduh.


Di Abad itu, di Basrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan ulama hidup bergaul satu dengan lainnya, namun, diantara mereka, seorangpun tidak mencatat interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang “Imam Besar” ini bersembunyi? Nama Ubaidillah dan biografi hidupnya, baru muncul 512 tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali dimunculkan oleh ‘Ali al-Sakran (w. 895 H). 


Bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah, Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan Ubaidillah, tapi dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung apapun. 


Al-Sakran adalah pionir dalam meruntut “sejarah” Ubaidillah, dan sukses menjadikannya sebagai sosok “menyejarah”. Demikian pula tokoh lain dalam silsilah Ba’alwi seperti Alwi pertama, Muhammad, dan Alwi kedua, sosoknya yang begitu punya peran penting dalam redaksi kitab-kitab Ba’alwi, tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, semuanya kembali kepada kitab Al-Burqatul Musyiqat di abad ke-9 Hijriah.


Baca: Ghibah Dibolehkan dalam Enam Perkara


Sosok Muhammad bin ‘Ali  (w.556 H.) yang diberi gelar “Sohib Mirbat” oleh penulis Ba’alwi ditulis oleh Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi sebagai “imaman mutqinan” (imam yang menguasai ilmu dengan dalam); “wahidu asrihi fi al-ilmi wa al-‘amal” (paling berilmu dan beramal di masanya). (Lihat: Muhammad bin ‘Ali Khirid, hlm. 131). 


Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama, baik ulama nasab maupun ulama sejarah dan tabaqat (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab Uqudul Almas mengatakan bahwa Muhammad “Sahib Mirbat” adalah penyebar Madzhab Syafi’i di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid-murid Muhammad “Sahib Mirbat. (Lihat: Alwi bin Tahir, Uqud al-Almas [Matba’ah Al-Madani, Syari’ al-‘Abasiyah, 1388 H.] Juz 2 hlm. 104


Berita semacam itu pun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya yang terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin ‘Ali al-Qol’iy (w.577 H.), dari tahun wafatnya kita melihat bahwa ia hidup sezaman dengan Muhammad “Sahib Mirbat”. 


Al-Janadi dalam As-Suluk menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol’iy. Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad “Sahib Mirbat”. 


Begitu pula Ibnu Samrah  al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha Al-Yaman. Dia menyebut nama Imam Al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad “Sahib Mirbat”. (Lihat: Umar bin ‘Ali bin Samrah al-Ja’diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman [Dar al-Qalam, Beirut, T.t.] hlm. 220


Bahkan, gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin ‘Ali, tetapi ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak’hal al-Manjawi. Ia yang disebut terakhir, adalah sosok historis yang hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin ‘Ali “Sahib Mirbat” Ba’alwi. 


Al-Ak’hal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi. Muhammad al-Ak’hal Sohib Mirbat disebut al-Ak’hal karena memakai celak di matanya atau karena matanya ada tanda hitam sejak lahir. 


Baca: Gonjang Ganjing Nasab Ba'alwi Dimulai Dari 9 Hal Ini


Ibnul Atsir, pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Ak’hal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari. (Lihat: Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh [Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1407 H.], Juz 10 hlm. 203)  


Sementara Muhamad bin ‘Ali Ba’alwi, namanya tidak tercatat sebagai apapun, dengan gelar ataupun tanpa gelar; dengan disebut ulama ataupun bukan. Jika ia benar-benar sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?


Keberadaan makam Muhammad bin ‘Ali “Sohib Mirbat” hari ini pun patut kita telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak abad ke-6 Hijriah? 


Makam Muhammad “Sohib Mirbat” hari ini mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman abad ke enam belum dikenal seni pahat batu.  


Hal tersebut dipahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. Bagaimana nisan makam “orang biasa” berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak? 


Sejarah Muhammad bin ‘Ali (w.652 H.) yang kemudian diberi gelar “Al-Faqih al-Muqoddam” oleh penulis-penulis Ba’alwi, kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. 


Muhammad Diya’ Sahab dalam Hamisy Syams Al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam begini: 


Ia adalah salah seorang yang paling popular; ia  seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar “Al-Faqih al-Muqoddam” (Rajanya ahli fikih) dan “Al-Ustad al-A’dzam” (guru besar). Tidak ada ulama sebelumnya  yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang “Al-Muhaddits” (ahli hadits), “Al-Mudarris” (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang “mufti” (ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain. (Lihat Muhammad Diya’ Sahab dalam Abdurrahman Al-Mashur,  Shmsu al-Dahirat, [‘Alam al-Ma’rifat, Jeddah, 1404 H.] hlm. 77)


Lalu, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu? Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan. 


Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab As-Suluk (732 H.) dan kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman (586 H.) pun tidak menulis namanya. Namanya muncul berbarengan dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqatul Musyiqat. [dutaislam.or.id/ab]


Bersambung ke: Algoritma Dusta Ilmiah dalam Kitab-kitab Nasab Ba'alwi


Keterangan:

Artikel adalah bagian ke-3 dari karya KH. Imaduddin Ustman Al-Bantani berjudul lengkap "Migrasi Klan Ba’alwi dan Pengakuan Sebagai Keturunan Nabi" yang sedianya dijadikan bahan diskusi publik di UIN Walisongo Semarang, 10 September 2024. Tapi batal. Redaksi memuatnya dalam empat judul.

Iklan